Karakteristik Bahasa Puisi: Perbedaannya dengan Karya Sastra Lain dan Diksi Puisi
>> 30/05/14
Faliq Ayken*
Unsur-unsur makna di dalam puisi adalah makalah yang telah dipresentasikan oleh Herry Oktav pada pertemuan sebelumnya. Pada makalah tersebut: sense, subject matter, feeling, tone, totality of meaning, dan theme tersampaikan dengan cukup jelas. Dari mulai makna dan arti puisi, jenis-jenis arti (leksikal, konotatif-denotatif, literal-nonliteral, asosiatif-afektif, situatif), sampai dengan makna tema dalam puisi (Oktav, Makalah, 2014).
Pada pertemuan kali ini, saya akan membincang tentang perbedaan puisi dengan karya sastra lain dan diksi puisi. Kedua tema itu masuk dalam kategori karakteristik bahasa puisi. Karakteristik bahasa puisi tentu tidak hanya kedua tema itu, namun masih ada tema-tema yang lain, yaitu: makna denotasi dan konotasi, bahasa kiasan, pencitraan, retorika, dan gaya bahasa.
PERBEDAAN PUISI DENGAN KARYA SASTRA LAIN
Pada dasarnya karya sastra itu wujud permainan kata-kata pengarang berisikan maksud tertentu yang akan disampaikan kepada pembaca. Pembagian sastra terbagi menjadi tiga, yaitu: puisi, prosa, dan drama. Persamaan dari ketiga bagian itu adalah pada konteks penggunaannya, menggunakan kata-kata indah (Damayanti, 2013: 12). Tentu hal demikian agar karya yang sudah diciptakan semakin menarik. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia 1 yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono (2003: 159) mendefinisikan ketiga jenis sastra tersebut, sebagai berikut:
Dalam buku Pengkajian Puisi Rachmat Djoko Pradopo, seperti dikutip Damayanti (2013: 13) menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa prosa dan puisi hanya dibedakan kadar kepadatannya. Bahasa yang padat disebut puisi, sedangkan bahasa yang tidak padat disebut prosa. Berdasarkan kepadatan itulah seringkali prosa dikatakan puitis, yaitu prosa yang memiliki sifat puisi. Dan seringkali juga puisi dikatakan prosais, puisi prosais, puisi yang tidak padat atau menyerupai prosa.
Lihatlah contoh di bawah berjudul Jalan ke Surga karya Joko Pinurbo (2007: 15) berikut ini:
Bagaimana melihat prosa puitis? Lihatlah prosa Bernard Batubara (2013: 17) di bawah ini:
Dalam pejammu, kau melihat jangkrik-jangkrik itu, hujan yang tak kunjung berhenti, debur kali, dan sebatang pohon tua yang melepaskan daun-daun dari tubuhnya. Kau melihatnya menjadi satu, tertata rapi di atas kanvas. Seperti lukisan yang sangat indah, namun tak terjelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang tersamar oleh cinta yang sebentar. Dalam gelap dan sunyi, aku mendengar ceritamu. Aku tersenyum, saat kau bercerita kepadaku segala hal tentang aku.
akankah kita bertemu dalam ricik air kali
di belakang rumah, saat arusnya tak pernah
mengizinkan kita mengalir sebagai daun
yang jatuh dari pohon tua di sisi tubuhnya
akankah kita terjalin sebagai dua arus kali
yang berdebur suaranya sepanjang malam,
ketika derik jangkrik melarang kita bicara
dan pohon tua menjerat kita dengan belit
akarnya
Prosa (cerita pendek) di atas adalah bagian akhir dari cerita pendek berjudul, Lukisan Kali dan Pohon Tua. Itu adalah contoh prosa puitis. Bernard Batubara begitu piawai merangkai kata-kata cerita pendeknya, ia merangkainya dengan bahasa puisi. Adakah rima, metafor, diksi puitis, dan rangkaian kata seperti pada puisi? Tentu ada.
Dalam puisi prosais, M Aan Mansyur (2012: 61) dalam puisi laut kecil, bisa dijadikan contoh:
Untuk contoh drama berjudul Makna Sahabat (http://ilmu-bermanfaat23.blogspot.com/2013/04/contoh-drama-bahasa-indonesia.html, akses 3 Juni 2014) bisa dilihat di bawah ini:
Suasana pagi cerah di SMPN Pelita Harapan Jakarta mengiringi sebuah kisah keempat sekawan dengan karakter yang berbeda-beda. Namun perbedaan tersebut tidak menjadikan mereka berempat berselisih, tetapi menjadikan mereka mascot dalam persahabatan yang sejati. KARA, MIMI, IGO, dan AFIKA, itulah nama mereka. Mereka selalu kompak dan tampak ceria setiap hari. Jadi tidak heran jika mereka memiliki ribuan teman. Keempat sekawan tersebut berbincang-bincang sambil berjalan di koridor sekolah.
IGO: "Hey sob, sebentar lagi kita UAN nich, pastinya waktu untuk kumpul-kumpul kita akan tersita buat belajar. Gimana nich?"
MIMI: "Iya bener juga Zha, jadwal kita bakalan jungkir balik gara-gara persiapan UAN. Jadwal shopping, ke salon, creambath, manypadhy, dan pastinya jadwal kencan bareng bakalan ancur. Aduch, bisa-bisa rambut aku rontok nich."
KARA: "Gak segitunya kalik, tergantung kita juga. Jika kita rajin menabung ilmu, maka kita tidak akan sibuk belajar."
MIMI: "Ah kamu ini Cha, mentang-mentang anak pintar jadinya sok ceramah. Huh nyebelin."
IGO: "Sudah-sudah jangan berdebat, apa yang di omongin KARA itu ada benarnya juga. Coba dech kalian bayangin, jika kita rajin belajar kita tidak perlu sibuk-sibuk mikirin UAN, itung-itung siap senjata dulu sebelum perang. Enjoy aja lagi, bener gak?"
Jika melihat dan membaca contoh drama tersebut, maka akan terlihat jelas penggunaan bahasanya. Menggunakan bahasa lisan, bahasa sehari-hari. Di bagian awal sudah dijelaskan bahwa bahasa drama lebih dekat dengan bahasa sehari-hari.
Dari keempat contoh di atas, kiranya kita bisa menggambarkan perbedaan puisi dengan karya sastra yang lain. Selain keempat contoh yang saya paparkan di atas, masih banyak contoh-contoh lain yang perlu dielaborasi lagi.
DIKSI DALAM PUISI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbaru (2008: 328), diksi diartikan: pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).
Dalam proses penciptaan puisi, diksi adalah hal yang paling penting. Penyair atau pencipta puisi terkadang akan terus menyempurnakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam beberapa waktu lamanya. Seperti pada puisi Aku karya Chairil Anwar, di mana pada awalnya dia menggunakan diksi /dari kumpulan yang terbuang/ kemudian dirubah menjadi /dari kumpulannya terbuang/.
Dalam puisi Aku tersebut di atas terlihat bahwa gagasan yang ingin disampaikan oleh pencipta puisi lebih terlihat kuat. Diksi "yang" yang digantikan dengan diksi "nya" merupakan sebuah usaha pencipta puisi untuk membangkitkan imajinasi pembaca dengan lebih jelas. Si binatang jalang atau si aku lirik dalam puisi berjudul Aku tersebut bukan hanya dari sekumpulan orang terbuang, tetapi bahkan, dari kelompoknya sendiri ia sudah terbuang (Damayanti, 2013: 23).
Perhatikan dua contoh puisi Chairil Anwar di bawah ini yang sudah ada perubahan diksi. Yang satu, versi Kerikil Tajam. Yang kedua, versi Deru Campur Debu (Pradopo, 2012: 55).
Kata Ku tahu menunjukkan perasaan pesimistis. Jika kata ini dideklamasikan, nadanya melankolik. Sedangkan kata Ku mau menunjukkan perasaan optimistik, kemauan pribadi yang kuat. Bertolak belakang dengan kata Ku tahu.
KESIMPULAN
Karakteristik bahasa puisi bisa diketahui dengan membedakan antara karya puisi dengan karya sastra yang lain. Diksi adalah alat utama untuk membedakan karya sastra itu sendiri. Jika diksi dalam puisi tidak ada, dalam arti tidak selaras, maka yang terjadi adalah ketiadaan nilai estetik dalam puisi tersebut. Kenapa demikian? Karena untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas supaya selaras dengan sarana komunikasi yang lain, maka pencipta puisi atau penyair harus memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya.
Penyair atau pencipta puisi, sehari-harinya, harus terbiasa membuka kamus dan tahu makna apa yang terkandung dalam puisi yang akan ia ciptakan. Jika sudah mengetahui, maka penyair atau pencipta puisi tentu bisa membedakan mana karya puisi dan mana yang bukan, dan juga bisa membedakan mana bahasa sehari-hari dan mana bahasa khas puisi.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Bernard. Kumpulan Cerpen Milana: Perempuan yang Menunggu Senja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
"Contoh Drama Bahasa Indonesia." http://ilmu-bermanfaat23.blogspot.com/2013/04/contoh-drama-bahasa-indonesia.html (akses 3 Juni 2014).
Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia: Puisi, Sajak, Syair, Pantun dan Majas. Yogyakarta: Araska, 2013.
Pinurbo, Joko. Kumpulan Puisi Jokpin 2006-2013. Tangerang Selatan: Azmo Press, 2013.
Mansyur, M Aan. Tokoh-tokoh yang Melawan Kita Dalam Satu Cerita. Jakarta Selatan: Motion Publishing, 2012.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Oktav, Herry. “Unsur-unsur Makna yang Terdapat di Dalam Puisi.” Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Sugono, Dendy. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2003.
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
* Faliq Ayken, nama pena dari Moh. Faliqul Ishbah, alumnus Al-Inaaroh Buntet Pesantren Cirebon dan anggota istimewa FLAT, Foreign Languages Association, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
PERBEDAAN PUISI DENGAN KARYA SASTRA LAIN
Pada dasarnya karya sastra itu wujud permainan kata-kata pengarang berisikan maksud tertentu yang akan disampaikan kepada pembaca. Pembagian sastra terbagi menjadi tiga, yaitu: puisi, prosa, dan drama. Persamaan dari ketiga bagian itu adalah pada konteks penggunaannya, menggunakan kata-kata indah (Damayanti, 2013: 12). Tentu hal demikian agar karya yang sudah diciptakan semakin menarik. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia 1 yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono (2003: 159) mendefinisikan ketiga jenis sastra tersebut, sebagai berikut:
- Puisi adalah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran pembaca akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus.
- Prosa adalah jenis sastra dengan bentuk paragraf yang bebas menggunakan kata-kata yang diinginkan pengarang. Prosa lebih dikenal dengan cerita kehidupan dan bahasa prosa sangat dekat dengan bahasa sehari-hari.
- Drama adalah jenis sastra yang tujuaannya menggambarkan kehidupan lewat lakuan dan dialog para tokoh. Lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung.
Dalam buku Pengkajian Puisi Rachmat Djoko Pradopo, seperti dikutip Damayanti (2013: 13) menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa prosa dan puisi hanya dibedakan kadar kepadatannya. Bahasa yang padat disebut puisi, sedangkan bahasa yang tidak padat disebut prosa. Berdasarkan kepadatan itulah seringkali prosa dikatakan puitis, yaitu prosa yang memiliki sifat puisi. Dan seringkali juga puisi dikatakan prosais, puisi prosais, puisi yang tidak padat atau menyerupai prosa.
Lihatlah contoh di bawah berjudul Jalan ke Surga karya Joko Pinurbo (2007: 15) berikut ini:
Jalan ke SurgaJika melihat dalam konteks kepadatan, karya Joko Pinurbo di atas adalah karya puisi. Dua larik puisi di atas sarat akan makna. Bagaimana mungkin mobil hasil curian bisa masuk ke dalam kantor-Mu yang suci itu? Bagaimana mungkin seorang berhati busuk, sering menyengsarakan orang lain, bisa masuk ke dalam Surga-Mu? Bagaimana mungkin seorang yang kotor bisa masuk ke dalam rumah-Mu yang bersih itu? Hanya dua larik puisi, tapi mempunyai banyak makna. Padat bukan berarti kata-kata dipangkas habis sampai tersisa hanya beberapa kata dalam satu larik, tapi padat yang tetap memperhatikan diksi. Puisi yang jeli pada diksi, biasanya akan mempunyai banyak makna.
Jalan menuju kantorMu macet total
oleh antrean mobil-mobil curianku
Bagaimana melihat prosa puitis? Lihatlah prosa Bernard Batubara (2013: 17) di bawah ini:
Dalam pejammu, kau melihat jangkrik-jangkrik itu, hujan yang tak kunjung berhenti, debur kali, dan sebatang pohon tua yang melepaskan daun-daun dari tubuhnya. Kau melihatnya menjadi satu, tertata rapi di atas kanvas. Seperti lukisan yang sangat indah, namun tak terjelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang tersamar oleh cinta yang sebentar. Dalam gelap dan sunyi, aku mendengar ceritamu. Aku tersenyum, saat kau bercerita kepadaku segala hal tentang aku.
akankah kita bertemu dalam ricik air kali
di belakang rumah, saat arusnya tak pernah
mengizinkan kita mengalir sebagai daun
yang jatuh dari pohon tua di sisi tubuhnya
akankah kita terjalin sebagai dua arus kali
yang berdebur suaranya sepanjang malam,
ketika derik jangkrik melarang kita bicara
dan pohon tua menjerat kita dengan belit
akarnya
Prosa (cerita pendek) di atas adalah bagian akhir dari cerita pendek berjudul, Lukisan Kali dan Pohon Tua. Itu adalah contoh prosa puitis. Bernard Batubara begitu piawai merangkai kata-kata cerita pendeknya, ia merangkainya dengan bahasa puisi. Adakah rima, metafor, diksi puitis, dan rangkaian kata seperti pada puisi? Tentu ada.
Dalam puisi prosais, M Aan Mansyur (2012: 61) dalam puisi laut kecil, bisa dijadikan contoh:
laut kecilPuisi laut kecil di atas adalah puisi yang kemasannya menggunakan teknik menulis prosa. Di sana kata-kata mengalir, bebas, bahkan cenderung tidak ada pemadatan bahasa puisi. Jika Bernard Batubara mengemas cerita pendeknya dengan bahasa puitik, M Aan Mansyur mengemas puisinya selayaknya cerita pendek (prosa).
yang warna dan cahaya di tubuhku, yang bening dan asin di
tubuhnya yaitu masa lampau. yang berkepak di tubuhku, yang
beriak di tubuhnya yaitu masa depan.
dunia bening dan terpisah dari yang harusnya menangkap
maksud dan kecupku. di tubuhnya diperangkap dan senang
berenang-renang. aku terbang dalam air dengan sayap-sayap
berkilau-kilau. kau di luar sedang tersenyum seperti mimpi
menerangi tidur yang semula hampa cahaya.
kecupku mampu menjangkau jari yang kaucelup ke tubuhnya,
jika kau mau. aku mencintai kuku-kukumu yang tumbuh putih,
meski sesekali patah kaugigit, yang mampu jadi cermin bagiku
dan bagi siapapun.
ini laut kecil milikmu. sudah terlalu luas bagi tubuhku.
(sambil menyantap sarapan, atau harapan, aku menulis ini. kau
mungkin sedang memainkan alat-alat dapur sembari lirih
membisikkan lirik-lirik lagu kesukaanmu. di luar kaca
jendela, hanya ada januari dan langit lembab.)
Untuk contoh drama berjudul Makna Sahabat (http://ilmu-bermanfaat23.blogspot.com/2013/04/contoh-drama-bahasa-indonesia.html, akses 3 Juni 2014) bisa dilihat di bawah ini:
Suasana pagi cerah di SMPN Pelita Harapan Jakarta mengiringi sebuah kisah keempat sekawan dengan karakter yang berbeda-beda. Namun perbedaan tersebut tidak menjadikan mereka berempat berselisih, tetapi menjadikan mereka mascot dalam persahabatan yang sejati. KARA, MIMI, IGO, dan AFIKA, itulah nama mereka. Mereka selalu kompak dan tampak ceria setiap hari. Jadi tidak heran jika mereka memiliki ribuan teman. Keempat sekawan tersebut berbincang-bincang sambil berjalan di koridor sekolah.
IGO: "Hey sob, sebentar lagi kita UAN nich, pastinya waktu untuk kumpul-kumpul kita akan tersita buat belajar. Gimana nich?"
MIMI: "Iya bener juga Zha, jadwal kita bakalan jungkir balik gara-gara persiapan UAN. Jadwal shopping, ke salon, creambath, manypadhy, dan pastinya jadwal kencan bareng bakalan ancur. Aduch, bisa-bisa rambut aku rontok nich."
KARA: "Gak segitunya kalik, tergantung kita juga. Jika kita rajin menabung ilmu, maka kita tidak akan sibuk belajar."
MIMI: "Ah kamu ini Cha, mentang-mentang anak pintar jadinya sok ceramah. Huh nyebelin."
IGO: "Sudah-sudah jangan berdebat, apa yang di omongin KARA itu ada benarnya juga. Coba dech kalian bayangin, jika kita rajin belajar kita tidak perlu sibuk-sibuk mikirin UAN, itung-itung siap senjata dulu sebelum perang. Enjoy aja lagi, bener gak?"
Jika melihat dan membaca contoh drama tersebut, maka akan terlihat jelas penggunaan bahasanya. Menggunakan bahasa lisan, bahasa sehari-hari. Di bagian awal sudah dijelaskan bahwa bahasa drama lebih dekat dengan bahasa sehari-hari.
Dari keempat contoh di atas, kiranya kita bisa menggambarkan perbedaan puisi dengan karya sastra yang lain. Selain keempat contoh yang saya paparkan di atas, masih banyak contoh-contoh lain yang perlu dielaborasi lagi.
DIKSI DALAM PUISI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbaru (2008: 328), diksi diartikan: pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).
Dalam proses penciptaan puisi, diksi adalah hal yang paling penting. Penyair atau pencipta puisi terkadang akan terus menyempurnakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam beberapa waktu lamanya. Seperti pada puisi Aku karya Chairil Anwar, di mana pada awalnya dia menggunakan diksi /dari kumpulan yang terbuang/ kemudian dirubah menjadi /dari kumpulannya terbuang/.
Dalam puisi Aku tersebut di atas terlihat bahwa gagasan yang ingin disampaikan oleh pencipta puisi lebih terlihat kuat. Diksi "yang" yang digantikan dengan diksi "nya" merupakan sebuah usaha pencipta puisi untuk membangkitkan imajinasi pembaca dengan lebih jelas. Si binatang jalang atau si aku lirik dalam puisi berjudul Aku tersebut bukan hanya dari sekumpulan orang terbuang, tetapi bahkan, dari kelompoknya sendiri ia sudah terbuang (Damayanti, 2013: 23).
Perhatikan dua contoh puisi Chairil Anwar di bawah ini yang sudah ada perubahan diksi. Yang satu, versi Kerikil Tajam. Yang kedua, versi Deru Campur Debu (Pradopo, 2012: 55).
SemangatPada dua judul puisi di atas, satu kata yang terdapat dalam judulnya berubah diksi. Pertama, versi Kerikil Tajam, Semangat. Kedua, versi Deru Campur Debu, Aku. Menurut Pradopo (2012: 55), kata semangat itu mengandung arti perasaan yang menyala-nyala, terasa ada sifat yang propagandis, dan berlebih-lebihan. Sedangkan dalam KBBI terbaru (2008: 1258), kata semangat diartikan sebagai roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk, baik hidup maupun mati (menurut kepercayaan orang dulu dapat memberi kekuatan). Dalam kata aku terkandung perasaan yang menunjukkan kepribadian penyair pada semangat individualistisnya.
Kalau sampai waktuku
'Ku tahu tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
….
(Kerikil Tajam, h. 15)
Aku
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
….
(Deru Campur Debu, h. 7)
Kata Ku tahu menunjukkan perasaan pesimistis. Jika kata ini dideklamasikan, nadanya melankolik. Sedangkan kata Ku mau menunjukkan perasaan optimistik, kemauan pribadi yang kuat. Bertolak belakang dengan kata Ku tahu.
KESIMPULAN
Karakteristik bahasa puisi bisa diketahui dengan membedakan antara karya puisi dengan karya sastra yang lain. Diksi adalah alat utama untuk membedakan karya sastra itu sendiri. Jika diksi dalam puisi tidak ada, dalam arti tidak selaras, maka yang terjadi adalah ketiadaan nilai estetik dalam puisi tersebut. Kenapa demikian? Karena untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas supaya selaras dengan sarana komunikasi yang lain, maka pencipta puisi atau penyair harus memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya.
Penyair atau pencipta puisi, sehari-harinya, harus terbiasa membuka kamus dan tahu makna apa yang terkandung dalam puisi yang akan ia ciptakan. Jika sudah mengetahui, maka penyair atau pencipta puisi tentu bisa membedakan mana karya puisi dan mana yang bukan, dan juga bisa membedakan mana bahasa sehari-hari dan mana bahasa khas puisi.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Bernard. Kumpulan Cerpen Milana: Perempuan yang Menunggu Senja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
"Contoh Drama Bahasa Indonesia." http://ilmu-bermanfaat23.blogspot.com/2013/04/contoh-drama-bahasa-indonesia.html (akses 3 Juni 2014).
Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia: Puisi, Sajak, Syair, Pantun dan Majas. Yogyakarta: Araska, 2013.
Pinurbo, Joko. Kumpulan Puisi Jokpin 2006-2013. Tangerang Selatan: Azmo Press, 2013.
Mansyur, M Aan. Tokoh-tokoh yang Melawan Kita Dalam Satu Cerita. Jakarta Selatan: Motion Publishing, 2012.
Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Oktav, Herry. “Unsur-unsur Makna yang Terdapat di Dalam Puisi.” Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.
Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.
Sugono, Dendy. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2003.
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
* Faliq Ayken, nama pena dari Moh. Faliqul Ishbah, alumnus Al-Inaaroh Buntet Pesantren Cirebon dan anggota istimewa FLAT, Foreign Languages Association, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar