Unsur-unsur Bentuk Puisi: Bunyi, Kata, Bahasa Kiasan/Majas, dan Citraan

>> 21/04/14

Oky Primadeka*


ABSTRAK

Puisi adalah sebuah dunia (WS, 2012: 27-28). Oleh karena itu, puisi mengandung beberapa unsur yang membentuknya menjadi bagian-bagian tubuh puisi itu sendiri. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang dirasa cukup kepada para penyuka puisi, agar dapat mengapresiasi puisi seutuhnya, memiliki dasar-dasar objek penilaian (berdasarkan unsur-unsur bentuk puisi). Selain itu, penting juga bagi para penyair dengan memahami unsur-unsur puisi agar dapat mencipta puisi yang berkarakter. Akan dijelaskan unsur-unsur pembentuk puisi yang di antaranya: unsur bunyi, unsur kata, unsur bahasa kiasan/majas, dan unsur citraan. Unsur bunyi, terdiri dari irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, dan anafora epifora. Unsur kata terdiri dari diksi dan interpretasinya. Unsur bahasa kiasan/majas terdiri dari majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas penegasan/perulangan. Dan terakhir, unsur citraan terdiri dari citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan penciuman (smell imagery), citraan rasaan (tactile imagery), dan citraan gerak (kinaesthetic imagery).

UNSUR BUNYI

Bunyi adalah sesuatu yang terdengar (Depdiknas, 2007: 179). Maka, jika suatu puisi dibacakan, apa yang didengar itulah yang disebut bunyi. Di dalam tubuh puisi, bunyi paling sedikit mempunyai dua peranan. Pertama yaitu untuk memberikan makna. Maksudnya, karena hakikat bahasa puisi adalah bunyi (WS, 2012: 37). Bunyi yang mengikuti konvensi/kesepakatan bahasa memiliki makna. Kedua adalah bunyi berfungsi memberikan nilai estetis pada puisi. Dengan susunan bunyi tertentu, penikmat puisi bisa terbawa kepada suasana tertentu.
Contoh:
HANYA ‘NAK TAHU BAHWA TAK TAHU

Selangkah maju ke padang ilmu
Seribu kali bertambah dungu
Habislah rambut mencari ilmu
Hanya ‘nak tahu bahwa tak tahu
                                   (Samadi, Pujangga Baru: 293)

Pada puisi di atas, karya Samadi, seorang penyair kelahiran Sumatera Barat yang termasuk ke dalam Angkatan Pujangga Baru, dapat kita lihat keindahan persamaan bunyi pada akhir suku kata terakhir tiap lariknya yang konstan berbunyi –u. Selain itu, bunyi –u pada puisi ini membawa penikmatnya ke dalam suasana haru. Hal ini karena sang penulis sendiri yang dengan rendah hati mengakui ketidaktahuannya saat ia justru sedang terus giat menuntut ilmu. Nah, lewat kedua peranan inilah bunyi menjadi unsur penting pada tubuh puisi. Bunyi dalam puisi beragam jenisnya. Di antaranya: irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
  1. Irama
    Merujuk KBBI Edisi Ketiga (Depdiknas, 2007: 442), irama adalah alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan, dan tinggi rendahnya nada (dalam puisi). Masih selaras dengan pengertian sebelumnya, menurut Hasanuddin WS (2012: 45), bicara soal irama erat kaitannya dengan musik. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Menurut berbagai pendapat, irama terbagi dua yaitu ritme dan metrum. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menggema dendang penyair, sedangkan metrum adalah irama tetap yang terpola menurut pola tertentu (Semi, 1984: 109). Untuk mengetahui metrum, lihatlah kutipan pantun di bawah ini.
    (I)    PANTUN

    Kupaskan terung dengan mumbung
    letak rebung dalam kuali
    Lepaskan burung hendak terbang
    kala untung baik kembali
    Pada pantun di atas, metrum terlihat pada setiap kata kedua tiap lariknya. Sedangkan, ritme bisa kita lihat pada kutipan puisi di bawah ini.
    BERI DAKU SUMBA

                                        Di Uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu
                                        Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

    Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang
    Di mana matahari membusur api di atas sana
    Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
    Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga...

                                                    (Taufiq Ismail, Laut Biru Langit Biru: 404)
    Pada puisi di atas, dapat kita lihat ada pengulangan kata rindu. Selain itu ada juga pengulangan kata padang. Penggunaan-penggunaan ini digunakan untuk menciptakan ritme.
  2. Kakafoni dan Efoni
    Mengutip Zulinarti (http://eci-muachpinky.blogspot.com/2012/04/bunyi-dalam-puisi-karya-sutardji.html, akses 12 April 2014), kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam puisi dapat menimbulkan kesan cerah atau sebaliknya, kesan buram. Pradopo (Seperti dikutip Zulinarti, 2007: 27) menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni. Sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut Kakafoni. Kakafoni ini cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serta tak teratur bahkan memuakkan.
    surat wasiat singkat

    di surat wasiat,
    kalimat singkat yang kau catat
    telah tiba padaku sebagai kalimat cacat
    sebagaimana semua kalimatmu yang aku ingat

    meminta obat,
    meminta dirawat

    aku tetap mencintaimu,
    kau tepat mencintaiku?

    aku tahu kau ragu sangat
    meletakkan tanda tanya di akhir kalimat.

                                (mam, 2012: 119)
    Pada puisi di atas, kesan lengkap yang didapat adalah kesan buram. Hal ini sangat terlihat jelas pada penggunaan pernyataan ketidakpuasan pada akhir larik bait terakhir. Juga penggunaan bunyi konsonan t secara dominan di akhir kalimat.

    Kemudian mari kita juga nikmati satu puisi di bawah ini.
    DUEL
    Ayo, buku, baca mataku!
                                    (Joko Pinurbo, 2007)
    Meski puisi di atas hanya terdiri dari satu larik, kita justru lebih mudah menangkap kesan lengkapnya yaitu kesan cerah. Pada puisi tersebut, Joko Pinurbo (Jokpin) berada dalam suasana penuh gairah, menantang.
  3. Onomatope
    Onomatope adalah kata tiruan bunyi (Depdiknas, 2007: 799). Contoh  onomatope di antaranya: desis untuk ular, ringkik untuk kuda, lolong untuk anjing, dentam untuk meriam, desau untuk daun, gemercik untuk air, dan lain-lain. Tiruan bunyi ini bisa berasal dari hewan, benda mati, tumbuhan, orang, dan lain-lain yang memungkinkan untuk dibuat tiruan bunyinya. Fungsi onomatope ini adalah untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas (WS, 2012: 58). Contoh:
    LANGKAHMU AYAH

    Tap tap
    Langkah itu buatku berlari ke depan pintu
    Bukan untuk sebungkus permen atau sekotak kue
    Bukan untuk rengekan tambahan jajan
    Tapi sebuah pelukan hangat dan kebahagiaan
    Dari lengkung senyumnya yang letih menawan
        ...dst.
                                          (Yuni Budiawati, 2014)
    Pada puisi di atas, kata tap-tap adalah onomatope dari suara pijakan sepatu. Bisa kita rasakan, bahwa dengan menggunakan tap-tap, suasana pijakan sepatu lugas terasa daripada hanya disebutkan terdengar suara sepatu.
  4. Aliterasi
    Aliterasi adalah sajak awal untuk mendapatkan kesedapan bunyi (Depdiknas, 2007: 31). Barangkali yang dimaksud sajak di sini adalah bunyi awal yang digunakan secara berulang-ulang. Adapun bunyi yang diulang-ulang adalah bunyi konsonan. Contoh:
    SEPISAUPI

    Sepisau luka sepisau duri
    Sepikul dosa sepukau sepi
    Sepisau duka serisau diri
    Sepisau sepi sepisau nyanyi

    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisapanya sepikau sepi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepikul diri keranjang duri

    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sampai pisau-Nya kedalam nyanyi

         (Sutardji Calzoum Bachri)
    Pada puisi di atas, Sutardji menggunakan pengulangan bunyi /s/ secara dominan pada awal kata tiap lariknya. Akibatnya, muncul suasana dominan yang menjadi jalan pembaca dan puisinya untuk menyatu.
  5. Asonansi
    Asonansi tidak jauh berbeda dengan aliterasi, yaitu pemanfaatan bunyi dengan cara mengulang-ulang. Perbedaanya yaitu bahwa bunyi ulangan yang digunakan pada asonansi adalah bunyi vokal yang bertujuan untuk menciptakan kemerduaan bunyi. Contoh:
    CINTAKU JAUH DI PULAU

    Cintaku jauh di pulau
    Gadis manis sekarang iseng sendiri.

    Perahu lancar, bulan memancar,
    Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
    ...dst.

                               (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 59)
    Pada puisi di atas, terlihat bahwa Chairil menggunakan pengulangan bunyi asonansi /a/ dan /u/ pada larik pertama bait pertama. Kemudian bunyi /a/ pada larik pertama bait kedua. Hal yang perlu diingat, tidak semua pengulangan bunyi vokal bisa disebut asonansi apabila penggunaanya belum terkategorikan dominan.
  6. Anafora dan Epifora
    Anafora dan epifora adalah cara memanfaatkan pengulangan bunyi kata pada awal larik sajak untuk anafora, dan akhir sajak untuk epifora. Contoh:
    SURAT KAU

    Kau tak ada di kakiku
    ketika aku membutuhkan langkahmu
    untuk merambah rantauku.

    Kau tak ada di tanganku
    ketika aku membutuhkan jarimu
    untuk menggubah gundahku.

    Kau tak ada di sarungku
    ketika aku membutuhkan jingkrungmu
    untuk meringkus dinginku.
    ...dst.                           
                                         (Joko Pinurbo, 2013)
    Demikianlah uraian singkat mengenai unsur bunyi pada puisi. Sekali lagi, bunyi ada pada tubuh puisi untuk menjalankan perannya, yaitu memberi makna dan memberi nilai estetik pada puisi. Untuk meramu bunyi pada puisi, seorang penyair harus jeli dan tekun. Jeli karena salah bunyi bisa menghilangkan keestetikaan puisi, sedangkan tekun karena prosesnya cukup memakan waktu.
UNSUR KATA

Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan (Depdiknas, 2007: 513). Dalam puisi, kata bisa diucapkan juga dituliskan. Kata menjadi sangat penting sekali sebab melalui katalah kita mengungkapkan puisi. Ada dua hal yang menjadi sorotan kaitannya dengan diksi dan interpretasinya pada sebuah puisi. Pertama, mengenai pemilihan diksi. Kedua, mengenai cara pemaknaan diksi itu sendiri. Menurut Sudjiman (1984: 19) diksi yang baik adalah yang tepat dan selaras dengan peristiwa yang dibicarakan pada suatu puisi. Pemilihan kata pada sebuah puisi didasarkan pada pertimbangan apakah suatu kata mampu atau tidaknya menyampaikan pesan yang ingin disampaikan secara utuh. Hal ini menjadi penting agar maksud si penyair dapat tersampaikan. Kadang seorang penyair harus merevisi diksi puisinya saat dirasa belum sepenuhnya mampu menyampaikan apa yang dimaksudkan. Artinya, sang penyair merasa ada yang kurang. Hal ini pernah terjadi pada Chairil Anwar, puisinya yang berjudul Hampa. Pada versi pertamanya, Deru Campur Deru (DCD), kata-kata sebelum larik awalnya hanyalah Kepada Sri. Sedangkan, pada versi kedua, Kerikil Tajam diubah menjadi Kepada Sri yang selalu sangsi. Alasan Chairil menambahkan kata yang selalu sangsi mungkin untuk menimbulkan efek suasana yang lebih mengena daripada pilihan diksi sebelumnya, yaitu hanya Kepada Sri saja. Untuk membandingkannya, dapat kita lihat contohnya di bawah ini.
Versi DCD:
HAMPA
Kepada Sri

Sepi di luar Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
...dst.
           (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 24)

Versi Kerikil Tajam:
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
...dst.
          
           (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 24)
Kemudian, menurut Hasanuddin WS (2012: 68-69) penyair boleh menggunakan bahasa sehari-hari, komunikasi, atau memilih bahasa apa saja. Penyair juga boleh menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah. Hal ini semata-semata demi kepentingan kepadatan makna, demi kepentingan tersampaikannya makna secara utuh dan memiliki nilai estetik. Diksi yang dianggap berlebihan adalah saat seorang penyair menggunakan kata yang begitu jarang digunakan, padahal masih ada kata lain yang lebih umum namun masih memiliki nilai estetis.  Hal yang kedua menjadi sorotan kaitannya dengan unsur kata adalah mengenai secara apa kita memaknai sebuah puisi (interpretasi). Secara denotatif ataukah konotatif? Denotatif berarti mengacu pada makna yang tertera di kamus, sedangkan konotatif sebaliknya memerlukan tambahan makna lain berdasarkan konteks yang dihadirkan. Contoh:
AKULAH SI TELAGA

Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
Bunga-bunga padma;
...dst.
                                          (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 16)
Pada kutipan puisi di atas, jelas terlihat bahwa yang dimaksudkan dengan kata telaga bukanlah telaga sesuai dengan makna kamus, melainkan butuh tambahan makna lain, yaitu makna konotatif. Kata telaga di atas bisa diartikan sebagai pengorbanan (WS, 2012: 82-83). Hal lain yang muncul pada bagaimana memahami diksi sebuah puisi, lebih kompleks, terdapat pada puisi Sutardji Calzoum Bahri di bawah ini.
TRAGEDI WINKA & SIHKA

      kawin
                 kawin
                            kawin
                                       kawin
                                                 kawin
                                                          ka
                                                    win
                                                ka

                                         win
                                   ka
                            win
                      ka
              win
          ka
winka
        winka
                  winka
                           sihka
                                   sihka
                                           sihka
                                                    sih
                                                ka
                                           sih
                                      ka
                                sih
                           ka
                      sih
                 ka
           sih
      ka
           sih
                sih
                       sih
                            sih
                                sih
                                    sih
                                        ka
                                            Ku
         
          (Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK, 1981)
Lihatlah tipografinya yang berbentuk zigzag, dan kata-katanya terbalik. Kata kawin dibalik winka, dan kata kasih dibalik sihka. Untuk memahami maksud puisi ini, kita dituntut untuk memahaminya secara denotatif, kemudian konotatif, dan terakhir pemaknaan secara simbolik. Menurut Hasanuddin WS (2012: 87-88), puisi ini berisikan ungkapan bahwa fenomena perkawinan saat ini seperti mainan, bukan menjadi hal yang sakral. Pesan ini dapat ditangkap melalui upaya pembolak-balikan kata kawin dan kasih menjadi winka dan sihka. Kemudian, puisi ini juga menggambarkan fenomena perkawinan yang sudah carut-marut. Artinya, cara yang ditempuh tidak berdasarkan norma masyarakat yang berlaku,  banyak pasangan yang melakukan penyimpangan atau perselingkuhan. Pesan ini terlihat dari tipografi yang digunakan, yaitu bentuk zigzag, tidak lurus. Begitulah paling tidak cara memaknai puisi berbentuk seperti ini.

UNSUR BAHASA KIASAN/MAJAS (FIGURATIVE LANGUAGE)

Bahasa puisi tidak lepas dari penggunaan majas/bahasa kiasan. Majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu (admin, http://carapedia.com/pengertian_majas_info741.html, akses 12 April 2014). Pradopo (2012: 62), menyatakan bahwa penggunaan majas menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Contoh dalam hal menimbulkan kejelasan gambaran angan, seorang penyair yang ingin mengungkapkan perasaan rindu bisa saja mengumpamakannya seperti tanah kering yang menanti hujan. Ada begitu banyak jenis majas. Pada makalah ini hanya akan dijelaskan beberapa saja. Secara umum, gaya bahasa terbagi ke dalam beberapa kelompok di antaranya: majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas perulangan.
  1. Majas Perbandingan
    Majas ini digunakan untuk membandingkan satu hal dengan lainnya. Yang tergolong ke dalam majas perbandingan di antaranya: asosiasi/perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, simbolik, dan simile (Mulyadi, http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 12 Januari 2014).

    a. Asosiasi/Perumpamaan
    Majas ini digunakan untuk membandingkan dua hal yang hakikatnya berbeda namun sengaja dianggap sama. Biasanya ditandai dengan kata bagai, seperti, umpama, laksana, dan lain-lain. Contoh:
    sungai susu

    di pangkal tidurnya mereka dengar bisikan.
    halus bagai biji-biji hujan yang berkecambah.
    siap tumbuh memanjat udara ke awan-awan
    setelah diguyur matahari tidak terbelah
    ...dst.
                                         (mam, 2012: 39)
    b. Metafora
    Menurut Becker (Seperti dikutip Pradopo, 1978: 317), metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. Majas ini digunakan untuk mengungkapkan perbandingan analogis tanpa menggunakan kata-kata yang digunakan pada majas asosiasi. Contoh:
    ...
    Bumi ini perempuan jalang.

                                   (Subagyo, “Dewa Telah Mati”, 1975: 9)
    c. Personifikasi
    Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 2012: 75). Contoh:
    chronicler #63

    mimpi segelap apa pun selalu memiliki sebatang pulpen
    yang mampu mencatat nama-nama atau kehidupan
    bahkan kehidupan yang sudah mati.

    tetapi dalam mimpimu tinta pulpen itu hanya jatuh cinta
    kepada satu nama. nama yang melukaimu: aku
    ...dst.
                                           (mam, 2012: 19)
    d. Depersonifikasi
    Depersonifikasi adalah jenis majas yang mengumpamakan manusia seolah-olah menjadi binatang, tumbuhan, dan benda-benda mati lainnya. Majas ini kebalikan dari majas personifikasi (admin, http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/majas-depersonifikasi-pengertian-contoh-perbandingan.html, akses 12 April 2014). Contoh:
    Aku melihatnya diam mematung.
    e. Alegori
    Majas ini berupa cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Majas ini dapat pula dikatakan sebagai lanjutan dari metafora. Dan majas ini banyak ditemui di puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru. Juga banyak ditemui pada puisi-puisi modern (Pradopo, 2012: 71). Contoh:
    KAPAL NUH

    Sekali akan turun lagi
    kapal Nuh di pelabuhan malam
    tanpa kapten
    hanya Suara yang berseru ke setiap hati:
    “Mari!”
    Kita berangkat berkelamin, laki-isteri,
    untuk berbiak di tanah baru yang berseri,
    juga makhluk yang merangkak
    di darat di langit terbang
    masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
    mendapat ruang
    di haluan, di buritan, di timbaruang.
    bahkan bunga, emas dan perak
    itu batu mulia
    yang memancarkan api rahmat
    turun termuat.
    kalau bahtera mulai bertolak
    dekat kita dengar bumi retak
    Bumi, yang telah tua
    oleh usia dan derita.
                                                       (Simphoni, 1975: h. 23)  
    f. Simbolik
    Mengutip Mulyadi (http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 12 April 2014), simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan benda, binatang, atau tumbuhan sebagai simbol atau lambang. Contoh:
    AKU

    Kalau sampai waktuku
    ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
    Tidak juga kau

    Tak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang
    Dari kumpulannya terbuang
    ...dst.

                                   (Chairil Anwar, Aku ini binatang Jalang, 1943: 13)
                                   *Versi DCD
    g. Simile
    Mengutip Mulyadi (http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 12 April 2014), simile adalah bahasa kiasan yang menggunakan kata depan dan kata penghubung: seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, bak, bagai, dan lain-lain. Contoh:
    Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.
  2. Majas Pertentangan
    Majas pertentangan adalah kata-kata kiasan yang menyatakan pertentangan dengan yang dimaksud sebenarnya. Majas ini digunakan untuk memberikan kesan hebat dan memberikan pengaruh yang lebih kepada pembaca (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Yang termasuk ke dalam majas ini di antaranya:

    a. Hiperbola
    Hiperbola adalah jenis majas yang melukiskan suatu peristiwa atau hal yang sebenarnya dilebih-lebihkan (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Contoh:
    GALAWISASI HATI

    Cinta..
    Aku tak mengenal apa itu cinta, siapa cinta, dimana cinta, kapan cinta datang, kenapa ada cinta, dan bagaimana cinta?
    Namun relung sukma ini berteriak meronta-ronta
    Seolah olah ada yang mengkudeta
    Memaksanya untuk merasa balutan indah pesona cinta

    Hari demi hari silih berganti
    Jutaan memori telah terlewati
    Aku semakin menyadari bahwa dia sungguh berarti
    Dan aku yakin pasti, inilah yang disebut cinta sejati

    Meski ku tak tahu apakah dia merasakan yang sama?
    Namun haruslah ia bertanggung jawab,
    Karena hati ini telah dicuri olehnya.

    (Utami, http://adinut.blogspot.com/2013/10/contoh-puisi-bermajas-hiperbola.html, akses 12 April 2014)   
    b. Litotes
    Mengutip Matulessi (http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014), litotes adalah kiasan yang menggunakan ungkapan merendahkan diri yang bertolak belakang dari keadaan sebenarnya. Contoh:
    Mampirlah di gubuk kami yang sederhana ini.   
    c. Ironi
    Ironi adalah majas yang menggunakan ungkapan untuk memberikan sindiran halus yang padahal bertolak belakang dari keadaan sebenarnya (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Contoh:
    Ah, benar-benar tepat waktu engkau! Aku sampai bosan menunggumu di sini.   
    d. Paradoks
    Paradoks adalah majas yang menggunakan ungkapan yang melukiskan hal atau keadaan yang berlawanan dari fakta (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Contoh:
    Dia masih saja kesepian di tempat yang seramai ini.
  3. Majas Pertautan
    Majas pertautan adalah kata-kata berkias yang bertautan (berasosiasi) dengan gagasan, ingatan atau kegiatan panca indra pembicara atau penulisnya (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Beberapa majas yang termasuk ke dalam jenis majas ini di antaranya:

    a. Metonimia
    Metonimia adalah jenis majas yang penggunaannya paling jarang dibandingkan dengan majas-majas perbandingan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, metonimia disebut sebagai pengganti nama (Pradopo, 2012: 77). Kemudian, menurut Altendberg (1970: 21), bahasa metonimia berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang hubungannya dekat untuk menggantikan objek tersebut. Contoh:
    There is no armour againts fate;
    Death lays his icy hand on kings:
            Sceptre and crown
            Must tumble down,
    And in the dust be equal made
    With the poor crooked scythe the and spade

    (Tak ada perisai terhadap nasib;
    Kematian meletakkan tangannya yang dingin pada raja-raja:
            Tongkat kerajaan dan mahkota
            Harus runtuh
    Dan di debu disamaratakan
    Dengan sabit dan sekop miskin bengkok)
    Penggunaan kata tongkat dan mahkota pada puisi di atas adalah untuk menggantikan pemerintah (raja-raja). Juga, penggunaan sabit dan sekop adalah sebagai pengganti orang kebanyakan (masyarakat umum).

    b. Sinekdoki (synecdoche)
    Menurut Altendberg (1970: 22), sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan hal/bagian penting dari suatu hal. Ada dua jenis sinekdoki, di antaranya:

    Pars pro toto: jenis yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.
    Contoh: Hingga detik ini ia belum kelihatan hidungnya.

    Totum pro parte: jenis yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian.
    Contoh: Indonesia akan memilih idolanya malam ini.

    c. Pararelisme
    Paralelisme adalah majas yang mengulang kata di setiap baris yang sama dalam satu bait di dalam penggunaan puisi (admin, http://id.wikipedia.org/wiki/Paralelisme, akses 12 April 2014). Contoh:
    Kau berkertas putih
    Kau bertinta hitam
    Kau beratus halaman
    Kau bersampul rapi
          (admin, http://id.wikipedia.org/wiki/Paralelisme, akses 12 April 2014).
    d. Eufemisme
    Mengutip Yadi (http://www.yadi82.com/2012/01/majas-eufimisme-dan-contoh-contohnya.html, akses 12 April 2014), eufemisme adalah majas yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang dianggap lebih sopan dari ungkapan sebenarnya. Contoh:

    Anak ibu sedikit tertinggal (maksudnya kurang pintar).
    Maaf, saya mau ke belakang dulu (mau ke toilet).

    e. Elipsis
    Elipsis adalah penggunaan gaya bahasa dengan menghilangkan kata atau bagian kalimat (Sunawan, http://majas1024.blogspot.com/2013/02/majas_20.html, akses 12 April 2014). Contoh:

    Lari! (Kamu lari!)
    Ayah dan adik ke Brebes. (Kata pergi dihilangkan setelah kata adik)
  4. Majas Penegasan/Perulangan
    Majas penegasan/perulangan adalah jenis majas yang menggunakan pengulangan-pengulangan ungkapan demi mempertegas makna. Berikut di bawah ini dijelaskan beberapa majas yang termasuk ke dalam majas penegasan.

    a. Aliterasi
    Aliterasi adalah gaya bahasa yang menggunakan pengulangan bunyi konsonan pada awal kata secara berurutan (http://id.wikipedia.org/wiki/Majas, akses 12 April 2014). Contoh:
    SEPISAUPI

    Sepisau luka sepisau duri
    Sepikul dosa sepukau sepi
    Sepisau duka serisau diri
    Sepisau sepi sepisau nyanyi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisapanya sepikau sepi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepikul diri keranjang duri
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi

           (Sutardji Calzoum Bachri, 1973)
    b. Asonansi
    Asonansi adalah majas repetisi, pengulangan bunyi vokal yang sama (http://koffieenco.blogspot.com/2013/01/macam-macam-majas-dan-contohnya.html, akses 12 April 2014). Contoh:
    CINTAKU JAUH DI PULAU

    Cintaku jauh di pulau
    Gadis manis sekarang iseng sendiri.

    Perahu lancar, bulan memancar,
    Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar...

                             (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, 2003: 59)
    c. Anafora
    Anafora adalah majas yang menggunakan perulangan kata pada setiap awal larik atau kalimat (admin, http://id.wikibooks.org/wiki/Subjek:Bahasa_Indonesia/Materi:Majas, akses 12 April 2014). Contoh:
    SURAT KAU

    Kau tak ada di kakiku
    ketika aku membutuhkan langkahmu
    untuk merambah rantauku.

    Kau tak ada di tanganku
    ketika aku membutuhkan jarimu
    untuk menggubah gundahku.

    Kau tak ada di sarungku
    ketika aku membutuhkan jingkrungmu
    untuk meringkus dinginku.

    Kau tak ada di bibirku
    ketika aku membutuhkan aminmu
    untuk meringkas inginku.

    Kau tak ada di mataku
    ketika aku membutuhkan pejammu
    untuk merengkuh tidurku.

    Mungkin kau sudah menjadi aku
    sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.

         (Jokpin, http://jokopinurbo.blogspot.com/, akses 13 April 2014)
    d. Kiasmus
    Mengutip (admin, http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/, akses 2014), kiasmus adalah penggunaan pengulangan dua buah kata sekaligus pembalikannya. Contoh:

    Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.

    e. Antanaklasis
    Antanaklasis adalah majas yang menggunakan satu kata untuk dua kalimat dengan makna yang berbeda (Feny, http://fenymey.wordpress.com/2012/10/06/macam-macam-majas-dan-contohnya/, akses 12 April 2014). Contoh:

    Ibu membawa buah tangan, yaitu buah apel merah.
UNSUR CITRAAN

Menurut Pradopo (1979: 42), gambaran angan dalam sajak disebut citra atau imaji (image), sedangkan setiap gambaran-gambaran pikiran dan bahasa yang menggambarkan itu disebut citraan (imagery). Pada puisi, citraan berfungsi untuk menciptakan kepuitisan. Puisi-puisi yang kaya akan imaji disebut puisi imajis. Jenis-jenis citraan di antaranya: citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan penciuman (smell imagery), citraan rasaan (taste imagery), citraan rabaan (tactile imagery), dan citraan gerak (kinaesthetic imagery). Berikut satu persatu jenis-jenis citraan dijelaskan berikut ini.
  1. Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
    Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena daya saran penglihatan (WS, 2012: 94). Citraan jenis ini kerap digunakan para penyair visual untuk menitikberatkan kepuitisan puisinya lewat imajinasi penglihatan. Selain penyair visual, juga banyak penyair-penyair lainnya yang memanfaatkan citraan jenis ini. Puisi yang memanfaatkan citraan jenis ini, mengupayakan sesuatu yang tidak terlihat pada puisinya seolah-olah terlihat. Sebagai contoh, lihatlah puisi di bawah ini.
    STANZA

    Ada burung dua, jantan dan betina
    hinggap di dahan.

    Ada daun dua, tidak jantan tidak betina gugur di dahan.
    Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua
    pergi ke selatan.
    Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
    mengendap dalam nyanyiku.

               (Rendra, Empat Kumpulan Sajak: 62)
    Pada puisi di atas, seolah-olah kita melihat ada dua burung, helaian daun, kapuk, dan debu. Kita diajak untuk masuk ke dalam suasana puisi di atas lewat imajinasi visual kita.
  2. Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
    Segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha memancing bayangan pendengaran guna membangkitkan suasana tertentu di dalam puisi dapat digolongkan kepada citraan pendengaran (WS, 2012: 96). Suara lolong anjing, auman harimau, cuitan burung, dentuman mortir, dan lain-lainnya ditampilkan pada puisi untuk menghidupi puisi itu sendiri lewat citraan indera pendengaran. Sesuatu yang abstrak, kemudian seolah-olah terdengar ada. Lihatlah di bawah ini contoh puisi yang menggunakan citraan pendengaran.
    CERMIN, 2

    cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
    meraung, tersedan, atau terisak,
    meski apa pun terjadi di dalamnya;
    barangkali ia hanya bisa bertanya: mengapa kau seperti kehabisan suara?

                                             (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 36)
    Kata-kata yang digarisbawahi pada puisi di atas, adalah citraan pendengaran sehingga seolah-olah terdengar ide-ide itu.
  3. Citraan Penciuman (Smell Imagery)
    Citraan penciuman adalah citraan yang membuat ide-ide abstrak bisa ditangkap oleh indra penciuman. Kita seolah-olah bisa mencium bau sesuatu. Contoh gamblangnya ada pada puisi di bawah ini.
    SAJAK PUTIH

                     buat tunanganku Mirat

    bersandar pada tari warna pelangi
    kau depanku bertudung sutra senja
    di hitam matamu kembang mawar dan melati
    harum rambutmu mengalun bergelut senda...

                      (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 43)
    Kata harum pada puisi di atas, merupakan citraan penciuman yang membuat kita seolah-olah mencium bau harum rambut yang penulis maksud pada puisinya.
  4. Citraan Rasaan (Taste Imagery)
    Citraan rasaan adalah pemanfaatan kata-kata untuk memungkinkan pembaca agar seolah-olah dapat merasa atau mengecap sesuatu dengan indra pengecapnya. Contoh:
    ANGGUR DARAH

                   untuk Fransiskus Sudibyanto
     ...
    Diteguk setuwuk anggur
    di lidah terasa darah
    Wahai! Amis, ya amis
    Dicicip bibir janda musuh
    tergigit menetes darah
    Wahai! Asin, ya, asin
    ...dst.

      (Rendra, Empat Kumpulan Sajak: 143-144)
    Saat kita membaca kata amis dan asin pada puisi di atas, maka asosiasi yang muncul dalam indra pengecap kita adalah konsep rasa amis dan asin itu.
  5. Citraan Rabaan (Tactile Imagery)
    Citraan rabaan maksudnya citraan berupa lukisan yang mampu menciptakan suatu daya saran bahwa seolah-olah pembaca dapat tersentuh; bersentuhan; atau apapun yang melibatkan efektivitas indra kulitnya (Hasanuddin WS, 2012: 102). Pembaca seolah-olah dapat menyentuh merasakan sesuatu. Apabila pembaca mendengar kata-kata lengannya tersayat pisau, maka seolah-olah ikut tersayat. Contoh:

    PESAN

    Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumatri, bahwa memang kebetulan jantungku
    tertembus anak panahnya.
    Kami saling mencintai, dan antara sengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada
    pembatasnya.
    Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya,
    dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....
    ...dst.
                                    (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 45)

    Pada larik kedua, pembaca terbawa ke suasana jantungnya tertembus panah.
  6. Citraan Gerak (Kinaesthetic Imagery)
    Citraan gerak diciptakan untuk membawa pembaca pada suasana seolah-olah ide yang ada pada puisi hidup. Ide-ide yang ada pada puisi seolah-olah bergerak. Lihatlah kutipan puisi di bawah ini.
    MIKRAJ

    Di ujung musim yang mengasing
    bagai dengus gurun pasir
            cahaya melompat
            dalam laut salju
            diseretnya langkah
            malam itu
            dalam putih waktu
            ...dst.

    (Abdul Hadi WM, Anak Laut Angin: 56-57)
    Pada kutipan puisi di atas, di larik ketiga, pembaca diajak masuk ke suasana bahwa cahaya seolah-olah bisa melompat.
KESIMPULAN

Telah dijelaskan bahwa unsur-unsur bentuk puisi, di antranya: unsur bunyi, unsur kata, unsur bahasa kiasan/majas, dan unsur citraan. Semua unsur tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam perannya menjadi bagian tubuh puisi. Unsur bunyi untuk memberikan kesan estetik, lugas, dan menghidupkan suatu puisi. Unsur kata berfungsi untuk mengantarkan maksud penulis agar dapat tersampaikan, dan juga memiliki keindahan. Unsur bahasa kiasan/majas berfungsi untuk memberikan nilai puitik, estetik pada puisi. Juga, untuk mengonkretkan hal-hal yang dirasa masih terlalu abstrak maknanya. Serta, unsur citraan berfungsi untuk membawa pembaca puisi ke dalam suasana tertentu. Menurut hemat penulis, secara umum dapat dikatakan bahwa unsur-unsur bentuk puisi yang telah dijelaskan pada intinya berfungsi untuk membuat puisi itu utuh. Puisi yang indah dalam segi diksi maupun bunyi, memiliki imaji yang lugas, dan penuh makna. Namun, perlu diingat bahwa untuk membuat suatu puisi yang bagus kita tidak perlu memaksakan untuk menggunakan unsur-unsur di atas. Kita bisa memilih beberapa saja yang sekiranya akan menghasilkan komposisi puisi yang pas, indah.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Jassin, H.B. Pujangga Baru. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Mansyur, M. Aan. Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini? Jakarta: Motion Publishing, 2012.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak, Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.

***

"Apa Itu Majas Perbandingan?" http://infogreget.blogspot.com/2013/03/apa-itu-majas-perbandingan.html (akses 12 April 2014).

"Contoh Puisi Bermajas Hiperbola." http://adinut.blogspot.com/2013/10/contoh-puisi-bermajas-hiperbola.html (akses 12 April 2014).

Feny. "Macam-Macam Majas dan Contohnya." http://fenymey.wordpress.com/2012/10/06/macam-macam-majas-dan-contohnya/ (akses 12 April 2014).

"Macam-macam Majas dan Contohnya." http://koffieenco.blogspot.com/2013/01/macam-macam-majas-dan-contohnya.html (akses 12 April 2014).

"Majas." http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/ (akses 12 April 2014).

"Majas atau Gaya Bahasa?" http://galangkurniaardi.wordpress.com/2010/10/26/majas-gaya-bahasa/ (akses 12 April 2014).

"Majas Depersonifikasi: Pengertian, Contoh, Macam-macam/Jenis, Perbandingan." http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/majas-depersonifikasi-pengertian-contoh-perbandingan.html (akses 12 April 2014).

"Mengenal Ragam Macam Majas dalam Bahasa Indonesia." http://kaskushootthreads.blogspot.com/2013/10/mengenal-ragam-macam-majas-dalam-bahasa.html (akses 12 April 2014).

Mulyadi, Agus. "Macam-Macam Majas Perbandingan." http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html (akses 24 April 2014).

"Paralelisme." http://id.wikipedia.org/wiki/Paralelisme (akses 12 April 2014).

"Pengertian dan Contoh Majas." http://carapedia.com/pengertian_majas_info741.html (akses 12 April 2014).

Rini. "Pengertian Bunyi, Rima, dan Irama Pada Puisi." http://riniintama.wordpress.com/pengertian-bunyi-rima-dan-irama-pada-puisi/ (akses 12 April 2014).

"Subjek: Bahasa Indonesia, Materi: Majas." http://id.wikibooks.org/wiki/Subjek:Bahasa_Indonesia/Materi:Majas (akses 12 April 2014).

Yadi. "Majas dan Contoh-Contohnya." http://www.yadi82.com/2012/01/majas-eufimisme-dan-contoh-contohnya.html (akses 12 April 2014).

Zulinarti, Desi. "Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum Bahri." http://eci-muachpinky.blogspot.com/2012/04/bunyi-dalam-puisi-karya-sutardji.html (akses 12 April 2014).


* Oky Primadeka, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pegiat FLAT (Foreign Languages Association), dan pegiat LPQ (Lembaga Pendidikan al-Quran) Masjid Fathullah.

0 komentar:

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In