Karakteristik Bahasa Puisi: Makna Denotasi, Konotasi, dan Bahasa Kiasan

>> 23/11/14

Khairini Lulut*


A. Pengantar 

Mempelajari sastra khususnya puisi merupakan suatu hobi sebagian orang. Jika ingin mendapatkan pemahaman dalam sebuah puisi, maka kita harus mempelajari bagaimana puisi itu sendiri. Salah satu yang harus dipelajari adalah memahami karakteristik bahasa puisi.

Pada pertemuan sebelumnya, kita sudah membahas karakteristik bahasa puisi: perbedaannya dengan karya sastra lain dan diksi dalam puisi, yang telah dipresentasikan Faliq Ayken. Pada pertemuan tersebut telah kita ketahui bahwa puisi memiliki kekhasan sendiri dibanding dengan sastra lainnya. Hal itu dapat dilihat salah satunya melalui diksi dalam karya sastra itu sendiri.

Pada pertemuan ini, akan dibahas karakteristik bahasa puisi yang ditinjau dari makna denotasi dan konotasi serta bahasa kiasan.


B. Makna Denotasi dan Konotasi

Puisi merupakan karya sastra berupa gubahan atau rangkaian dalam bahasa yang dibentuk secara selektif, tertata, dan cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Oktav, Makalah, 2014). Pada makalah sebelumnya, unsur-unsur makna yang terdapat di dalam puisi, sudah sangat jelas menjelaskan maksud dari makna. Makna memiliki definisi lebih kompleks daripada arti, sedangkan arti merupakan perwujudan aktual dari makna (Oktav, Makalah, 2014). Kata makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan menyebutkan, makna adalah arti; maksud pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Kata denotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan menyebutkan, denotasi adalah makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif. Kata konotasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2007: 588) menyebutkan bahwa konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan sebuah kata; makna yang ditambahkan pada makna denotasi.

Dalam buku Semantik Pengantar Memahami Makna Bahasa yang mengutip Trask (Subuki, 2011: 48) mengemukakan bahwa denotasi mengacu kepada arti sentral dari sebuah bentuk linguistik yang dapat dipertimbangkan sebagai hal yang diacunya. Bagi Cruse, denotasi mencakup persoalan ekstensi dan intensi (Cruse, 2006: 136). Subuki yang mengutip Kreidler (2011: 48) menyebutkan, ekstensi dari sebuah bentuk linguistik mencakup seluruh entitas yang dapat didenotasi oleh bentuk tersebut, misalnya kata buah dapat mendenotasi mangga, apel, jeruk, dan sebagainya yang masih termasuk dalam kelompok buah; sedangkan intensi dari sebuah bentuk linguistik mengacu pada ciri dan/atau sifat yang dimiliki bersama oleh ekstensinya, misalnya ciri dan/atau sifat yang sama antara mangga, apel, jeruk, dan sebagainya. Sementara istilah konotasi yang dikutip dari Trask (1999: 51) didefinisikan sebagai arti kata yang lebih luas dari makna sentral dan makna utamanya yang biasanya diperoleh melalui asosiasi yang berulang (Subuki, 2011: 49).

Menurut Waridah (2013: 302) makna denotasi adalah makna suatu kata sesuai dengan konsep asalnya, tanpa mengalami perubahan makna atau penambahan makna, dan disebut pula makna lugas. Sementara makna konotasi diartikan sebagai makna suatu kata berdasarkan perasaan atau pemikiran seseorang, dapat dianggap sebagai makna denotasi yang mengalami penambahan makna, dan dapat disebut pula sebagai makna kias atau makna kontekstual.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat ditarik sebuah benang merahnya bahwa makna denotasi merupakan sebuah makna yang sebenarnya dari kata tersebut dan mempunyai arti atau makna yang sama dalam kamus atau dapat disebut sebagai makna leksikal. Sementara makna konotasi dapat diartikan sebagai makna yang tidak sebenarnya dari suatu kata atau tidak didasarkan atas kondisi kebenaran (non-truth-conditional) dan merupakan makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa dan bersifat subjektif sesuai penggunanya.

Untuk lebih memahami makna denotasi dan konotasi, berikut diberikan tabel contohnya:

Kata
Denotasi
Konotasi
Makna
Kalimat
Makna
Kalimat
Wajah
Muka
Wajahnya tampak berseri.
Gambaran umum yang tampak
Jakarta adalah wajah Indonesia.
Tenggelam
Karam
Kapal laut tenggelam setelah dihantam ombak setinggi 5 meter.
Bangkrut; hilang
Usaha kecilnya tenggelam akibat krisis ekonomi.
Kacamata
Lensa tipis untuk mata
Kakek membaca koran menggunakan kacamata.
Sudut pandang
Aku selalu salah menurut kacamatanya.

Dikemukakan oleh Wellek (1962: 23) yang pemakalah sadur dari Pradopo (2012: 60) bahwa bahasa sastra penuh arti ganda, penuh homonim, kategori-kategori arbiter, atau irasional, menyerap peristiwa sejarah, ingatan-ingatan, dan asosiasi-asosiasi.

Dalam sebuah puisi, kata yang tersusun tidak hanya mengandung makna denotasi saja. Pada umumnya, puisi memiliki makna tambahan yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Seperti yang telah dibahas oleh Faliq Ayken dalam makalah sebelumnya bahwa puisi lebih cenderung menggunakan bahasa konotatif (bermakna konotasi) sementara makna denotasi atau bahasa sehari-hari lebih dekat dengan bahasa prosa dan drama (Ayken, Makalah, 2014).

Puisi sebagai karya sastra memiliki gaya bahasa dengan makna yang tidak hanya menerangkan, tetapi juga sangat ekspresif yang membawa nada dan sikap pada si pembicara atau si penulis. Makna konotasi dalam sebuah puisi membuat penikmat puisi memiliki imajinasi yang membawa emosi perasaan tertentu. Misalnya pada bait sajak Toto Sudarto Bachtiar di bawah ini:

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

(Toto Sudarto Bachtiar, http://pecintapuisi.wordpress.com/2007/12/15/pahlawan-tak-dikenal/, akses 22 Juni 2014).

Puisi Toto Sudarto Bachtiar di atas sangat tergambar makna konotasi yang dibuatnya. Penyair menuliskan kata 'terbaring'; 'tapi bukan tidur', hal ini dapat diartikan dengan mati atau meninggal. Puisi di atas memberikan imajinasi bagi pembacanya untuk membayangkan seorang pahlawan yang terkapar atau terbaring akibat tertembak.

Contoh puisi lainnya adalah sebagai berikut:

          Cermin Mimi Aya
Apa kabarmu, sayang, masihkah kauingat nasihatku
Waktu kutitipkan cermin kesayanganku kepadamu?
Bagaimana rasanya becermin?
Apakah kau telah mengetahui dirimu sendiri,
saat cermin itu tiba-tiba retak saat kautatap?
Setiap malam sebelum aku dijemput mimpi,
aku berdiri di depannya sambil mengedipkan mata,
terkedip-kedip seperti matamu sebelum tidur dalam tafakur keabadian
Dijemput Kekasihmu yang sudah lama kaunantikan
Ialah Mimi Aya, perempuan yang tak pernah menyerah memberikan arah
kala aku terjebak hiburan-hiburan jalanan
Ialah kau, Ibu yang tak suka anak-anaknya mencuri dan mencari
cermin-cermin lain sebelum ilmu cermin itu dihabiskan
... dst
(Faliq Ayken, Puisi Cermin, http://kolibet.blogspot.com/2014/04/cermin-mimi-aya.html, akses 22 Juni 2014).
Pada puisi di atas, kata cermin memiliki makna konotasi sebagai teladan atau pelajaran. Penulis puisi tersebut memberikan gambaran bahwa Mimi Aya adalah sebagai cerminnya. Mimi Aya sebagai Ibu yang selalu memberikan penulis arah. Dan karena itulah penulis menganggap Ibunya sebagai cermin, teladannya.


C. Perubahan Makna

Dalam susunan kata, sebuah kata seringkali mengalami perubahan makna dalam penggunaannya. Berikut akan diuraikan beberapa perubahan makna tersebut.

1. Perluasan Makna (Generalisasi), perluasan makna yang terjadi apabila makna suatu kata lebih luas dari makna asalnya.

Contoh:

Kata
Makna Asal
Makna Baru
Adik
Saudara sekandung yang lebih muda
Semua orang yang usianya di bawah kita
Bapak
Ayah
Setiap laki-laki dewasa
Kepala
Bagian badan sebelah atas
Jabatan tertinggi; pimpinan seperti pada kepala sekolah, kepala rumah sakit

2. Penyempitan Makna (Spesialisasi), penyempitan makna yang terjadi apabila sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang luas, kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna.

Contoh:

Kata
Makna Asal
Makna Baru
Gadis
Anak dara
Perawan
Sastra
Tulisan
Karangan-karangan yang bernilai keindahan dan dapat menggugah perasaan

3. Ameliorasi, perubahan makna yang nilainya lebih tinggi dari makna asalnya.

Contoh:

Kata
Lembaga permasyarakatan
Nilai rasanya lebih tinggi daripada
Bui; tahanan
Wanita
Perempuan
Tuna susila
Pelacur
Pramuniaga
Pelayan toko

4. Peyorasi, perubahan makna yang nilai rasanya lebih rendah dari makna asalnya.

Contoh:

Kata
Makna Asal
Makna Baru
Fundamentalis
Orang yang berpegang pada prinsip
Orang yang hidupnya eksklusif, mengedepankan kekerasan
Cuci tangan
Kegiatan mencuci tangan setelah makan dan bekerja
Tidak bertanggungjawab dalam suatu persoalan
Kroni
Sahabat
Kawan dari seorang penjahat

5. Sinestesia, perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan dua indera yang berbeda.

Contoh:
  • Rinrin tampak manis bila mengenakan baju kebaya. ('tampak manis' merupakan pertukaran antara indera penglihatan dengan indera pengecap). 
  • Suara penyanyi itu sangat lembut. ('suara penyanyi' dan 'sangat lembut' merupakan pertukaran antara indera pendengaran dengan indera perasa).
Perubahan makna sinestesia sering digunakan oleh seorang penyair untuk mengungkapkan perasaannya.

Contoh:
Wangiku telah menjadi coklat tanahmu
Wangiku telah menjadi garam dalam lautmu
Wangiku akan selalu dikicaukan burung-burung
(D. Zawawi Imron, "Selamat Datang", https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20091003171438AAmR31R, akses 22 Juni 2014).

Wangi adalah aroma yang berkaitan dengan indera penciuman, kemudian ditukar dengan indera penglihatan 'warna coklat', indera pengecapan 'garam', dan indera pendengaran 'kicau'.
Angin Angan
Pintu berderit saat udara malam bergerak perlahan
menelusup ke dalam tulang terdalam sepasang kekasih
di hening hujan malam pertemuan
….. dst
(Oky Primadeka, Puisi Angin, http://kolibet.blogspot.com/2014/05/angin-angan.html, akses 22 Juni 2014)

Pada puisi di atas, 'pintu berderit' dan 'udara malam bergerak perlahan' merupakan pertukaran antara indera pendengaran dengan indera penglihatan.

6. Asosiasi, makna kata yang timbul karena persamaan sifat.

Contoh:
Kata
Makna Asal
Makna Baru
Kursi
Tempat duduk
Jabatan
Bunglon
Binatang sejenis kadal yang dapat bertukar warna kulit
Orang yang pendiriannya tidak tetap
Tikus
Binatang pengerat yang sering menimbulkan kerugian
Koruptor

Makna asosiasi dapat pula dihubungkan dengan beberapa unsur berikut ini:

a. Waktu atau peristiwa
Contoh:
Kartosuwiryo mengganas di Jawa Barat.
Lagu Mengheningkan Cipta dikumandangkan pada upacara memperingati Hari Pahlawan.

b. Tempat atau lokasi
Contoh:
Mantan pejabat itu sekarang menginap di hotel prodeo. (penjara)
Tanah Lot menjadi tujuan liburan keluarga. (tempat pariwisata di Bali)

c. Warna
Contoh:
Warna putih pada suatu pertempuran mengasosiasikan ‘menyerah dan lawan harus menghentikan pertempuran’.
Warna hijau pada lampu lalu intas mengasosiasikan ‘berjalan’.

d. Tanda atau lambang tertentu
Contoh:
Tanda S berasosiasi dengan perintah untuk berhenti.
Tanda Sendok dan Garpu berasosiasi dengan rumah makan.


D. Bahasa Kiasan

Menurut Mulyono, gaya bahasa adalah cara khas menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan. Menurut HB Jassin, gaya bahasa adalah perihal memilih dan mempergunakan kata sesuai dengan isi yang ingin disampaikan. Sedangkan menurut Nata Wijaya, gaya bahasa adalah pernyataan dengan pola tertentu, sehingga mempunyai efek tersendiri terhadap pemerhati pembaca dan pendengar (Yusuf, http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html, akses 20 Mei 2014). Menurut Keraf (2006: 113), gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan ciri dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sedangkan dalam Tarigan (1985: 5) dinyatakan bahwa gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum (Admin, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).

Dapat pemakalah katakan bahwa gaya bahasa merupakan suatu pikiran yang disampaikan seorang penulis dengan kata-kata (baik secara tulis ataupun lisan) sebagai ekspresi dalam dirinya yang menimbulkan suatu efek bagi pembaca atau pendengarnya.

Selanjutnya, Keraf (1984) membagi gaya bahasa menjadi lima bagian, yaitu gaya bahasa yang dibagi menjadi segi non-bahasa dan bahasa itu sendiri; gaya bahasa berdasarkan pilihan kata yang terdiri dari gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan; gaya berdasarkan nada yang dibagi lagi menjadi gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga dan gaya menengah; gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yaitu menyangkut klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi; dan yang terakhir gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yang terbagi menjadi dua yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (Saida, http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel5FFCF6DF3C432EF1777FBB04E4E6ABAC.pdf, akses 21 Juni 2014).

Sementara itu, Tarigan membagi gaya bahasa menjadi empat varian, yaitu gaya bahasa perbandingan yang terdiri atas sebelas macam, gaya bahasa pertentangan yang terdiri atas dua puluh satu macam, gaya bahasa pertautan yang terdiri atas empat belas macam, dan gaya bahasa perulangan yang terdiri atas tiga belas macam (Admin, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).

Meruncing kepada gaya bahasa kiasan, pemakalah akan menerangkan mengenai bahasa kiasan dengan merujuk pada pendapat Keraf.

Menurut Keraf (2004: 136), gaya bahasa kiasan adalah membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba untuk menemukan ciri yang menunjukkan kesamaan antara dua hal tersebut.
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut  (Keraf, 2006: 136). Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau dalam arti makna denotasinya dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan atau dalam arti makna konotasi. Berikut contohnya:
a. Dia sama pintarnya dengan kakaknya.
b. Parasnya seperti rembulan yang bercahaya.
Perbedaan antara kedua perbandingan di atas adalah dalam hal kelasnya. Perbandingan pertama mencakup dua anggota yang termasuk dalam kelas yang sama dan gaya bahasa yang digunakan memiliki makna denotatif, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam kelas yang berlainan dan bermakna konotasi (Admin, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf, akses 21 Juni 2014).

Bahasa kiasan atau majas dalam sebuah karya sastra dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Penggunaan majas menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2007: 62).

Pradopo (2000: 62) mengemukakan bahwa jenis majas meliputi perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimia, sinekdoke (synecdoche), dan alegori. Badrun (1989: 26) berpendapat bahwa jenis majas terdiri dari simile, metafora, personifikasi, sinekdoke, metonimia, simbol, dan alegori (Admin, http://eprints.uny.ac.id/9525/3/bab%202-05210141021.pdf, akses 21 Juni 2014).

Sementara itu, Keraf (2004: 124-145) membagi bahasa kiasan yang merupakan bagian dari gaya bahasa yang berdasarkan langsung tidaknya makna meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis (Sukir, http://ngawieducation.blogspot.com/2009/02/stelistika-unsur-retorika-gaya-bahasa.html,  akses 21 Juni 2014). 

Berikut akan diberikan penjelasan mengenai macam-macam bahasa kiasan.

1. Simile
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu gaya bahasa yang langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, bagaikan, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan lainnya. Contoh:
biarlah ia pergi laksana hembusan angin
walau sesaat...
tetap saja,
pernah menyejukkan
2. Metafora
Keraf (2004: 139) berpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora adalah majas perbandingan yang tidak menggunakan kata-kata pembanding. Menurut Altenbernd, metafora menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama (Pradopo, 2012: 66). Contohnya: tangan kanan (orang kepercayaan), raja siang (matahari), putri malam (bulan), bunga bangsa (pahlawan), dan lain sebagainya (http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html, akses 20 Mei 2014). Contoh lainnya seperti pada kalimat rumahku surgaku, pemuda adalah bunga bangsa.

Contoh pada puisi:

Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini

(Subagio Sastrowardjojo, "Dewa Telah Mati", http://sapuani.blogspot.com/2010/05/dewa-telah-mati.html, akses 22 Juni 2014)

Metafora terdiri dari dua term atau dua bagian, yaitu term pokok (principal term) dan term kedua (secondary term) (Pradopo, 2007: 66-67). Term pokok disebut juga tenor, term kedua disebut juga vehicle. Term pokok atau tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang term kedua atau vehicle adalah hal yang membandingkan. Misalnya 'Aku' ini 'binatang jalang': 'Aku' adalah term pokok, sedang 'binatang jalang' term kedua atau vehicle. Namun seringkali penyair langsung menyebutkan term kedua tanpa menyebutkan term pokok atau tenor. Metafora ini disebut metafora implisit (implied metaphor) (Pradopo, 2007: 66-67).

3. Alegori
Alegori adalah kata kiasan berbentuk lukisan atau cerita kiasan. Cerita kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Majas ini dapat pula dikatakan sebagai lanjutan dari metafora atau merupakan metafora yang dikembangkan. Majas ini banyak ditemui pada puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru. Juga banyak ditemui pada puisi-puisi modern (Pradopo, 2012: 71). Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Misalnya: Cerita tentang putri salju.

Contoh pada puisi:
Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Terembunyi kembang indah permai
Tidak terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun bersemi Laksmi mengarang
Biarpun diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
……………………………….

(Sanusi Pane, "Teratai", http://immhabib5.wordpress.com/2012/12/23/majas-dalam-puisi/, akses 22 Juni 2014)

4. Parabel
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh yang biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral dan biasanya berhubungan dengan agama. Misalnya: Cerita tentang anak yang durhaka kepada orang tuanya.

5. Fabel
Fabel adalah suatu metafora yang berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang dapat bertingkah laku seperti manusia. Misalnya: Cerita dongeng Sang Kancil.

6. Personifikasi
Merupakan gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati yang tidak bernyawa yang seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia (Waridah, 2013: 342). Pradopo (1995: 75) berpendapat bahwa personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, perpikir, dan sebagainya seperti manusia. 

Contoh:
Ombak berlarian ke tepi pantai
Angin mengejar dan berhembus sejuk
7. Alusi
Alusi atau dikenal pula dengan istilah alusio adalah gaya bahasa yang memakai ungkapan, kiasan atau peribahasa yang sudah lazim dipakai orang (admin, http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html, akses 20 Mei 2014). Dengan demikian, alusi merupakan gaya bahasa yang menampilkan adanya persamaan antara tempat, orang, atau peristiwa dari sesuatu yang dilukiskan dengan referensi atau gambaran yang sudah dikenal pembaca.

Contoh :
Hidupnya seperti telur di ujung tanduk.
Semoga di masa yang akan datang, lahir Bung Karno – Bung Karno kecil bagi bangsa ini.
8. Eponim
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 25) berpendapat bahwa eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu berdasarkan sifatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Keraf (2004: 141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. 
Misalnya: Anak itu masih kecil, namun kekuatannya seperti Hercules.

9. Epitet
Keraf (2004: 141) berpendapat bahwa epitet adalah acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau suatu hal. Misalnya: Sang putri malam sedang menunjukkan sinarnya (=bulan).

10. Sinekdoke
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang  menyebutkan sesuatu sebagian untuk menyatakan keseluruhan ataupun  sebaliknya (Waridah, 2013: 343).

Pars pro toto: jenis yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.
 Contoh:
Hingga saat ini ia belum kelihatan batang hidungnya.

Totum pro parte: jenis yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian.
Contoh:
Indonesia akan mendukung tim sepak bolanya malam ini.

11. Metonimia
Metonimia adalah jenis majas yang penggunaannya paling jarang dibandingkan dengan majas-majas perbandingan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, metonimia disebut sebagai pengganti nama. Kemudian, menurut Altendberg (1970: 21), bahasa metonimia berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang hubungannya dekat untuk menggantikan objek tersebut (Pradopo, 2012: 77). Seperti yang dikutip pada Djojosuroto, metonimia adalah bahasa kiasan yang mempergunakan sebuah kata atau kalimat untuk menyatakan sesuatu, karena mempunyai pertautan yang dekat dan relasional (admin, http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html, akses 20 Mei 2014).

Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonimia adalah pengganti kata yang satu dengan kata yang lain dalam suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonimia adalah penamaan terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut.

Misalnya:
Ia membeli sebuah Chevrolet.
Kakak membeli Aqua gelas.
12. Antonomasia
Antonomasia adalah sebuah bentuk khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitet untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Dengan kata lain, antonomasia adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama orang dengan sebutan lain sesuai dengan ciri fisik dirinya atau watak orang tersebut, atau berupa penyebutan gelar resmi dan semacamnya untuk menggantikan nama diri.

Contoh:
Si gendut baru bangun tidur.
Megawati Soekarno Putri dan Meutia Hatta adalah putri-putri Sang Proklamator yang aktif di bidang pemerintahan.
13. Hipalase
Keraf (2004: 142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.

Misalnya:
Ia berbaring di atas sebuah kasur yang gelisah (yang gelisah adalah manusianya bukan kasurnya). 
14. Ironi
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi/sindiran adalah gaya bahasa berupa penyampaian kata-kata dengan berbeda atau berlawanan dengan maksud yang sesungguhnya, dan pembaca atau pendengar diharapkan memahami maksud penyampaian tersebut.

Contoh:
Pagi sekali kau pulang, masih jam 2 malam.
Kulihat kutu buku itu selalu berada di perpustakaan.
15. Sinisme
Keraf (2004: 143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. 

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir, mirip dengan ironi, tetapi kata-kata yang digunakan agak kasar dengan tujuan agar orang tersindir secara lebih tajam dan menusuk perasaan.

Contoh:
Kau kan sudah hebat, tak perlu lagi mendengar nasihat orang tua seperti aku ini!
Kau memang cepat memutuskan suatu pilihan hingga tak memerlukan pendapat orang lain hingga hasilnya tak maksimal!
16. Sarkasme
Waluyo (1995: 86) berpendapat bahwa sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik. Sarkasme adalah gaya bahasa sindiran yang paling kasar yang mengekspresikan kemarahan dan dapat membuat sakit hati.

Contoh:
Mulutmu harimaumu
Bangsat tak tahu diri pria itu!
Sikapmu seperti anjing dan sifatmu seperti babi!
17. Satire
Keraf (2004: 144) mengatakan bahwa satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu.
Bentuk ini tidak harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. 

Contoh:
Jangan pernah berpikir kau adalah dewa, menghadapi masalah seperti ini pun kau sudah kewalahan. 
18. Innuendo
Keraf (2004: 144) berpendapat bahwa innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Jadi, innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya.

Contoh:
Ia menjadi juragan tanah di daerah itu berkat kelihaiannya bermain mata dengan penguasa (Waridah, 2013: 337).
Setiap ada pesta ia pasti sedikit mabuk karena kebanyakan minum. 
19. Antifrasis
Menurut pendapat Keraf (2004: 132), antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Antifrasis adalah gaya bahasa sejenis ironi dengan menggunakan kata yang maknanya berlawanan dengan realita yang ada (admin, https://danririsbastind.wordpress.com/tag/gaya-bahasa/, akses 20 Mei 2014).

Contoh:
Si Bule telah datang. (orang berkulit hitam)
Dia dikenal jenius dikelas ini. (padahal bodoh)
Lihatlah sang raksasa telah datang! (maksudnya si cebol) 

E. Kesimpulan 

Makna denotasi dan makna konotasi serta gaya bahasa merupakan salah satu unsur dari sebuah puisi. Puisi lebih umum menggunakan makna konotasi. Penyair menggunakan gaya bahasa sebagai cara khas dalam menyatakan pikiran, gagasan, dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan agar puisi lebih indah, hidup, dan menimbulkan efek pada pembaca atau pendengarnya.

Dari klasifikasi gaya bahasa yang dikemukakan Keraf, bahasa kiasan dapat diklasifikasikan ke dalam 4, yaitu majas perbandingan (simile, metafora, personifikasi, dan alegori), majas pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, eponim, epitet, dan antonomasia), majas sindiran (ironi, sinisme, sarkasme, innuendo, dan antifrasis), majas pertentangan (hipalase, dan satire) dan sisanya parabel serta fabel.


DAFTAR PUSTAKA

"Analisis Gaya Bahasa dalam Puisi Tembang Alam."  http://asrank.blogspot.com/2013/04/analisis-gaya-bahasa-dalam-puisi.html (akses 20 Mei 2014).

Ayken, Faliq. "Karakteristik Bahasa Puisi: Perbedaannya dengan Karya Sastra Lain dan Diksi dalam Puisi." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.

---------. "Cermin Mimi Aya." http://kolibet.blogspot.com/2014/04/cermin-mimi-aya.html (akses 22 Juni 2014).

"Bab II Landasan Teori." http://eprints.uny.ac.id/9525/3/bab%202-05210141021.pdf (akses 21 Juni 2014).

"Bab II Konsep, Landasan Teori dan Tinjauan Pustaka." http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17733/4/Chapter%20II.pdf (akses 21 Juni 2014).

Fahmi, Rijal. "Struktur Puisi (Contoh Analisis)." http://rijalfahmi6.blogspot.com/p/blog-page_7809.html (akses 20 Mei 2014).

Mihardja, Dimas Arika. "Bahasa Kias dalam Puisi." http://tamanpendidikandimasar.blogspot.com/2011/02/bahasa-kias-dalam-puisi.html (akses 20 Mei 2014).

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Kemdikbud. "Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan." http://kbbi.web.id/ (akses 17 Mei 2014).

Oktav, Herry. "Unsur-unsur Makna di dalam Puisi." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.

Primadeka, Oky. "Unsur-unsur Bentuk Puisi: Bunyi, Kata, Bahasa Kiasan/Majas, dan Citraan." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.

---------. "Angin Angan." http://kolibet.blogspot.com/2014/05/angin-angan.html (akses 22 Juni 2014).

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Cet. 13. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Riva, Danriris. "Sarana Retorika, Bahasa Kiasan dan Diksi dalam Puisi." https://danririsbastind.wordpress.com/tag/gaya-bahasa/ (akses 20 Mei 2014).

Saida, Akmaliatus. "Gaya Bahasa dalam Cerita Madre Karya Dewi Lestari." http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel5FFCF6DF3C432EF1777FBB04E4E6ABAC.pdf (akses 21 Juni 2014).

Subuki, Makyun. Semantik: Pengantar Memahami Makna Bahasa. Jakarta: Transpustaka, 2011.

Sukir. "Stelistika, Unsur Retorika, Gaya Bahasa (Lengkap)." http://ngawieducation.blogspot.com/2009/02/stelistika-unsur-retorika-gaya-bahasa.html (akses 21 Juni 2014).

Waridah, Ernawati. EYD Ejaan yang Disempurnakan & Seputar Kebahasa-Indonesiaan. Cet.2. Bandung: Ruang Kata, 2013.

Yusuf, Rosyid. "Gaya Bahasa dalam Puisi." http://kibutut.blogspot.com/2013/06/gaya-bahasa-dalam-puisi.html (akses 20 Mei 2014).


*Khairini Lulut adalah mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan anggota tetap UKM Bahasa-FLAT, Foreign Languages Association, pada universitas yang sama.

Read more...

Untuk Kamu di Kamar Rindu

>> 11/07/14

Faliq Ayken


Hai kamuku, apa kabar? Masihkah kamu di dalam kamar yang
dulu kita cipta dengan sejuta kenangan? Kamu tak perlu jawab,
kalau tak ada jawaban. Aku hanya angin yang menghembuskan
nafas kerinduan.

Kamuku, setahun setelah menikah dengan kekasihku, aku selalu
mengingatmu dari pagi, siang, dan malam. Saat melihat wajah
istriku; saat jalan berdua bercakap tentang dunia perempuan,
kamu melintas tanpa batas; saat melantunkan ayat-ayat Alquran,
kamu melintas di atas larik-larik ayat sambil menggodaku,
bergoyang ke kiri ke kanan; saat menulis sajak cinta, kamu
melangkah diam-diam, menjejak hening tanpa suara.

Di hari pahlawan, 10 November 2012, kamu tak datang di pernikahanku.
Padahal kamu pahlawanku. Sabtu pagi sebelum melafalkan akad nikah,
kutulis sebait sajak, agar kamu tahu bahwa sekarang aku sedang menekuni
dunia kata-kata. Setelah membaca sajak ini, semoga kamu bahagia melihat
kebahagiaan kita.

"Selamat pagi, Tuhan. Hari ini, aku akan menikah dengan perempuan
yang paling kusayang. Berikan kasih sayang-Mu di setiap perjalanan."

Kamuku, istriku selalu menanyakanmu saat kuceritakan semua hal tentangmu.
Mulai dari wajah, rambut, dan tubuhmu. Katanya, "Aku ingin belajar pada
perempuan yang sering kausebut dalam percakapan kita."

Dalam doaku, "Semoga kamu tak kesepian di surga. Jika ingin keramaian,
datanglah ke tempat tinggalku. Jika ingin kehangatan, Tuhan akan selalu
memelukmu."

Surat cinta anakmu,
Liq!


Pondok Petir,
Minggu, 22 Juni 2014

Read more...

Teman di Ujung Senja*

>> 08/07/14

Yuni Budiawati


Tak sengaja
Ya... aku mengenalnya secara tak sengaja
Lewat jendela,
di ujung Selasa senja

Lewat jendela kami bercanda
Tertawa pada sikapnya yang manja
Menunjukan wajah ceria,
lewat jendela saat senja

Kini saat senja
Aku menutup jendela,
saat dia membukanya
Karena surat berwarna jingga,
yang ada di atas meja

Ya... surat cinta berwarna jingga
Dari seorang teman,
yang kukenal dengan tak sengaja
di ujung Selasa senja

Senja...
Bagaimana caranya kukatakan,
bahwa dia sangat menawan
Bagaimana caranya kukatakan,
bahwa dia sangat perhatian

Tapi senja...
Bagaimana bisa kukatakan,
Jika ada perempuan yang lebih menawan
Bagaimana bisa kukatakan
Jika bagiku dia hanya,
teman di ujung senja


Ciputat,
Jumat, 6 Juni 2014

* Lanjutan puisi 'Bingkai Senja'. Sabtu, 19 April 2014.

Read more...

Surat-surat Cinta kepada Bulan

>> 07/07/14

Oky Primadeka


Bulan, apakah surat-surat cinta yang kukirimkan sudah
sampai ke tanganmu? Sebab aku cemas ada burung malam
yang menyembunyikannya dalam lelap gelap. Surat-surat itu
berisi cerita-cerita kecilku saat aku sering salah mengetik
huruf dalam sajak-sajakku karena bayangkan pelangi indah
di matamu.

Bulan, tahukah bahwa bungkus surat-surat cinta yang
kukirimkan padamu adalah amplop yang kusulap dari
cahaya. Sengaja kubuat dari percik-perciknya agar rinduku
tak padam padamu.

Bulan, surat-surat cintaku padamu kugambari motif bunga
Jasmine. Pada tiap lekuk kembangnya kutiupkan namamu.
Sengaja agar namamu selalu harum dan terus mengalir di tiap
denyut nadiku.

Bulan, kertas yang kupakai untuk menulis surat-surat
cintaku padamu adalah kertas yang kubeli di toko tanpa
nama. Tak ada garis-garis di dalamnya seperti pada kertas
lazimnya. Sengaja, agar ungkapan cintaku tak terbatasi olehnya.
Aku ingin mencintaimu sepuas-puasnya.

Bulan, tinta yang kugunakan pun hanya tinta hitam.
Aku tak ingin cintaku terbaur warna lainnya.
Karena yang kuingat hitam adalah warna alis tebalmu.
Alis yang tersusun rapi seperti hutan kayu, menyesatkanku.

Bulan, seperti kusebutkan di awal sajak ini, cerita-cerita
kecil di surat-surat cintaku padamu sebagian besar adalah
cerita saat-saat aku salah mengetik huruf dalam sajak-sajakku.
Aku senang karena mengingatmu bagiku adalah zikir tanpa akhir.
Namamu adalah bisikan manja yang menuntunku berjalan susuri
belantara buku.

Bulan, jika redup malam buatmu gugup, maka tepiskanlah
pendar gelapnya karena ada butiran tasbih cahaya yang
kulekatkan di tiap petikan huruf-huruf namamu.
 
Bulan, jika surat-surat cintaku belum juga sampai padamu,
maka sajak ini adalah caraku menyatakannya kembali padamu.
Aku yakin dengan ini cintaku padamu 'kan terus meruang dan mewaktu.


Ciputat,
Kamis, 5 Juni 2014

Read more...

Cinta dalam Surat

>> 06/07/14

Khairini Lulut


Hai, bagaimana kabarmu, masih ingatkah kau padaku
Ingatkah saat waktu pertama kita bertemu
Aku masih ingat kau
menatapku dari kejauhan
seperti keindahan yang mengharukan
Dan saat itu… seakan matamu bicara
Tetapi mulutmu tidak berkata-kata

Bacalah secarik kertas ini
Cakrawala aksara yang menggores kertas ini
bukanlah sebuah hipotesis
Ini adalah curahan hatiku saat ini
Dan aku akan mulai bercerita

Aku ada di kerumunan dan keramaian kota
Dan akan ada banyak sekali yang bisa kulihat
Tetapi sama seperti halnya kulihat gambar gestalt
aku memilih melihatmu

Ketika pandangan mataku bertemu matamu
Seakan ada bulu panah yang menusuk jantungku
Waktu mendadak lenyap, membeku dibenakku
Tetapi bumi tetap berputar pada pijakanmu

Kini aku telah jatuh pada palung terdalam
Sebongkah matahari terbit dan terbenam
Namun aku merasa hampa dalam nirwana
Jantungku sakit…
Tetapi stetoskop hanya mengatakan bahwa aku jatuh cinta

Dan tahukah kau
Perasaan ini, telah menyublim dan mengkristal
Dan yang kutahu,
kau dan aku ditakdirkan sebagai rectoverso, utuh dan satu

Mungkin aku sungguh naïf mencintaimu…
Namun rinduku pecah sebanyak denyut jantungku
Dan kini aku menunggumu
Karena selalu ada kata rindu yang 'kan memaksa tuk bertemu


Ciputat,
Minggu, 22 Juni 2014

Read more...

Pesan Terakhir

>> 04/07/14

Herry Oktav


Aku masih ingat terakhir kali kukirim surat cinta untukmu
Aku tuangkan tinta, mengalir sepenuh hati
Tiap tetesnya menuangkan perasaanku yang terdalam
Tanpa rekayasa, tak ada keraguan

Aku juga teringat terakhir kali ibu mengirim surat untukku
Aku baca dalam sepi, meresapi setulus hati
Tiap ejaannya memberikan cinta kasih yang terdalam
Tanpa rekayasa, tak ada kepalsuan

Aku masih ingat terakhir kali kukirim surat untuk ibu
Aku torehkan keluh-kesah, sepenuh hati
Tiap kata mencurahkan kemanjaanku yang terdalam
Tanpa rekayasa, tak ada kepalsuan

Aku juga teringat terakhir kali kukirim surat untuk guru
Aku tulis keresahanku, setulus hati
Tiap kalimat menunjukkan kebodohanku yang terdalam
Tanpa rekayasa, tak ada kepalsuan

Aku masih ingat terakhir kali guru mengirim surat untukku
Aku pelajari bahasanya, sepenuh hati
Tiap paragrafnya memberikan keteladanan yang terdalam
Tanpa rekayasa, tak ada kepalsuan

Aku pun teringat terakhir kali kaukirim surat cinta untukku
Aku buka suratmu perlahan, setulus hati
Tiap lembarnya berisi kekecewaanmu yang terdalam
Tanpa rekayasa, tak ada keraguan

Aku tahu, "Ini pesan terakhirku untukmu."


Ciputat,
Sabtu, 7 Juni 2014

Read more...

Tinta Sapardi

>> 02/07/14

Faliq Ayken


Selamat datang, Juni, masuklah ke dalam sajakku!
Barangkali ada diksi menggigil, memanggil pelukanmu
Selamat menikmati sajakku, Sapardi, bacalah pelan-pelan!
Agar Juni bisa ikutimu, baca sajakku yang bukan sajak hujan

Setiap awal bulan Juni, kudeklamasi sajak-sajakmu, Sapardi
Hujan Bulan Juni, buku sajakmu kubuka kubaca berulangkali
Terkadang tersentak, terbelalak
Terkadang hilang, tak berbilang
Hanyut dalam aliran sungai kata-katamu

Jika saja aku adalah seorang penyair,
akan kusulam kata-kataku dengan jarum-benang milikmu
Jika saja aku adalah Juni,
akan kutulis sajak bukan hujan milikku
tanpa gigil, tanpa gemercik air

"Di balik jendela, kududuk menunggumu dengan dada berdegup kencang.
Buku sajakmu di tangan kiri, pena di tangan kanan.
Pikiran melayang-layang, mata melihat keluar mengharap kaudatang.
Langit-langit mendung, guntur bergemuruh.
Kaudatang, hujan tak juga turun.
Tak akan turun."

Sajak Sapardi berlumuran
Juni berlumuran tinta hitam
Hitam tanda keabadian


Pondok Petir,
Minggu, 1 Juni 2014

Read more...

Tinta dalam Secarik Kertas

>> 20/06/14

Yuni Budiawati


Aku ingin menulis sajak
Di atas secarik kertas
yang kutemukan di tas

Aku tak tahu pasti,
apa yang ingin kutulis
Tentang langit yang biru?
Tapi langit sedang kelabu
Tentang duka cinta?
Aku juga tak tahan dengan airmata
Atau tentang masa depan,
yang tak tahu kapan akan datang?

Ah... aku tak tahu!

Aku tak tahu apapun,
tentang sajak ataupun pantun
Kini di atas kertasku itu
hanya coretan tak menentu

Tinta   Tinta   Tinta   Tinta
               Tinta
               Tinta
               Tinta
               Tinta
               Tinta


Ciputat,
Jumat, 30 Mei 2014

Read more...

Pena Empat Warna

>> 19/06/14

Joni Rolis


Hari ini, seseorang termangu di saung taman,
menanti hujan sedari pagi
Pena empat warna di tangan,
melengkungkan nalar dalam catatan

Jika Hijau satu,
mungkin Merah dua,
dan tiga, Biru
hitam, setelahnya

Dari balik tirai hujan kini, seorang berpayung
Teman dua tahun satu gedung
Duduk sapa, sapa pergi, untukku satu payung
Tinta merah, kala dia pergi
Mengalirkan kata dalam catatan

Dari balik tirai hujan, seorang berpayung
teman lain satu gedung
Sapa datang, dilihatnya jam, lalu pergi
Dimintanya satu payung
Tinta hitam kini
Mengguratkan kata dalam catatan

Dari balik tirai hujan, seorang berpayung
Teman lain satu gedung
Sapa duduk, labun, sapa pergi
Tinta biru kini
Mengalunkan kata dalam catatan

Dari balik tirai hujan, seorang yang lain
Teman
Duduk sapa, berlabun-labun

Satu payung untuknya,
mereka pergi
Tinta hijau dalam buku mungkin,
kala hujan berhenti nanti


Tajurhalang,
Minggu, 1 Juni 2014

Read more...

Kepak Sayap Patah

>> 18/06/14

Khairini Lulut


Bap, terdengar suara terjatuh
Tak kulihat seseorang di mana pun
Karena suara jatuh itu bukanlah suara jatuhnya seseorang
Apakah uang logamku terjatuh?
Tapi, ah... bukan
Itu bukan suara gemerincing
Apatah hatiku yang terjatuh dan tertinggal di belakang
Ternyata tidak, masih dalam tubuh dan berdegup semakin cepat

Kembali kuberjalan ke belakang, mencari di mana asal bunyi jatuh itu
Melihat apa yang kutemukan terbelalak mataku
Sebuah sarang burung yang di dalamnya terdapat anak burung
Seekor anak burung, kecil, menciap
Dan kuambilnya dari tanah dengan sigap

Keriang keriut suara pohon bambu tertiup angin
Mengawali derap langkahku sambil membawa sarang burung yang kutemukan
Sampai di rumah aku berganti pakaian
Segera melihat burung yang kutinggalkan di halaman

Ah, mengapa dengan sayapnya?
Satu sayapnya tak dapat dikepakkan
Sejurus itu aku langsung merawatnya
Hingga akhirnya sayap itu mampu dikepakkan

Dan kini tiba saatnya,
aku siap menerbangkannya
Bersamaan dengan desau angin
Kulihat kepergiannya hingga terbang jauh

Lalu bagaimana dengan aku yang masih tertinggal di sini?
Mungkin sayapku pun patah dan aku masih jalan terhuyung-huyung
Mengejar ketertinggalan mereka yang sudah di puncak
Dan aku yang berada di lembah,
berharap sampai...


Pamulang,
Minggu, 25 Mei 2014

Read more...

Pemburu Burung

>> 11/06/14

Faliq Ayken


Menjelang pagi,
burung-burung semakin liar
Ada yang singgah di reranting pepohonan
Ada yang terbang mencarikan
ranting untuk disinggahi

Kami adalah sekelompok orang lapar,
pemburu burung-burung besar
Senjata kami adalah senapan wewangian
Sekali tembak, dada burung-burung meruap-ruap
mati di ruang kenikmatan

Pagi datang, kami pulang
Membawa uang hasil berburu semalam
Burung-burung besar
menjanjikan banyak uang
Burung-burung besar
membuat keluarga pemburu
tak mati kelaparan

Tuhan, memburu kami!


Pondok Petir,
Minggu, 18 Mei 2014

Read more...

Jadi Rajawali

>> 07/06/14

Yuni Budiawati


Dulu aku pemalu
Sendiri menyepi di balik bilik

Dulu aku penakut
Sembunyi diri di sisi sepi
Bermimpi jadi Merpati
Tapi tak mau terbang tinggi
Sakit kalau jatuh

Lalu aku didorong Ibu
Tersungkur di ujung pintu
Ibu buka jendela, Ibu buka pintu
Tangannya dikibaskan maju mundur
Menyuruh udara segar masuk
Dan aku hirup

Aku sadar, aku lapar
Udara yang kuhirup sesakkan dada
Kurang! Aku ingin udara yang lebih segar
Rasanya ingin punya sayap
Jadi Merpati! Ah... sekalian Rajawali saja
Biar tak usah capek kepakkan sayap
Cukup bentangkan di udara lepas


Sukabumi-Jakarta,
Minggu, 25 Mei 2014

Read more...

Mencari Kabar Burung

>> 06/06/14

Herry Oktav


Dingin menggigili tubuhku
Dibekukan kabar kepergiannya
; kaku

Siangi bulu kuduk
Seketika aku menjelma burung tiada sayap
Binar tak lagi ada
Kepak diradang amis

               Lunglai; terkulai
               Nanar; kosong

Aku hanya flamingo
di dataran es; terlantar
Aku cuma penguin
di Gurun Sahara; terkapar

Kabar burung memang
Tentangku, pun juga tentangnya
Berlalu terlalu cepat
; tak mungkin

               Pales; tak semerdu simfoni dalam vinil

Aku hanya burung tak berparuh,
Terhempas badai,
atau dedaunan tersapu angin
Mencari tanya dalam pilu
Haruskah kuganjar tanya itu dengan sajak kelu?


Ciputat,
Sabtu, 17 Mei 2014

Read more...

Burung Layaran

>> 05/06/14

Oky Primadeka


Mengapa kita masih menunggu senja yang sudah tentu akan
datang di pertengahan ketika musim menggugurkan daun-daun
siang kepada bumi malam. Kita adalah burung yang sedang
terbang mencari-cari bahan sarang yang nyaman di bising
belantara hutan kehidupan supaya bisa pulang dengan tenang,
teduh di bawah kelebat bendera senja menuju rangka perbukitan
di seberang lautan.

Kita sering bertanya, seberapa kuatkah sarang kita nantinya
sebab mungkin sekali kibas angin yang kejam dengan seketika
menghempaskan sarang yang sudah kita bangun untuk anak
cucu. Kita sering khawatir, saat semua yang kita miliki satu
persatu hilang atau merapuh: mata yang tajam memandang,
kicau suara yang merdu dan lantang, serta cengkeram kuat kaki
kita atas bumi. Pada akhirnya, semua ditelan waktu, menghujan,
merintik, lalu jadi kenangan.

Langit yang ramah adalah surga kehidupan bagi burung-burung
camar di siang lautan, juga bagi kita di mana bulan sepenuh hati
tersenyum terang menyelimutkan rasa tenteram di malam
tanggal-tanggal mudanya. Di mana bintang mengedip-
ngedipkan mata cahayanya, merasi format biduk yang
menyimbolkan bahwa hidup adalah pelayaran.

Dan senja adalah bel bisu pulang kembali ke asal mula selepas
berperjalanan berlayar mengarungi samudra-samudra. Kita
harus ingat bahwa gemuruh ombak bergelombang adalah suara-
suara getir kehidupan yang mengabarkan dan menjadikan kita
sebagai kita yang utuh.

Sebelum kita benar-benar sampai di rumah labuhan, mari kita
tuliskan nama kita pada sebongkah batu. Semoga, anak cucu kita
mewarisi jiwa keberanian melebihi keras zamannya.


Ciputat,
Minggu, 25 Mei 2014

Read more...

Di Balik Daun

>> 03/06/14

Joni Rolis


Kuhinggapi pohon rindang sore itu
Di balik daun-daun, ku tak ingin dirimu tahu
Berharap bisa memandangmu
Yang duduk manis bersandar batu

Sore itu, langit berawan hitam
Mungkin sedang muram
Melupakanmu tenggelam dalam kelam
Meski lelah, kamu tersenyum dalam diam
Mata indah itu perlahan terpejam
Menghantarkanmu dalam tidur yang dalam

Hujan muram mulai menitikkan air matanya
Dia mungkin tak ingat lagi
Dirimu masih terlelap di bawah pohon rindang ini
Mencoba menjauh dari kelam dunia

Aku yang di balik daun-daun sore itu
Hanya bisa memayungimu
Dengan sayap kecilku
Dari rintik hujan jatuh di sela daun, coba basahi dirimu

Kini, mungkin hari sudah malam
atau hujan yang tak berhenti muram
Ku tak tahu kapan kembali dari tidurmu
Namun biarkanlah diriku menemanimu
hingga sebelum kaubangun
Ku 'kan kembali hinggapi ranting di balik daun-daun itu


Ciputat,
Minggu, 18 Mei 2014

Read more...

Karakteristik Bahasa Puisi: Perbedaannya dengan Karya Sastra Lain dan Diksi Puisi

>> 30/05/14

Faliq Ayken*


Unsur-unsur makna di dalam puisi adalah makalah yang telah dipresentasikan oleh Herry Oktav pada pertemuan sebelumnya. Pada makalah tersebut: sense, subject matter, feeling, tone, totality of meaning, dan theme tersampaikan dengan cukup jelas. Dari mulai makna dan arti puisi, jenis-jenis arti (leksikal, konotatif-denotatif, literal-nonliteral, asosiatif-afektif, situatif), sampai dengan makna tema dalam puisi (Oktav, Makalah, 2014).

Pada pertemuan kali ini, saya akan membincang tentang perbedaan puisi dengan karya sastra lain dan diksi puisi. Kedua tema itu masuk dalam kategori karakteristik bahasa puisi. Karakteristik bahasa puisi tentu tidak hanya kedua tema itu, namun masih ada tema-tema yang lain, yaitu: makna denotasi dan konotasi, bahasa kiasan, pencitraan, retorika, dan gaya bahasa.


PERBEDAAN PUISI DENGAN KARYA SASTRA LAIN

Pada dasarnya karya sastra itu wujud permainan kata-kata pengarang berisikan maksud tertentu yang akan disampaikan kepada pembaca. Pembagian sastra terbagi menjadi tiga, yaitu: puisi, prosa, dan drama. Persamaan dari ketiga bagian itu adalah pada konteks penggunaannya, menggunakan kata-kata indah (Damayanti, 2013: 12). Tentu hal demikian agar karya yang sudah diciptakan semakin menarik. Dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia 1 yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas, Dendy Sugono (2003: 159) mendefinisikan ketiga jenis sastra tersebut, sebagai berikut:
  • Puisi adalah jenis sastra yang bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat sehingga mampu mempertajam kesadaran pembaca akan suatu pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus.
  • Prosa adalah jenis sastra dengan bentuk paragraf yang bebas menggunakan kata-kata yang diinginkan pengarang. Prosa lebih dikenal dengan cerita kehidupan dan bahasa prosa sangat dekat dengan bahasa sehari-hari.
  • Drama adalah jenis sastra yang tujuaannya menggambarkan kehidupan lewat lakuan dan dialog para tokoh. Lazimnya dirancang untuk pementasan di panggung.
Berdasarkan pembagian jenis sastra di atas, bahasa prosa dan drama lebih dekat dengan bahasa sehari-hari (denotatif), sedangkan puisi lebih cenderung menggunakan bahasa konotatif. Walaupun bahasanya dekat dengan bahasa sehari-hari, prosa dan drama tetap menggunakan diksi yang menimbulkan efek dan kesan kepada pembaca.

Dalam buku Pengkajian Puisi Rachmat Djoko Pradopo, seperti dikutip Damayanti (2013: 13) menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa prosa dan puisi hanya dibedakan kadar kepadatannya. Bahasa yang padat disebut puisi, sedangkan bahasa yang tidak padat disebut prosa. Berdasarkan kepadatan itulah seringkali prosa dikatakan puitis, yaitu prosa yang memiliki sifat puisi. Dan seringkali juga puisi dikatakan prosais, puisi prosais, puisi yang tidak padat atau menyerupai prosa.

Lihatlah contoh di bawah berjudul Jalan ke Surga karya Joko Pinurbo (2007: 15) berikut ini:
Jalan ke Surga

Jalan menuju kantorMu macet total
oleh antrean mobil-mobil curianku
Jika melihat dalam konteks kepadatan, karya Joko Pinurbo di atas adalah karya puisi. Dua larik puisi di atas sarat akan makna. Bagaimana mungkin mobil hasil curian bisa masuk ke dalam kantor-Mu yang suci itu? Bagaimana mungkin seorang berhati busuk, sering menyengsarakan orang lain, bisa masuk ke dalam Surga-Mu? Bagaimana mungkin seorang yang kotor bisa masuk ke dalam rumah-Mu yang bersih itu? Hanya dua larik puisi, tapi mempunyai banyak makna. Padat bukan berarti kata-kata dipangkas habis sampai tersisa hanya beberapa kata dalam satu larik, tapi padat yang tetap memperhatikan diksi. Puisi yang jeli pada diksi, biasanya akan mempunyai banyak makna.

Bagaimana melihat prosa puitis? Lihatlah prosa Bernard Batubara (2013: 17) di bawah ini:

Dalam pejammu, kau melihat jangkrik-jangkrik itu, hujan yang tak kunjung berhenti, debur kali, dan sebatang pohon tua yang melepaskan daun-daun dari tubuhnya. Kau melihatnya menjadi satu, tertata rapi di atas kanvas. Seperti lukisan yang sangat indah, namun tak terjelaskan. Seperti rasa perih dan kehilangan yang tersamar oleh cinta yang sebentar. Dalam gelap dan sunyi, aku mendengar ceritamu. Aku tersenyum, saat kau bercerita kepadaku segala hal tentang aku.

akankah kita bertemu dalam ricik air kali
di belakang rumah, saat arusnya tak pernah
mengizinkan kita mengalir sebagai daun
yang jatuh dari pohon tua di sisi tubuhnya

akankah kita terjalin sebagai dua arus kali
yang berdebur suaranya sepanjang malam,
ketika derik jangkrik melarang kita bicara
dan pohon tua menjerat kita dengan belit

akarnya

Prosa (cerita pendek) di atas adalah bagian akhir dari cerita pendek berjudul, Lukisan Kali dan Pohon Tua. Itu adalah contoh prosa puitis. Bernard Batubara begitu piawai merangkai kata-kata cerita pendeknya, ia merangkainya dengan bahasa puisi. Adakah rima, metafor, diksi puitis, dan rangkaian kata seperti pada puisi? Tentu ada.

Dalam puisi prosais, M Aan Mansyur (2012: 61) dalam puisi laut kecil, bisa dijadikan contoh:
laut kecil

yang warna dan cahaya di tubuhku, yang bening dan asin di
tubuhnya yaitu masa lampau. yang berkepak di tubuhku, yang
beriak di tubuhnya yaitu masa depan.

dunia bening dan terpisah dari yang harusnya menangkap
maksud dan kecupku. di tubuhnya diperangkap dan senang
berenang-renang. aku terbang dalam air dengan sayap-sayap
berkilau-kilau. kau di luar sedang tersenyum seperti mimpi
menerangi tidur yang semula hampa cahaya.

kecupku mampu menjangkau jari yang kaucelup ke tubuhnya,
jika kau mau. aku mencintai kuku-kukumu yang tumbuh putih,
meski sesekali patah kaugigit, yang mampu jadi cermin bagiku
dan bagi siapapun.

ini laut kecil milikmu. sudah terlalu luas bagi tubuhku.

(sambil menyantap sarapan, atau harapan, aku menulis ini. kau
mungkin sedang memainkan alat-alat dapur sembari lirih
membisikkan lirik-lirik lagu kesukaanmu. di luar kaca
jendela, hanya ada januari dan langit lembab.)
Puisi laut kecil di atas adalah puisi yang kemasannya menggunakan teknik menulis prosa. Di sana kata-kata mengalir, bebas, bahkan cenderung tidak ada pemadatan bahasa puisi. Jika Bernard Batubara mengemas cerita pendeknya dengan bahasa puitik, M Aan Mansyur mengemas puisinya selayaknya cerita pendek (prosa).

Untuk contoh drama berjudul Makna Sahabat (http://ilmu-bermanfaat23.blogspot.com/2013/04/contoh-drama-bahasa-indonesia.html, akses 3 Juni 2014) bisa dilihat di bawah ini:

Suasana pagi cerah di SMPN Pelita Harapan Jakarta mengiringi sebuah kisah keempat sekawan dengan karakter yang berbeda-beda. Namun perbedaan tersebut tidak menjadikan mereka berempat berselisih, tetapi menjadikan mereka mascot dalam persahabatan yang sejati. KARA, MIMI, IGO, dan AFIKA, itulah nama mereka. Mereka selalu kompak dan tampak ceria setiap hari. Jadi tidak heran jika mereka memiliki ribuan teman. Keempat sekawan tersebut berbincang-bincang sambil berjalan di koridor sekolah.

IGO: "Hey sob, sebentar lagi kita UAN nich, pastinya waktu untuk kumpul-kumpul kita akan tersita buat belajar. Gimana nich?"

MIMI: "Iya bener juga Zha, jadwal kita bakalan jungkir balik gara-gara persiapan UAN. Jadwal shopping, ke salon, creambath, manypadhy, dan pastinya jadwal kencan bareng bakalan ancur. Aduch, bisa-bisa rambut aku rontok nich."

KARA: "Gak segitunya kalik, tergantung kita juga. Jika kita rajin menabung ilmu, maka kita tidak akan sibuk belajar."

MIMI: "Ah kamu ini Cha, mentang-mentang anak pintar jadinya sok ceramah. Huh nyebelin."

IGO: "Sudah-sudah jangan berdebat, apa yang di omongin KARA itu ada benarnya juga. Coba dech kalian bayangin, jika kita rajin belajar kita tidak perlu sibuk-sibuk mikirin UAN, itung-itung siap senjata dulu sebelum perang. Enjoy aja lagi, bener gak?"

Jika melihat dan membaca contoh drama tersebut, maka akan terlihat jelas penggunaan bahasanya. Menggunakan bahasa lisan, bahasa sehari-hari. Di bagian awal sudah dijelaskan bahwa bahasa drama lebih dekat dengan bahasa sehari-hari.

Dari keempat contoh di atas, kiranya kita bisa menggambarkan perbedaan puisi dengan karya sastra yang lain. Selain keempat contoh yang saya paparkan di atas, masih banyak contoh-contoh lain yang perlu dielaborasi lagi.


DIKSI DALAM PUISI

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terbaru (2008: 328), diksi diartikan: pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Dalam proses penciptaan puisi, diksi adalah hal yang paling penting. Penyair atau pencipta puisi terkadang akan terus menyempurnakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam beberapa waktu lamanya. Seperti pada puisi Aku karya Chairil Anwar, di mana pada awalnya dia menggunakan diksi /dari kumpulan yang terbuang/ kemudian dirubah menjadi /dari kumpulannya terbuang/.

Dalam puisi Aku tersebut di atas terlihat bahwa gagasan yang ingin disampaikan oleh pencipta puisi lebih terlihat kuat. Diksi "yang" yang digantikan dengan diksi "nya" merupakan sebuah usaha pencipta puisi untuk membangkitkan imajinasi pembaca dengan lebih jelas. Si binatang jalang atau si aku lirik dalam puisi berjudul Aku tersebut bukan hanya dari sekumpulan orang terbuang, tetapi bahkan, dari kelompoknya sendiri ia sudah terbuang (Damayanti, 2013: 23).

Perhatikan dua contoh puisi Chairil Anwar di bawah ini yang sudah ada perubahan diksi. Yang satu, versi Kerikil Tajam. Yang kedua, versi Deru Campur Debu (Pradopo, 2012: 55).
Semangat

Kalau sampai waktuku
'Ku tahu tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!
….
      (Kerikil Tajam, h. 15)

Aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
….
      (Deru Campur Debu, h. 7)
Pada dua judul puisi di atas, satu kata yang terdapat dalam judulnya berubah diksi. Pertama, versi Kerikil Tajam, Semangat. Kedua, versi Deru Campur Debu, Aku. Menurut Pradopo (2012: 55), kata semangat itu mengandung arti perasaan yang menyala-nyala, terasa ada sifat yang propagandis, dan berlebih-lebihan. Sedangkan dalam KBBI terbaru (2008: 1258), kata semangat diartikan sebagai roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk, baik hidup maupun mati (menurut kepercayaan orang dulu dapat memberi kekuatan). Dalam kata aku terkandung perasaan yang menunjukkan kepribadian penyair pada semangat individualistisnya.
Kata Ku tahu menunjukkan perasaan pesimistis. Jika kata ini dideklamasikan, nadanya melankolik. Sedangkan kata Ku mau menunjukkan perasaan optimistik, kemauan pribadi yang kuat. Bertolak belakang dengan kata Ku tahu.


KESIMPULAN

Karakteristik bahasa puisi bisa diketahui dengan membedakan antara karya puisi dengan karya sastra yang lain. Diksi adalah alat utama untuk membedakan karya sastra itu sendiri. Jika diksi dalam puisi tidak ada, dalam arti tidak selaras, maka yang terjadi adalah ketiadaan nilai estetik dalam puisi tersebut. Kenapa demikian? Karena untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas supaya selaras dengan sarana komunikasi yang lain, maka pencipta puisi atau penyair harus memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya.

Penyair atau pencipta puisi, sehari-harinya, harus terbiasa membuka kamus dan tahu makna apa yang terkandung dalam puisi yang akan ia ciptakan. Jika sudah mengetahui, maka penyair atau pencipta puisi tentu bisa membedakan mana karya puisi dan mana yang bukan, dan juga bisa membedakan mana bahasa sehari-hari dan mana bahasa khas puisi.


DAFTAR PUSTAKA

Batubara, Bernard. Kumpulan Cerpen Milana: Perempuan yang Menunggu Senja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.

"Contoh Drama Bahasa Indonesia." http://ilmu-bermanfaat23.blogspot.com/2013/04/contoh-drama-bahasa-indonesia.html (akses 3 Juni 2014).

Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia: Puisi, Sajak, Syair, Pantun dan Majas. Yogyakarta: Araska, 2013.

Pinurbo, Joko. Kumpulan Puisi Jokpin 2006-2013. Tangerang Selatan: Azmo Press, 2013.

Mansyur, M Aan. Tokoh-tokoh yang Melawan Kita Dalam Satu Cerita. Jakarta Selatan: Motion Publishing, 2012.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Oktav, Herry. “Unsur-unsur Makna yang Terdapat di Dalam Puisi.” Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét), Tangerang Selatan, 2014.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Sugono, Dendy. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2003.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.


* Faliq Ayken, nama pena dari Moh. Faliqul Ishbah, alumnus Al-Inaaroh Buntet Pesantren Cirebon dan anggota istimewa FLAT, Foreign Languages Association, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Read more...

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In