Pohon Jambu Depan Kamar

>> 28/02/14

Faliq Ayken


Pohon jambu depan kamar kita begitu rimbun
Reranting pohonannya bercabang kuat, lebat
Saat pintu kita buka, angin masuk menyejukkan

Ketika kita lapar dan sungkan keluar kamar
Buah-buah pohon itu kita ambil dengan mata nanar
Buah-buah pohon itu kita makan bergantian

Buah jambu setiap hari jatuh depan pintu
Kita lupa mengambil dan memakannya
Saat itu kita sedang alpa bersyukur bahwa
pohon depan kamar adalah sahabat mengingat-Nya

Sekarang semua itu hanya kenangan yang tak mungkin kita temukan
Pohon yang sering kita sapa, kini ditebang orang iri melihat keintiman kita
Pohon jambu yang dulu rimbun, kini meranggas, kering daunannya
Kamar yang dulu sejuk kini gersang, panas tanpa angin menyejukkan

Lambat laun, akar-akar pohon itu masuk ke dalam tubuh kita
tanpa kata-kata


Pondok Petir,
Minggu, 23 Februari 2014

Read more...

Jendela Cinta

>> 27/02/14

Oky Primadeka


cinta itu seperti jendela
kalau kita lupa membukanya
takkan ada angin bertamu
membawa sebingkis sejuk
mengobati sepinya jiwa

cinta itu seperti jendela
kalau kita lupa menutupnya
maka angin masuk menusuk
pori-pori kulit kehidupan kita
tutuplah, agar gigil tak memanggil

cinta itu seperti jendela
pandai-pandai kita menutup-membukanya
           agar seimbang
                    agar seimbang


Ciputat,
Minggu, 9 Februari 2014

Read more...

Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Periode: Puisi Lama, Puisi Modern, dan Puisi Mutakhir

>> 20/02/14

Yuni Budiawati*


Seperti yang telah dibahas dalam makalah sebelumnya yaitu tentang pengertian, hakikat, dan perkembangan puisi di Indonesia. Dijelaskan bahwa puisi berasal dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat dan ‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun atau pembentuk. Sedangkan menurut Tjahyono, puisi dikatakan sebagai pembangun atau pembentuk karena memang pada dasarnya dengan menciptakan seuntai puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Primadeka, Makalah, 2014).

Pada makalah ini akan membahas tentang puisi sesuai dengan periodenya seperti puisi lama, modern, dan mutakhir. Namun karena ada beberapa sumber yang menjelaskan lebih lanjut tentang pembagian puisi menurut periodenya yaitu puisi baru pada pembagian puisi menurut periode, maka pemakalah pun menambah pembahasan tersebut. Adapun penjelasan lebih lanjut tentang pembagian tersebut akan dibahas pada materi makalah di bawah ini.

PUISI LAMA

Puisi lama bersifat statis dan sangat terlihat sekali menunjukkan penggambaran keadaan dan kebiasaan masyarakat itu sendiri, puisi tersebut dipengaruhi oleh karya sastra bangsa Arab, Persia, dan India. Ciri paling umum dari puisi lama adalah penyebarannya yang cepat melalui mulut ke mulut, karena memang mayoritas masyarakat pada zaman itu masih buta huruf. Maka, banyak yang tidak diketahui siapa pengarangnya.

Puisi lama masih terikat oleh aturan-aturan. Di mana aturan-aturan itu antara lain: jumlah kata dalam satu baris, jumlah baris dalam satu bait, rima, banyaknya suku kata dalam baris, dan irama.

Ciri-ciri puisi lama:
  • Merupakan puisi rakyat yang tidak dikenal siapa pengarangnya
  • Merupakan sastra lisan karena disampaikan dari mulut ke mulut
  • Terikat dengan aturan seperti jumlah bait, baris, suku kata, dan rima
Puisi lama terbagi menjadi beberapa jenis sesuai dengan periode: yaitu mantra, gurindam, syair, dan pantun.

1. Mantra

Mantra adalah salah satu jenis puisi lama. Mantra dianggap memiliki kekuatan gaib, biasanya digunakan oleh pawang atau dukun, untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.

Pengertian mantra menurut para ahli:
  • Mantra ditujukan kepada makhluk gaib, maka kalau dihadapkan pada manusia itu menjadi sesuatu yang tidak dipahami atau sesuatu yang misterius (Yunut, 1981: 213-216).
  • Mantra merupakan bentuk puisi lama yang mempunyai atau dianggap dapat mendatangkan kekuatan gaib yang biasanya diajarkan atau diucapkan oleh pawang untuk menandingi kekuatan yang lain (Suprapto, 1993: 48).
  • Mantra adalah perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib, susunan kata yang berunsur puisi (rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (Depdikbud, 1997: 558).
Mantra disebut sebagai puisi lama karena memiliki unsur seperti puisi (rima dan irama). Dalam masyarakat Melayu, mantra sangat terkenal sekali seperti halnya puisi dan syair, hanya penggunaannya yang ekslusif yaitu untuk orang-orang tertentu saja. Masyarakat Melayu memiliki nama sebutan untuk mantra seperti jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru, dan tangkal.

Mantra sebenarnya lebih merujuk kepada puisi bebas karena tidak terikat dengan baris, rima dan irama, meskipun unsur tersebut ada. Bahasa yang digunakan dalam mantra sangat sulit diterjemahkan, terkadang dukun dan pawang juga tidak mengerti maksud dari kalimat mantra tersebut, mereka hanya mengerti kapan harus membaca mantra tersebut.

Berdasarkan tujuan pelafalannya, mantra dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

a. Mantra Pelindung Diri: digunakan untuk penjaga diri, disebut juga sebagai penangkal, biasanya dibacakan pada benda tertentu, sehingga benda tersebut memiliki kekuatan gaib dan dapat melindungi si pemiliknya. Jenisnya ada beberapa macam seperti; penahan atau penguat, pelindung, penunduk, pemanis atau pengasih, dan pembenci.

Contoh mantra penunduk buaya:

Hai si jambu rakai
Sambutlah
pekiriman putri
Runduk di gunung
Ledang
Embacang masak sebiji bulat
Penyikat tujuh penyikat
Pengarang tujuh pengarang
Diorak dikembang jangan
Kalau kau sambut
Dua hari jalan ketiga
Ke darat kau dapat makan
Ke laut kau dapat aku
Aku tau asal kau jadi
Tanah liat asal kau jadi
Tulang buku tebu asal kau jadi
Darah kau gila, dada kau upih 

b. Mantra Pengobatan: mantra ini digunakan untuk mengobati penyakit, masyarakat Melayu percaya bahwa sebenarnya penyakit itu datangnya tidak hanya dari faktor alam saja, tetapi juga ada pengaruh gaib, sehingga dengan membacakan mantra maka akan dapat mempercepat sembuhnya penyakit.

c. Mantra Pekerjaan: mantra ini digunakan untuk mempermudah pekerjaan, biasanya diucapkan sebelum memulai pekerjaan. Pekerjaan yang biasanya dibacakan mantra adalah pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari seperti berternak, bercocok tanam, berburu, melaut, dan sebagainya.
Jenis-jenis mantra untuk pekerjaan adalah; mantra semangat padi, mantra untuk tanaman jagung, mantra menanam benih, mantra pengusir hama tikus, dan lain-lain.

d. Mantra Adat-istiadat: mantra ini biasanya digunakan saat ada upacara adat di suatu daerah, dan dibacakan oleh orang-orang tertentu seperti orang yang dihormati atau dipercaya oleh penduduk setempat, pawang atau dukun.


2. Gurindam

Adalah puisi yang berisikan nasehat, terdiri dari dua baris dalam setiap baitnya. Semuanya merupakan isi dan mengandung sebab akibat. Salah satu gurindam yang terkenal adalah yang ditulis oleh Raja Ali Haji yang berjudul “Gurindam dua belas”, di antaranya yaitu:
I
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang ma'rifat

Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari

Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terpedaya

Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudarat

II
Barang siapa mengenal yang tersebut,
tahulah ia makna takut

Barang siapa meninggalkan sembahyang,
seperti rumah tiada bertiang

Barang siapa meninggalkan puasa,
tidaklah mendapat dua temasya

Barang siapa meninggalkan zakat,
tiadalah hartanya beroleh berkat

Barang siapa meninggalkan haji,
tiadalah ia menyempurnakan janji

III
Apabila terpelihara mata,
sedikitlah cita-cita

Apabila terpelihara kuping,
khabar yang jahat tiadalah damping

Apabila terpelihara lidah,
nescaya dapat daripadanya faedah

Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan,
daripada segala berat dan ringan

Apabila perut terlalu penuh,
keluarlah fi'il yang tiada senonoh

Anggota tengah hendaklah ingat,
di situlah banyak orang yang hilang semangat

Hendaklah peliharakan kaki,
daripada berjalan yang membawa rugi
(Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Gurindam_Dua_Belas, akses 4 Februari 2014).

3. Syair

Berasal dari bahasa Arab yang berarti sajak (puisi), dengan ciri tiap bait ada empat baris bersajak a-a-a-a, berisi nasehat atau cerita (Waluyo, 2002: 49-50). Semua baris adalah isi dan biasanya tidak selesai dalam satu bait karena merupakan alur sebuah cerita.

Contoh:
Lalulah berjalan Ken Tambuhan
diiringkah penglipur dengan tadahan
lemah lembut berjalan perlahan-lahan
lakunya manis memberi kasihan
...
(Perintis sastra, 1951)


4. Pantun

Adalah puisi lama yang bercirikan rima a-b-a-b, tiap bait ada 4 baris, tiap baris ada 8-12 suku kata, dua baris awal sebagai sampiran dan dua baris di akhir sebagai isi.

Pantun juga memiliki jenis-jenis sendiri, yaitu:

a. Pantun Biasa

Contoh:
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukan ke dalam hati

b. Pantun Berkait (Seloka), pantun ini tidak hanya cukup dengan satu bait, karena berkaitan dengan bait selanjutnya.

Ciri-ciri puisi seloka :
  • Baris kedua dan keempat pada bait pertama dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait kedua
  • Baris kedua dan keempat pada bait kedua dipakai sebagai baris pertama dan ketiga bait ketiga
Contoh:

Warna merah menghias buku
Indah nian kian ku pandang
Anak kecil menangis sendu
Seharian ia tak makan

Indah nian kian ku pandang
Kalau boleh tentu ku mau
Seharian ia tak makan
Adakah besuk nasi dan lauk

Kalau boleh tentu ku mau
Namun sayang itu milikmu
Adakah besuk nasi dan lauk
Walau sekedar pengganjal perut

c. Talibun, adalah pantun yang jumlah barisnya harus lebih dari empat baris, tetapi harus genap bisa 6, 8, 10 baris atau lebih. Jika satu bait terdiri dari enam baris, maka tiga baris pertama sampiran dan tiga baris terakhir isi, begitu seterusnya. Jika ada enam baris dalam satu bait, maka rimanya a-b-c-a-b-c dan seterusnya.

Contoh :

Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli     (sampiran)
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari     (isi)
Induk semang cari dahulu

d. Karmina, disebut juga sebagai pantun kilat karena jumlahnya yang pendek.

Ciri-cirinya adalah:
  • Setiap bait terdiri dari 2 baris
  • Baris pertama merupakan sampiran
  • Baris kedua merupakan isi
  • Bersajak a – a
  • Setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata
Contoh :

Dahulu parang sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)

Sedangkan jika dilihat dari isinya, pantun terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

a. Pantun Anak-anak

Contoh :
Elok rupanya si kumbang jati
Dibawa itik pulang petang
Tidak terkata besar hati
Melihat ibu sudah datang

b. Pantun Orang Muda

Contoh :
Tanam melati di rama-rama
Ubur-ubur sampingan dua
Sehidup semati kita bersama
Satu kubur kelak berdua

c. Pantun Orang Tua

Contoh :
Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang

d. Pantun Jenaka

Contoh :
Elok rupanya pohon belimbing
Tumbuh dekat pohon mangga
Elok rupanya berbini sumbing
Biar marah tertawa juga


PUISI BARU

Puisi baru lahir pada angkatan pujangga baru. Di mana pada saat itu puisi mengalami perubahan pesat dan bertentangan dengan puisi lama. Karena gaya hidup dan corak masyarakat yang juga mengalami perubahan sehingga mempengaruhi gaya puisi pada masa itu.

Puisi pada angkatan pujangga baru ini dipengaruhi oleh soneta yang dibawa dari Belanda ke Indonesia oleh Muhammad Yamin dan Roestam Effendi. Soneta dalam bahasa Italia berasal dari kata ‘sonneto’perubahan dari kata ‘sono’ yang berarti suara. Soneta adalah puisi yang terdiri dari empat belas baris yang dibagi dua, dua bait pertama masing-masing empat baris dan dua bait terakhir masing-masing tiga baris.

Contoh Soneta karya Muhammad Yamin:
GEMBALA

Perasaan siapa ta ‘kan nyala (a)
Melihat anak berelagu dendang (b)
Seorang saja di tengah padang (b)
Tiada berbaju buka kepala (a)

Beginilah nasib anak gembala (a)
Berteduh di bawah kayu nan rindang (b)
Semenjak pagi meninggalkan kandang (b)
Pulang ke rumah di senja kala (a)

Jauh sedikit sesayup sampai (a)
Terdengar olehku bunyi serunai (a)
Melagukan alam nan molek permai (a)

Wahai gembala di segara hijau (c)
Mendengarkan puputmu menurutkan kerbau (c)
Maulah aku menurutkan dikau (c)

Adapun jenis puisi baru dilihat dari bentuknya, antara lain:

a. Distikon, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris (puisi dua seuntai).

Contoh:
Berkali kita gagal
Ulangi lagi dan cari akal

Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
(Or. Mandank)

b. Terzina, puisi yang tiap baitnya terdiri atas tiga baris (puisi tiga seuntai).

Contoh:
Dalam ribaan bahagia datang
Tersenyum bagai kencana
Mengharum bagai cendana

Dalam bah’gia cinta tiba melayang
Bersinar bagai matahari
Mewarna bagaikan sari
(Sanusi Pane)

c. Kuatrain, puisi yang tiap baitnya terdiri atas empat baris (puisi empat seuntai).

Contoh :
Mendatang-datang jua
Kenangan masa lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)

d. Kuint, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas lima baris (puisi lima seuntai).

Contoh:
Hanya Kepada Tuan
Satu-satu perasaan
Hanya dapat saya katakan
Kepada tuan
Yang pernah merasakan

Satu-satu kegelisahan
Yang saya serahkan
Hanya dapat saya kisahkan
Kepada tuan
Yang pernah diresah gelisahkan

Satu-satu kenyataan
Yang bisa dirasakan
Hanya dapat saya nyatakan
Kepada tuan
Yang enggan menerima kenyataan
(Or. Mandank)

e. Sektet, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas enam baris (puisi enam seuntai).

Contoh:
Merindu Bagia
Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernapas
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)

f. Septime, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris (tujuh seuntai).
Contoh:
INDONESIA TUMPAH DARAHKU

Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya
Ditimpah air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
                        (Mohammad Yamin)
g. Oktaf/Stanza, adalah puisi yang tiap baitnya terdiri atas delapan baris (double kutrain atau puisi delapan seuntai). Contoh:
AWAN

Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)
Ciri khas dari puisi baru adalah di mana dalam puisi tersebut nampak sifat egois dari si penyair yang ditunjukkan bagi pihak Belanda yang sedang menjajah. Seperti contoh puisi baru dari Sutan Takdir Alisjahbana:
Betapa Seni
Ah, dunia! dunia!
Saya pusing di atas kau
Adakah sudah suratan saya
Akan selalu menghimbau-himbau?
Ya Allah! Illahi!
Tuhanku... 
Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada beberapa tokoh puisi pada angkatan pujangga baru yang terkenal seperti Ali Hasjmy, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Y.E Tatengkeng, dan Rustam Effendi.


PUISI MODERN

Puisi modern hadir saat penjajah Jepang datang ke Indonesia yaitu pada periode angkatan 1945. Kedatangan Jepang memberikan angin baru bagi rakyat Indonesia, di mana mereka diperbolehkan memakai bahasa Indonesia, berbeda saat masa penjajahan Belanda yang melarang penggunaan bahasa Indonesia. Sehingga kesempatan tersebut dipergunakan oleh para penyair sebagai senjata dalam melawan penjajah Jepang. Isi dari puisi modern banyak mengangkat tentang pemberontakan yang lebih dalam jika dibandingkan dengan angkatan pujangga baru.

Disebut sebagai puisi modern karena puisi modern lebih menekankan pada isi puisi tersebut. Puisi modern lebih bebas dari pada puisi lama yang terikat dari jumlah suku kata, baris, maupun rima. Penyair puisi modern termasuk kategori dalam angkatan '45, salah satu tokohnya adalah Chairil Anwar yang dinobatkan oleh H.B. Jassin pelopor puisi modern. Dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku” dia sudah menggunakan bahasa Indonesia yang ekspresif, terbebas dari bahasa Melayu maupun Belanda, dan puisinya memiliki gaya khas yang hanya dimiliki oleh Chairil Anwar.

Ciri-ciri Puisi Modern:
  • Bentuknya rapi, simetris
  • Mempunyai persajakan akhir (yang teratur);
  • Banyak mempergunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain;
  • Sebagian besar puisi empat seuntai;
  • Tiap-tiap barisnya atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis)
  • Tiap gatranya terdiri atas dua kata (sebagian besar) : 4-5 suku kata.

Contoh puisi modern dari Chairil Anwar (Waluyo, 2002: 67).
DERAI-DERAI CEMARA

Cemara menderai sampai jauh,
Terasa hari akan jadi malam,
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpedam

aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
sebelum pada akhirnya kita menyerah
(kerikil tajam, 1946)

PUISI MUTAKHIR

Puisi Mutakhir bisa disebut dengan puisi kontemporer yang lahir pada tahun 1970-an sampai sekarang, disebut juga puisi kekinian.

Setiap langkah awal periode puisi selalu mendapat pertentangan dari penyair periode sebelumnya, begitu juga dengan munculnya puisi kontemporer ini. Para angkatan pujangga baru yang masih hidup di tahun 1966-1970-an pada awalnya tidak menerima keberadaan puisi kontemporer ini. Mereka berpendapat bahwa puisi itu bukan berasal dari penyair yang sesungguhnya, bahkan mereka menganggap puisi tersebut dibuat oleh orang-orang yang tidak pantas sebagai penyair.

Pada kenyataannya, puisi kontemporer ini merupakan hasil dari perkembangan puisi Indonesia. Tahapan dari karya puisi kontemporer tidah hanya mementingkan diri si penyair, tetapi tuntutan keharusan, kemestian dan kebenaran menjadi tahap yang utama dalam menciptakan sebuah puisi.

Tokoh-tokoh puisi kontemporer diantaranya adalah Sutardji Calzoum Bachri dan tokoh lainnya seperti Taufiq Ismail, Darmanto Jatman, dan Rendra.

Puisi mutakhir atau kontemporer ini bersifat puisi konkret dan ada puisi mantra mutakhir yang pertama kali diperkenalkan oleh Sutardji. Dalam Kredo puisi Sutardji (kritik sastra Sutardji dalam masalah penulisan) mengemukakan sikapnya dalam berpuisi, antara lain dia menyatakan:
‘kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Kalau diumpamakan dengan kursi, maka kata adalah kursi itu sendiri bukan alat untuk duduk. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika’ (Waluyo, 2002: 122).
Pengertian mutakhir tidak mungkin semata dibatasi oleh waktu khusus untuk sastra yang benar-benar hebat. Meskipun demukian sedikit banyak sastra mutakhir merupakan ancang-ancang bagi sastra masa depan (Budi Darma, 1990: 132).

Salah satu contoh puisi kontemporer:

SEPISAUPI
Sutardji Calzoum Bachri

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau sunyi

sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi

(O, Amuk, Kapak, 1981)


BATU
Sutardji Calzoum Bachri

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu janun
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji ?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
sedang lambai tak sampai. Kau tahu
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji?


AKU INGIN
Sapardi Djoko Damono

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Hujan Bulan Juni, 1994)


Penyusunan puisi kontemporer sebagai puisi inkonvensional ternyata juga perlu memperhatikan beberapa unsur sebagai berikut:
  • Unsur bunyi; meliputi penempatan persamaan bunyi (rima) pada tempat-tempat tertentu untuk menghidupkan kesan dipadu dengan repetisi atau pengulangan-pengulangannya.
  • Tipografi; meliputi penyusunan baris-baris puisi berisi kata atau suku kata yang disusun sesuai dengan gambar (pola) tertentu.
  • Enjambemen; meliputi pemenggalan atau perpindahan baris puisi untuk menuju baris berikutnya.
  • Kelakar (parodi); meliputi penambahan unsur hiburan ringan sebagai pelengkap penyajian puisi yang pekat dan penuh perenungan (kontemplatif).

DAFTAR PUSTAKA

Elviana. "Analisis Struktur Mantra Mesosambakai sebagai Puisi Lama di Desa Matabubu Jaya Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan." http://elvianapbsi.blogspot.com/2013/10/analisis-struktur-mantra-mesosambakai.html (akses 4 Februari 2014).

"Gurindam Dua Belas." http://id.wikipedia.org/wiki/Gurindam_Dua_Belas (akses 4 Februari 2014).

Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, tt.

"Mengenal Mantra sebagai Bentuk Puisi Lama." http://goesprih.blogspot.com/2009/03/mengenal-mantra-sebagai-bentuk-puisi.html (akses 24 Januari 2014)

"Puisi." http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi (akses 24 Januari 2014).

"Puisi Kontemporer." http://umanradieta.blogspot.com/2011/01/puisi-kontemporer.html (akses 24 Januari 2014).

"Puisi Lama, Baru, Modern, dan Kontemporer." http://sansolvix.wordpress.com/2011/12/11/puisi-lama-baru-modern-dan-kontemporer/ (akses 24 Januari 2014).

Rosidi, Ajip. Puisi Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Jaya, 2008.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.


* Yuni Budiawati, mahasiswi Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat FLAT, Foreign Languages Association.

Read more...

Melukis Jendela

>> 14/02/14

Mala Himatul Aulia


Tintaku hampir habis
Saat senja mengantarkan engkau ke dalam kanvas
Berselaras dalam sajak jingga dan nyanyian tentang nyiur
Baitnya menukarkan jejak peluh dalam kausnya
Menjadi lembayung bermata ibu

Engkau meluk,
Sebingkai daun yang kausebut cahaya
saat bersambut di timur, dan kaulepas kepergian bapak tua
Ah, merenta
Tiada sanak saudara kaupunya
Hanya gema berpacu beradu
Pada angin dan batuan yang kausebut cucu warisan nenek moyangmu

Pagi berganti siang
Tiada engkau berpindah
Hanya meluk
Melukis dan meraba pada dinding-dinding reyotmu

Sungguh, tak bernyali aku membuat gaduh
Hanya mengantarkan engkau pada lapar dan terik
Lalu pada baskara dan riuh bunyian ombak selamba engkau berceracau
Aku tak tahu, apakah engkau tahu sebentuk matahari dan pantai yang mengelilingimu?
atau hanya menebak warnanya dari cerita bapak tua?

Kemudian gerah berpencar dihempas angin saat purnama
Bapak tua menyambutmu, bukan engkau!
Ia tiba dengan sekeranjang kasih sayang
dan engkau meluk, menciumi bau yang kausebut keselamatan dan rindu

Oh, perempuan
Seharian ini aku tengah melukis penantianmu
Sayangnya engkau tak tahu warna
Saat matamu mulai kabur dimakan usia

Untuk Engkau; Nenenda dalam jendela dan jendelaku


Ciputat,
Ahad, 9 Februari 2014

Read more...

Tiga Jendela

>> 13/02/14

Faliq Ayken


Waktu sepi, pelan-pelan kubuka pintu kamar
Di dalam banyak suara-suara terdengar samar
Kubawa masuk tubuh dan rasa ingin tahuku
Pandanganku berhenti pada tiga jendela itu

Jendela pertama kubuka, masuk ke dalam
Ruangannya besar penuh tanda-tanda
Kamar ada: fisika metafisika

Jendela kedua kubuka pelan-pelan
Kulihat dengan tatap penuh pertanyaan
Ruangan ini begitu luas, banyak jebakan
Sebagai alat berpikir, kusiapkan akal agar tak banal
Kamar pengetahuan: empiris rasional

Jendela ketiga kubuka dengan nilai-nilai
Tempat belajar bagaimana bersikap
Tempat belajar bagaimana bermasyarakat
Ujung seluruh pengetahuan yang ada
Kamar nilai: etika estetika

Pintu kamar kututup dengan tenang
Kutetapkan menetap di dalamnya
Bersama tiga jendela


Ciputat,
Minggu, 9 Februari 2014

Read more...

Lewat Jendela

>> 12/02/14

Yuni Budiawati


Langit masih senja ketika kauketuk jendela kamarku
Kaubilang tak ada jawaban dari pintu
Kulihat sekotak kue lapis legit di tanganmu
"Sebagai ucapan selamat datang untuk tetangga baru,"
katamu dengan senyum tulus dan aku luluh

Mentari menyusup lembut dari sela-sela jendela
Tapi kapuk empuk masih menggoda
Lalu deru mesin motormu terdengar
Aku langsung beranjak membuka jendela
"Selamat pagi!" kataku berteriak, tak sadar belek di mata

Berkali-kali kulempar kerikil ke arah jendela kamarmu
Hanya untuk menanyakan PR atau iseng
Kaukesal dan memberiku nomor ponselmu
Bagus... itu akan menambah rasa isengku, hahaha...
Tapi tetap menatap dirimu lewat jendela, masih jadi rutinitas

Langit senja, sama seperti saat pertama kali kita bertemu
Aku menatap dirimu dalam bingkai jendela kamarku
Di sana kautulis sesuatu, berkali-kali kauganti kertas, tampak frustasi
Aku sudah siapkan kerikil dari halaman untuk kulemparkan
Tapi hari ini, aku hanya ingin menatapmu saja

Kau adalah seni, seakan aku melihat lukisan hidup dalam bingkai
Hari ini pun aku hanya ingin menatapmu saja
Atau hanya ucapan 'selamat sore' lewat pesan singkat
Kauterlihat gusar menunggu seseorang, di tanganmu ada amplop kecil
Tiba-tiba kaumelongok keluar jendela dan melambaikan tangan

Lambaian itu bukan pada sudut 180 derajat tapi 135 derajat, bukan aku
Kaulari ke luar menuju arah rumah sebelahku
Penasaran, aku mengintip dari jendela kamar
Kauberdiri di sana dan seorang gadis melongok dari jendela kamarnya
Kauberikan amplop itu lalu kalian tersenyum

Kaukembali sambil bersiul-siul sepanjang jalan
Aku masih memperhatikanmu dari jendela
Kauberhenti di depan jendela kamarku kaumelambai sambil tersenyum
Aku tak menyambut, dan kauterlihat aneh lalu masuk ke rumah
"Besok kita makan ya, aku traktir," katamu lewat pesan singkat

Sepertinya, besok pun aku hanya bisa menatapmu lewat jendela saja


Ciputat,
Minggu, 9 Februari 2014

Read more...

Katanya, Jendela

>> 11/02/14

Herry Oktav


Matanya tak bisa disembunyikan
Terus tatap, lirik tetap
Meneropong rupa ragamu
lewat jendela yang katanya bisa menelanjangimu

Tiupanku ingin merayunya
Debu coba merasukinya
Ia bagai beringin yang katanya kuat diterpa angin
Kokoh dan yakin

Katanya, ia selalu memujimu
Katanya, kau kebanggaannya
Katanya, kau itu bla bla bla bla
Kau itu..., katanya

Kaupunya pintu yang katanya bisa terawang jagat raya
Kunci ada padamu yang katanya bisa buka tabir misteri

Katanya, kaca bagianmu, pandangannya tembusi cakrawala
Katanya, alfabet menyusunmu
Katanya, rumus-rumus membentukmu
Katanya, dunia pun isimu
Kaupunya segala, sampai katanya, kaudisebut jendela


Wisma Biru,
Sabtu, 8 Februari 2014

Read more...

Terang Benderang

>> 09/02/14

Faliq Ayken


Yang paling kuingat dari matahari
adalah sinarnya sadarkanku dari mimpi
Setiap pagi, ia menyapaku dengan kata-kata
"Dirikanlah salat selagi kaumasih ada."

Kubergegas berdiri menghadap-Nya
Kududukkan gagasan-gagasan untuk ditata
Pada kata yang gelap semakin melindap
Pada kata yang terang semakin benderang

Kuberjalan ikuti jalan ke tujuan
Berjualan kata-kata: merapal mantra yang sudah dipesan
Setelah sampai, kurapalkan mantra-mantra itu dengan lantang
"Besok pagi, kaurapal mantra lanjutan ini dengan tenang.
Pelan-pelan."

Kubergegas pulang, merapal kembali mantra lanjutan
Matahari menungguku di rumah keabadiannya
Kata-kata gelap, tak melindap
Ia terang, penuh cahaya, semakin benderang
Mantra-mantra yang kurapal pelan-pelan
sampai ke tujuan: surga Ibu


Ciputat,
Minggu, 2 Februari 2014 

Read more...

Pengertian, Hakikat, dan Perkembangan Puisi di Indonesia

>> 07/02/14

Oky Primadeka*


PENGERTIAN PUISI

Siapa yang tidak mengenal puisi, kehadirannya dalam kehidupan memberi warna tersendiri dalam dunia sastra. Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra. Dalam kehidupan, puisi hadir sebagai suatu hal yang mengajarkan kita untuk peka merasa. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, puisi selalu populer dengan bentuk visualisasinya yang khas pada setiap periode perkembangannya. Sebagai contoh seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, seorang penyair yang tergolong dalam periode 1960-1980 di bawah ini bisa saja membingungkan bagi seorang awam untuk menentukan apakah karyanya itu puisi atau bukan.
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali;  dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai warna di kepala. Sejak itu pun kau menunggu kalau-kalau ada kabar dari yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,”Telah kupergunakan perahu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.
(Perahu Kertas, 1983: 46)
Pada puisi di atas, Sapardi memaksudkan karyanya sebagai puisi namun visualisasinya berbentuk prosa. Bagi orang awam tentu jika melihat puisi di atas akan mengira bahwa itu adalah prosa bukan puisi. Namun, penulisnya sendiri memaksudkan karyanya sebagai puisi. Entah pemahaman kita yang kurang tentang puisi sehingga mengatakan bentuk puisi di atas sebagai prosa atau justru sebaliknya, Sapardi mencoba bereksperimen dengan menulis puisi bergaya baru. Inilah realitas yang ada. Puisi kini hadir dalam berbagai versinya. Untuk itu, perlu kiranya kita mengetahui pengertian puisi itu sendiri. Hal pertama yang saya ingin klarifikasi kepada pembaca adalah bahwa pandangan atau pengertian tentang puisi itu sangat beragam. Begitu banyak pandangan dalam menafsirkan arti apa itu puisi. Tapi marilah kita tilik satu dua pengertian dari beberapa ahli mengenai puisi. Secara etimologi kata puisi berasal  dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat, ‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris, puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make  atau  to create, sehingga pernah lama sekali, di Inggris, puisi disebut maker. Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena memang pada dasarnya dengan mencipta seuntai puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Tjahyono, 1988: 50).

Kemudian apabila kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia maka didapat pengertian puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan lirik dan bait (Depdikbud, 1988: 706). Selain itu, menurut Herman J. Waluyo, puisi adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seorang penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan batin. Pada puisi dibentuklah metafora, pemilihan diksi yang serasi, kemudin rima yang seirama, dan beberapa aspek lainnya yang mencirikan puisi. Pengertian ini diperkuat oleh Hasanuddin W.S. yang memberikan pengertian senada. Dalam bukunya, “Membaca dan Menilai Sajak”, ia menuliskan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan (Hasanuddin, 2012: 4). Maksudnya mungkin perasaan yang direkakan. Gagasan (notion) abstrak yang hadir di benak seorang penyair kemudian dikonkretkan menjadi sebuah puisi melalui media teks yang bahasanya dipadatkan. Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah sebuah karya sastra yang tercipta dari pikiran atau perasaan seseorang yang kemudian dikonkretkan kedalam bentuk teks dengan bahasa yang telah dipadatkan.


HAKIKAT PUISI

Jika di atas kita telah membicarakan tentang pengertian puisi,  maka sekarang kita akan membicarakan tentang hakikat puisi. Dalam KBBI digital Vol 1.2, kata “Hakikat” bermakna intisari atau dasar dan kenyataan yang sebenarnya (kesungguhan). Dalam konteks pembahasan puisi, tentu makna pertama (intisari atau dasar) yang sesuai untuk kita sandingkan dengan kata puisi. Sekarang pertanyaannya adalah apakah hakikat puisi itu?  William Wordsworth, Penyair Romantik Inggris, menghayati puisi sebagai suatu luapan spontan dari perasaan-perasaan yang kuat-a spontaneous overflow of powerful feelings. Maksudnya, puisi hadir dalam diri seseorang sebagai akibat adanya suatu perasaan kuat spontan tertentu sebagai hasil dari merasakan peristiwa tertentu sehingga secara spontan ide/gagasan (notion) muncul yang kemudian divisualisasikan ke dalam bentuk teks dengan bahasa yang dipadatkan. Lalu apakah intisari atau dasar yang membentuk puisi itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jawaban atas pertanyaan sebelumnya yaitu apa itu hakikat puisi? Hakikat puisi adalah curahan hati seorang penyair. Atau bisa juga disebut isi puisi itu sendiri. Hakikat puisi adalah apa-apa saja yang seorang penyair letakkan dalam satu keutuhan sebuah puisi. Hakikat sebuah puisi terdiri dari empat hal di antaranya: tema, rasa, nada, dan amanat. Tema adalah gagasan atau ide utama seorang penyair yang ingin disampaikan dalam puisinya. Rasa adalah suasana yang dibawakan penyair dalam puisinya yang dapat dirasakan oleh pembaca. Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Dan amanat atau pesan adalah kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca tuntas sebuah puisi. Berdasarkan keempat hal pembangun hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat puisi adalah unsur-unsur inti yang bersifat batiniah pada puisi itu sendiri. Satu kesatuan keempat hal itulah yang disebut hakikat puisi.


PERKEMBANGAN PUISI DI INDONESIA

Dalam buku berjudul Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa ada tujuh periode perpuisian di Indonesia. Di antaranya: Puisi Lama, Puisi Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan 45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi Periode 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahya.

Puisi Lama (Angkatan Balai Pustaka)

Ketika membicarakan tentang Puisi Lama-Angkatan 20-an-Balai Pustaka, maka menurut Sawardi (1999: 25) nama Balai Pustaka merujuk pada dua pengertian yaitu nama sebuah penerbit dan nama suatu angkatan sastra Indonesia. Nama Balai Pustaka pada awalnya adalah Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang merujuk pada nama penerbit yang didirikan pada masa kolonial Pemerintahan Belanda pada 1908 dengan tujuan untuk menyediakan bacaan bagi penduduk pribumi yang tamat bersekolah dengan sistem pendidikan barat. Kemudian nama Balai Pustaka dapat pula merujuk pada nama angkatan sastra Indonesia, karena pada masa itu kebanyakan buku-buku sastra diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sehingga angkatan pada masa itu disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka. Tokoh-tokoh utama angkatan ini adalah Muhammad Yamin (1903-1962), Rustam Effendi (1903-1979), dan Sanoesi Pane (1905-1968).

Ciri-ciri puisi angkatan ini, di antaranya:
  1. Puisi masih mengadopsi bentuk mantra, syair, dan pantun
  2. Puisi masih terikat
  3. Puisi tidak memiliki sampiran
Sebagai suatu bahan telaahan, di bawah ini puisi karya Sanoesi Pane dengan judul "Sajak" mengandung ciri yang telah saya sebutkan di atas:
Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya.

Tanya pertama keluar di hati,
Setelah sajak di baca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa pujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyunduyun
Dari dalam, bukan nan dicari.

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani.
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali penggunaannya, menggunakan corak yang sama seperti pantun, memiliki sajak a-b-a-b. Sanoesi Pane selaku penyairnya menggunakan sajak k-a-k-a.


Puisi Angkatan Pujangga Baru (1930-1942)

Angkatan ini biasa disebut juga Angkatan 30-an atau Angkatan 33. Beberapa penyair angkatan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1986) dengan karyanya Kumpulan Puisi Tebaran Mega; Amir Hamzah (1911-1946) dengan karyanya Kumpulan Puisi Nyanyian Sunyi dan Buah Rindu; dan Armijn Pane  (1908-1970) dengan karyanya Kumpulan Puisi Jiwa Berjiwa. Angkatan ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah ini kemudian menjadi penyambung lidah para penyair pada masa itu.  Hal yang perlu diingat adalah kehadiran Angkatan Pujangga Baru ini tidak lepas dari pengaruh para pujangga Belanda Angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini bisa kita ketahui karena memang pada masa angkatan ini banyak pemuda yang berpendidikan barat. Mereka tidak hanya mengenal, mempelajari, namun bahkan mendalami ilmu kesusastraan Belanda.

Ciri-ciri puisi Angkatan Pujangga Baru, di antaranya:
  1. Pola menyimpang dari bentuk puisi lama
  2. Adanya pemakaian sanjak tak sempurna (oleh Sanoesi Pane)
  3. Pemakaian aliterasi (oleh Rustam Effendi)
  4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia modern
  5. Tema yang disuguhkan bersifat kompleks
  6. Aliran yang dianut adalah romantik idealisme
  7. Menggunakan jenis puisi bebas yang mementingkan keindahanan bahasa
Sebagai contoh, mari kita tilik puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana di bawah ini:
AKU DAN TUHANKU

Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta
Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau ciptakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya
Pada puisi di atas, dapat kita lihat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana sudah tidak menggunakan pola pantun atau syair. Ia menyuguhkan tema yang cukup kompleks tentang ke-Tuhan-an.


Angkatan 45 (1942-1953)

Singkatnya, Angkatan 45 ini muncul sebagai akibat perubahan politik yang mendadak yaitu dari pendudukan Belanda berpindah ke pendudukan Jepang. Pada saat itu, para sastrawan tidak sekadar berjuang secara fisik untuk menuntut revolusi kemerdekaan, namun juga berpikir untuk menentukan orientasi bangunan budaya bangsa ke depannya. Hal lain yang turut mendorong lahirnya angkatan ini adalah adanya perasaan tidak suka pada Angkatan Pujangga Baru yang karya-karya sastranya sangat condong ke Barat. Mereka dianggap telah mengkhianati identitas bangsa sendiri. Nama Angkatan 45 untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Rosihan Anwar pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Mungkin karena Chairil dan teman-temannya menandatangani surat Kepercayaan Gelanggang. Nama ini pun disepakati kalangan sastrawan sebagai nama angkatan pada masa itu.  Beberapa pujangga Angkatan 45 adalah Chairil Anwar (1922-1949) dengan karya fenomenalnya “Aku”. Menurut Prof. Sapardi Djoko Damono, Chairil dianggap menjadi pelopor masa Angkatan 45, oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal oleh siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah (Chairil Anwar, 2003: 99). Kemudian tokoh-tokoh lainnya: Asrul Sani dengan karya puisinya yang terkenal, “Surat dari Ibu”, Sitor Situmorang dengan salah satu karya puisinya, “Surat Kertas Hijau”, dan Waluyati dengan salah satu karya puisinya, “Berpisah”.

Ciri-ciri puisi Angkatan 45 adalah:
  1. Menggunakan bahasa Indonesia baru, bahasa Indonesia yang tidak terpengaruh bahasa Belanda maupun Melayu
  2. Mementingkan isi daripada bentuk
  3. Lebih bebas dari permainan rima atau pun bunyi yang melekat pada puisi angkatan sebelumnya
  4. Menggunakan bahasa yang ekspresif, meledak-ledak, dan penuh vitalitas
  5. Menggunakan ungkapan-ungkapan yang pendek
Sebagai contoh, dapat kita baca puisi Chairil Anwar, tokoh sentral Angkatan 45, di bawah ini:
AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri   
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pada puisi di atas, dapat kita ketahui pada larik 7 dan 8 bait pertama bahwa Chairil menunjukkan semangat revolusi kemerdekaan. Pun juga, Chairil menonjolkan sisi individualismenya dengan penggunaan kata aku yang menjadi identitas sudut pandang orang pertama.


Puisi-puisi Periode 1950-an

Periode ini disebut sebagai periode romantik atau kembali ke alam. Adalah W.S. Rendra dan Ramadhan K.H. tokoh utama periode angkatan ini. Mereka banyak menciptakan puisi-puisi yang bersifat romantik. Oleh sebab itu, Prof. Dr. A. Teeuw (1978) menyebut periode ini kembali kepada sifat romantik dan alam. Puisi-puisi romantik telah ditulis pada Periode Angkatan Pujangga Baru (Waluyo, 2002: 79-80). Periode ini sangat dipengaruhi oleh penyair Spanyol Frederico Garcia Lorca yang dibawa oleh Ramadhan K.H. Bahkan sangat terlihat sekali pengaruhnya pada kumpulan puisi Ramadhan K.H. yang berjudul Priangan Si Jelita, sebuah puisi yang mendendangkan alam Priangan. Rendra sangat mengagumi Lorca. Bahkan ia mengidentikan penulisan namanya dengan sama seperti F.G. Lorca. Rendra yang berenama asli Willibrordus Surendra menyingkat namanya menjadi W.S. Rendra. Dalam kepenyairannya, Rendra menorehkan penanya untuk salah satu kumpulan puisinya berjudul Blues Untuk Bonnie (1971). Selain Ramadhan K.H. dan W.S. Rendra, penyair-penyair lainnya yang turut mewarnai puisi Periode Angkatan 1950-an ini antara lain: Ajip Rosidi dengan kumpulan puisinya, Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Subagyo Sastrowardoyo dengan salah satu karya kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan (1970), Toeti Heraty Noerhadi dengan salah satu kumpulan puisinya, Sajak-Sajak 33 (1973), Wing Karjo dengan kumpulan puisinya, Selembar Daun (1974), Toto Soedarto Bachtiar dengan kumpulan puisinya, Suara (1956), Racmat Djoko Pradopo dengan kumpulan puisinya, Matahari Pagi Tanah Air (1965), dan Soeparwoto Wiraatmadja dengan kumpulan puisinya, Kidung Keramahan (1963).

Ciri-ciri karya puisi Periode Angkatan 1950-an adalah:
  1. Bersifat romantik
  2. Banyak yang bergaya naratif (yang terkenal adalah balada)
  3. Mengambil tema kemiskinan dan protes sosial
  4. Menampaknya corak kedaerahan
Untuk dapat melihat lebih jelas ciri-ciri puisi Periode Angkatan 1950-an, mari kita perhatikan puisi karya W.S. Rendra di bawah ini:
SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API


Bagaimana mungkin kita bernegara
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba
Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
Mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
Manusia mana
Akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua
Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku?
Ataukah ini bau limbah pencemaran?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini?
Apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan?
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan oleh mimpi?
Apakah aku tersentak
Oleh satu isyarat kehidupan?
Di dalam kesunyian malam
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku!
Apakah yang terjadi?
Darah teman-temanku
Telah tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh Kolot
Di Kiara Condong
Di setiap jejak medan laga. Kini
Kami tersentak,
Terbangun bersama.
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita masih sama-sama setia
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang terjadi?
Apakah yang telah kamu lakukan?
Apakah yang sedang kamu lakukan?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari jawaban yang kita berikan.
Pada puisi di atas, salah satu ciri yang paling menonjol adalah banyaknya repetisi kata seperti bagaimana, kami, di-, hidup, dan lain-lain. Tema puisi yang dibawakannya adalah tema sosial.


Puisi Periode 1960-1980

Tahun 1960-an adalah masa yang sangat produktif bagi perpuisian Indonesia. Bahkan pernah berjaya pada tahun 1963-1965 penyair-penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga yang didirikan Partai Komunis Indonesia/PKI. Puisi periode angkatan ini lazim disebut sebagai puisi Angkatan 66 (Waluyo, 2002: 107). Menurut H.B. Jassin, para pelopor angkatan ini adalah para penyair demonstran seperti Taufiq Ismail dengan salah satu kumpulan puisinya Tirani (19166), Goenawan Mohamad dengan salah satu kumpulan puisinya Parikesit (1972). Selain itu, penyair lain yang tergolong angkatan ini adalah Sapardi Djoko Damono dengan salah satu kumpulan puisinya Ayat-ayat Api (2000), Hartoyo Andangjaya dengan salah satu kumpulan puisinya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Sutardji Calzoum Bachri dengan salah satu kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (1981), Abdul Hadi W.M. dengan salah satu kumpulan puisinya Riwayat (1967), Yudistira Adinugraha Massardi dengan salah satu kumpulan puisinya Omong Kosong (1978), Apip Mustopa dengan salah satu kumpulan puisinya dimuat di antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru (1977), Piek Ardiyanto Supriyadi dengan salah satu kumpulan puisinya Biarkan Angin Itu (1996), Linus Suryadi Ag dengan salah satu kumpulan puisinya Langit Kelabu (1976), dan D. Zawawi Imron dengan salah satu kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata (1990).

Ciri-ciri puisi Angkatan 66 adalah:
  1. Puisi-puisi bersifat filosofis
  2. Adanya rintisan baru pada puisi, yaitu puisi mantra dan konkret yang dipopulerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri
  3. Bersifat naturalis, realis, dan eksistensialis.
Sebagai cerminan karakteristik puisi Periode Angkatan 66, mari kita baca puisi Benteng karya Taufiq Ismail di bawah ini:
BENTENG

Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

1966
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali bagaimana Taufiq Ismail mendeskripsikan realitas yang ia rasakan pada saat ia membuat puisinya.


Puisi Periode 1980-2000

Pada periode ini, penyair besar seperti Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Linus Suryadi Ag masih produktif mencipta puisi. Namun, bukan lagi mereka yang kita akan bicarakan di sini. Adalah para penyair yang muncul dan mulai produktif sejak tahun 1980-an yang akan kita bicarakan di sini. Pada periode ini, para penyairnya tidak ada yang menjadi besar. Kebanyakan dari mereka mengiblatkan gaya puisi mereka pada penyair-penyair besar angkatan sebelumnya (Waluyo, 2002: 140). Beberapa penyair pada angkatan ini diantaranya Hamid Jabbar dengan salah satu kumpulan puisinya Dua Warna (bersama Upita Agustine, 1975), Emha Ainun Nadjib dengan salah satu kumpulan puisinya 99 Untuk Tuhanku (1983), Agnes Sri Hartini Arswendo dengan salah satu karya puisinya Sajak di Sembarang Kampung, F. Rahardi dengan salah satu kumpulan puisinya Soempah WTS (1983), Rita Oetoro dengan salah satu kumpulan puisinya Dari Sebuah Album (1986), Dorothea Rosa Herliany dengan salah satu kumpulan puisinya Nyanyian Gaduh (1987), Eka Budianata dengan salah satu kumpulan puisinya Ada (1976), Acep Zamzam Noor dengan salah satu kumpulan puisinya Tamparlah Mukaku (1982), dan K.H. A. Mustofa Bisri dengan salah satu kumpulan puisinya Pahlawan dan Tikus (1995).

Ciri-ciri puisi Periode 1980-2000 adalah:
  1. Puisinya banyak ditulis dengan gaya mantra dan konkret
  2. Mengungkapkan kritik sosial dengan keras
  3. Tema keagamaan mulai dimasukkan pada periode ini
  4. Bermunculan eksperimen-eksperimen baru seperti yang dilakukan Dorothe dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tajam dan cerdas. Sementara itu, Rita Oetoro membawa puisi lembut dengan gaya konvensional.
Agar lebih mengenal karakteristik puisi Periode 1980-2000, mari kita perhatikan puisi karya K.H. A. Mustofa Bisri di bawah ini:
NEGERIKU

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya di dunia

dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku

mana ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku memliki buruh mancanegara
brankas-brankas bank ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
dan handai taulannya
terkaya di dunia

mana ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiunan setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi

tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi

(Pahlawan dan Tikus, 1995)
Jika kita cermati, jelas sekali terlihat kritik sosial yang K.H. A. Mustofa Bisri bawakan pada puisi di atas. Sebuah kritik ironisme antara pahlawan dan koruptor.


Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya

Adalah Korrie Layun Rampan melalui bukunya mengumumkan adanya Angkatan 2000. Di dalam bukunya ia membahas para pengarang prosa, penyair, dan beberapa kritikus dan penelaah sastra yang relatif masih muda. Diantaranya adalah Afrizal Malna dengan salah satu kumpulan puisinya Abad yang Berlari (1984), Sitok Srengenge dengan salah satu kumpulan puisinya Nonsens, Joko Pinurbo dengan salah satu kumpulan puisinya Sembilu (1991), Omi Intan Naomi dengan salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin (1987), dan Wiji Thukul dengan salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin Jadi Peluru (2000). Menurut penulis makalah sendiri, agak sulit untuk menentukan siapa yang menjadi tokoh sentral puisi periode ini tidak hanya satu dua penyair yang menjadi sangat populer seperti Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.

Ciri-ciri puisi Periode 2000 dan Sesudahnya adalah:
  1. Menggunakan bahasa sehari-hari
  2. Wajah puisi bebas aturan
  3. Penggunaan antropomorfisme
  4. Menampilkan puisi-puisi profetik (puisi-puisi keagamaan atau religius)
  5. Penggunaan citra alam, benda, dan lain-lain.
Mari kita perhatikan puisi karya Afrizal Malna di bawah ini guna melihat karakteristik puisi Periode 2000 dan Sesudahnya.
ABAD YANG BERLARI

palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau
berhenti. seribu jam
menunjuk waktu yang bedaberbeda, semua berjalan
sendiri-sendiri. palu.
tak satu yang mau berhenti. semua berjalan sendiri-sendiri.
orang-orang nonton televisi, palu. nonton kematian
yang dibuka di jalan-
jalan, telah bernyanyi di bangku-bangku sekolah,
telah bernyanyi di pasar-
pasar, o anak kematian yang mau mengubah sorga,
manusia sunyi
yang disimpan waktu.
palu. peta lariberlarian dari kota datang dari
kota pergi, mengejar waktu.
palu. dari tanah kerja dari laut kerja dari
mesin kerja. kematian yang bekerja
di jalan-jalan, palu. kematian yang bekerja di
jalan-jalan.
o, dada yang bekerja di dalam waktu.
dunia berlari, dunia berlari
seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

(Abad yang Berlari, 1984)
Pada puisi di atas, jelas sekali terlihat bagaimana Afrizal Malna menyampaikan pesannya lewat citraan palu. Dapat kita lihat juga bahwa wajah puisinya tidak terikat aturan.

Demikian sedikit catatan tentang sejarah perkembangan puisi Indonesia menurut periodesisasinya yang terdiri dari Puisi Lama, Puisi Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan ’45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi Periode Tahun 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, dan terakhir adalah Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa penamaan angkatan pujangga didominasi oleh peran waktu yang menunjukan kapan pujangga seperti yang telah disebutkan di atas mencipta puisi-puisinya.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera, 2006.

Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, tt.

Jassin, H.B. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas, 2011.
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.


* Oky Primadeka, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat FLAT, Foreign Languages Association.

Read more...

Kita Sang Pecinta

>> 06/02/14

Yuni Budiawati


Kita di atas bumi yang sama
Hanya jiwa menolak hidup
Kita di bawah langit yang sama
Hanya tangan tak jua gapai

Aku menari ikuti angan
Susuri sungai bawa jernih kehidupan
Lalu berdiri di perbatasan
Menghadang, menantang, melawan

Kaumelompat ikuti awan
Dendangkan nyanyian alam
Lalu sebrangi alur yang kausebut jalan
Berlari melawan angin meski tetap bertahan

Kita duduk tertunduk, hampa terhempas, bisu
Terlanjur hanyut, menapak jejak
Aku butuh rahmat-Nya
Kaurindu berkat-Nya
Kita sama, kita sang pecinta

Tenang...
Aliran hangat sang cahaya tetap menyertai kau dan aku
Menuntun kita, ikuti angin kitari alam
Menemani hingga kelam
Kita masih di bumi dan langit yang sama
Meski jalan berbeda, tak bersama


Ciputat,
Jumat, 31 Januari 2014

Read more...

Menjemput Sinar-Nya

>> 05/02/14

Herry Oktav


Terlalu lama kaubercumbu dengan gelap
Ditemani mimpi-mimpi temaram
Larut, hingga terlelap

Gelap hanya bisa berprasangka
Apa aku putih, atau hitam?
Apa kaubenar, atau salah?
Apakah nyata, ataukah ilusi?
Tak usah kaudikte
Kaucuma berasumsi

Masih ada cahaya-Nya yang menjelma mentari
Sinari tiap pagi
Jadi lentera hidup 'tuk kaupijak
Agar tak tersesat

Sambutlah terangnya!
Resapi hangatnya

Tak perlu takut kehilangan gelap
Takutlah pada satu
Kau tak bisa menjemput sinar-Nya


UIN Jakarta,
Selasa, 28 Januari 2014

Read more...

Sekeranjang Rindu dan Sebotol Madu

>> 04/02/14

Oky Primadeka


Hampir tak lagi aku dapati
embun pagi yang s'lalu diposkan malam
lewat Pak Bayu yang hobinya berjalan pelan-pelan

Aku keras bertahan
Aku takkan goyah
meski angin terlalu menerjang
Lihat, ulat pun masih sudi menyapaku
maka berarti aku harus hidup

Setiap tanggalnya satu daun
aku semakin yakin bahwa
satu langkah menuju rindu yang padat
telah kulalui dan menjadi dekat

Tinggal aku menunggu isyarat
dari angin timur yang sudah aku kompromi
memberi kabar kapan datangnya musim semi
bersama matahari yang mengusap-usap matanya
terbangun dari nyenyaknya di musim gugur

Saat itulah,
aku 'kan datang kepadamu
membawa sekeranjang rindu dan sebotol madu
untuk mengobati haus yang selama ini kita keluhkan, sayang...


Ciputat,
Sabtu, 1 Februari 2014

Read more...

Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

>> 02/02/14

PERNYATAAN SIKAP
Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét) Ciputat
Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Buku setebal 734 halaman plus xxxiv, dicetak oleh PT Gramedia Jakarta, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta (2014), dan diterbitkan untuk Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Buku ini ditulis oleh Jamal D. Rahman dkk. Mereka menyebutnya Tim 8, antara lain: Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Penyelia aksara, A. Zakky Zulhazmi. Lukisan sampul, Karya Hanafi. Perancang sampul dan isi, Asia Salsabillla.

Ada beberapa alasan mengapa kami, Komunitas Literasi Alfabét Ciputat, menolak keras atas terbitnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”, yang jelas-jelas akan membodohi pembaca biografi sastra(wan) Indonesia.
  1. Kata sambutan yang ditulis oleh Kepala Pelaksana PDS H.B. Jassin, Dra. Ariany Isnamurti, dengan judul: Diorama Sejarah Kesusastraan Indonesia, yang menggelitik adalah: “Buku ini merupakan salah satu diorama dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Tim 8, yang terdiri dari para pakar sastra Indonesia.” Pertanyaannya, apakah benar orang-orang yang ada di Tim 8 adalah para pakar sastra? Ahmad Gaus pakar sastra? Kami pikir, tidak. Dalam literatur sastra mana pun, kami belum menemukan ada nama Ahmad Gaus tertulis sebagai pakar sastra atau para pegiat sastra mengakuinya sebagai pakar sastra.
  2. Di bagian akhir kata pengantar Tim 8, terdapat pernyataan yang kami pikir buku ini adalah buku yang dipaksakan terbit: “Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami atas 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini. Kegiatan sejenis ini memang cenderung polemis dan memancing kontroversi. Apalagi bila pandangan seseorang atau sekelompok orang didasarkan atas sudut pandang, perspektif, pertimbangan, dan kriteria yang berbeda. Suara apa pun sebagai tanggapan terhadap pendapat Tim 8 ini kiranya akan menyuburkan diskusi dan polemik yang akan menyehatkan tradisi intelektual kita.” Sampai sekarang, sejak buku ini diterbitkan pada awal tahun ini, mereka menghindar jika ada tawaran untuk mengadakan diskusi publik. Ini jelas sebuah sikap inkonsisten, apakah mereka ingin “Menjilat ludah sendiri?” Apakah ini yang disebut menyuburkan diskusi dan menyehatkan tradisi intelektual kita?
  3. Dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh yang dipilih Tim 8, antara lain: 1. Kwee Tek Hoay (1886-1952); 2. Marah Rusli (1889-1968); 3. Muhammad Yamin (1903-1962); 4. HAMKA (1908-1981); 5. Armijn Pane (1908-1970); 6. Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994); 7. Achdiat Karta Mihardja (1911-2010); 8. Amir Hamzah (1911-1946); 9. Trisno Sumardjo (1916-1969); 10. H.B. Jassin (1917-2000); 11. Idrus (1921-1979); 12. Mochtar Lubis (1922-2004); 13. Chairil Anwar (1922-1949); 14. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006); 15. Iwan Simatupang (1928-1970); 16. Ajip Rosidi (1935); 17. Taufiq Ismail (1935); 18. Rendra (1935-2009); 19. Nh. Dini (1936); 20. Sapardi Djoko Damono (1940); 21. Arief Budiman (1941); 22. Arifin C. Noer (1941-1995); 23. Sutardji Calzoum Bachri (1941); 24. Goenawan Mohamad (1941); 25. Putu Wijaya (1944); 26. Remy Sylado (1945); 27. Abdul Hadi W.M. (1946); 28. Emha Ainun Nadjib (1953); 29. Afrizal Malna (1957); 30. Denny JA (1963); 31. Wowok Hesti Prabowo (1963); 32. Ayu Utami (1969); dan Helvy Tiana Rosa (1970), mengapa nama-nama seperti: Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, A.A. Navis, Asrul Sani, Ramadhan K.H., Y.B. Mangunwijaya, Toto Sudarto Bachtiar, Umar Kayam, Wing Kardjo, Budi Darma, Saini K.M., Danarto, Rida K. Liamsi, Kuntowijoyo, Fredie Arsi, A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, R. Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Hamid Jabbar, Seno Gumira Ajidarma, dan Wiji Thukul tidak dimasukkan dalam kategori tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Kalau pun memang Tim 8 menyatakan bahwa nama-nama yang tidak masuk ke dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh, pengaruhnya relatif terbatas secara sosial dan budaya, mengapa nama Denny JA, yang baru punya buku satu, Atas Nama Cinta, dijadikan tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Semua yang mencintai sastra pasti akan lantang mengatakan bahwa Denny JA bukan tokoh sastra, apalagi berpengaruh. Bukankah ia hanya pengusaha dan konsultan politik?

    Kami, Komunitas Literasi Alfabét Ciputat, tidak pernah mendapatkan pengaruh dari karya Denny JA, “Atas Nama Cinta, Sebuah Puisi Esai, Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati.” Puisi-puisinya biasa saja.
Dari beberapa alasan di atas, kami menyatakan sikap dengan penuh kesadaran:
  1. Menuntut Tim 8 untuk meminta maaf secara terbuka atas terbitnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.
  2. Mendesak Tim 8 untuk mengevaluasi dan memverifikasi isi buku tersebut.
  3. Mendesak KPG sebagai penerbit untuk menarik dan menghentikan peredaran buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.
Demikianlah pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan kami terhadap (perkembangan) sastra Indonesia.

Ciputat, 1 Februari 2014


Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét) Ciputat
Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
  1. Faliq Ayken, S.Fils. (Pendiri dan Pengelola)
  2. Oky Primadeka (Pengelola)
  3. Yuni Budiawati (Pengelola)
  4. Herry Oktav (Pengelola)
  5. Mala Himatul Aulia (Pengelola)

Read more...

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In