Perempuan Abang

>> 30/04/14

Herry Oktav


Duduk termenung
perempuan berhati bingung
Bangkit berdiri
perempuan bermata kaki
Usaplah sudah kau air mata
Ingatlah abang, tarik bermuram durja

Langkah berjalan
perempuan berayun tangan
Lekas berlari
perempuan indah berperi
Kayuhlah cepat sampan kaupunya
Jadi empuan, istri sang raja

Akal berpikir
perempuan berkalung tabir
Cepat beraksi
perempuan berlesung pipi
Raihlah sudah kauemansipasi
Sambutlah abang, jika kaupunya hati


Ciputat, 26 April 2014

Read more...

Unsur-unsur Bentuk Puisi: Sarana Retorika, Larik, Bait, dan Tipografi

>> 28/04/14

Yuni Budiawati*


Unsur-unsur bentuk dalam puisi mengenai unsur bunyi, kata, bahasa kiasan/majas, citraan serta pengertian mengenai unsur puisi telah dijelaskan pada makalah sebelumnya (Primadeka, Makalah, 2014). Dan telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa unsur menurut KBBI (seperti dikutip Primadeka, Makalah, 2014)  adalah bagian terkecil dari suatu benda.

Pada makalah ini akan membahas mengenai unsur bentuk lainnya yang terdapat dalam puisi yaitu sarana retorika, larik, bait, dan tipografi. Untuk penjelasan lebih lanjut simak makalah di bawah ini.

UNSUR SARANA RETORIKA

Menurut Alternbernd (seperti dikutip Sukamti Suratidja, 1990: 241), bahasa puisi sebagai salah satu unsur dalam bangun struktur karya memiliki bagian-bagian antara lain: diksi, citraan, bahasa kiasan, dan sarana retorika.

Bahasa retorika merupakan bahasa kepuitisan berupa muslihat pikiran. Bahasa retorika ini banyak digunakan oleh para penyair dalam menciptakan sajaknya. Sebenarnya digunakan untuk membuat efisien bahasa namun terkadang kata-kata yang digunakan itu berkonotasi berlebihan dan penuh dengan kata yang muluk (WS, 2012: 115).

Menurut Pradopo (2012: 93), sarana retorika adalah jenis atau bentuk gaya dan cara tersendiri yang digunakan oleh pengarang dalam melahirkan pikirannya.

Jenis corak sarana atau bahasa retorika tiap penyair itu ditentukan sesuai dengan gaya sajaknya, alirannya, paham serta konvesi dan konsepsi estetikanya begitu juga yang membedakan bahasa retorika yang digunakan tiap periode. Sehingga yang paling dominan dalam penggunaan sarana retorika adalah tautologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, paralelisme, dan enumerasi (penjumlahan). Sarana retorika yang sering digunakan Pujangga Baru adalah tauotologi, pleonasme, keseimbangan, retorik retisense, pararelisme, dan enumerasi, karena sesuai dengan konsepsi estetika yang menghendaki keseimbangan simetris dan juga aliran romantik yang penuh curahan perasaan (Pradopo, 2012: 94). Sedangkan sarana retorika yang tidak banyak digunakan dalam puisi-puisi Pujangga Baru, di antaranya: paradoks, hiperbola, pertanyaan retorik, klimaks, dan kiasmus (Ryuliana, https://ryuliana111.wordpress.com/tag/ringkasan-buku-pengkajian-puisi/, akses 2 April 2014).

Angkatan 45, sesuai dengan aliran realisme dan ekspresionisme banyak dipergunakan sarana retorika yang bertujuan intensitas dan ekspresivitas. Maka sarana retorika yang sering mereka gunakan adalah hiperbola, litotes, tautologi, dan penjumlahan (Pradopo, 2012: 94).
 
Sarana retorika yang banyak digunakan penyair (Susanto, http://bagawanabiyasa.wordpress.com/2010/10/24/majas-atau-gaya-bahasa/, akses 5 April 2014):
  1. Tautologi
    Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan dua kali dalam satu kalimat, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Dan terkadang kata yang digunakan bersinonim.

    Contoh:
    Bukan, bukan, bukan itu maksudnya saya hanya ingin membersihkan bahumu.

    Dalam kalimat tersebut ada pengulangan kata bukan tiga kali, di mana si penyair ingin menekankan pada si pembaca supaya tidak salah paham.

    Contoh:
    Kita Sang Pecinta

    Kita di atas bumi yang sama
    Hanya jiwa menolak hidup
    Kita di bawah langit yang sama
    Hanya tangan tak jua gapai

    Aku menari ikuti angan
    Susuri sungai bawa jernih kehidupan
    Lalu berdiri di perbatasan
    Menghadang, menantang, melawan
    ... dst.
                                 (Yuni Budiawati, Puisi Matahari: 2014)
    Dalam puisi tersebut pada bait kedua larik keempat, dua kata yang digarisbawahi tersebut merupakan penggambaran yang sama dan bersinonim, dengan maksud si penyair untuk penegasan pada isi puisi tersebut.
  2. Pleonasme
    Sarana retorika yang sepintas seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Menambahkan kata yang sebenarnya telah jelas atau tidak diperlukan.

    Contoh:
    Semua murid yang di atas saat malam turun ke bawah untuk makan malam.

    Pada kalimat tersebut ada keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan karena sudah jelas seperti turun ke bawah.
  3. Enumerasi (Penjumlahan)
    Sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar.

    Contoh I:
    Hampa

    Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
    Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
    Sampai ke puncak. Sepi memagut,
    Tak satu kuasa melepas-renggut
    Segala menanti. Menanti. Menanti
    Sepi 
    ... dst
                              (Chairil Anwar, Deru Campur Debu: 1951)
    Contoh II:
    Angin semilir perlahan, langit biru terlihat ringan, lazuardi cerah nila kandi, bulan pun bersinar kembali, sedang aku, cuma duduk sambil melamun. Memikirkan jantung hati, yang entah ke mana tak tahu rimbanya.
    Dalam puisi dan kalimat di atas menunjukkan gambaran suatu situasi di mana penggambaran keadaan tersebut dijelaskan secara berurutan sehingga memperjelas pembaca atas situasi yang digambarkan oleh sang penyair.
  4. Retorika Retisense
    Sarana ini mempergunakan titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan.

    Contoh:
    Katanya Jendela

    Matanya tak bisa disembunyikan
    Terus tatap, lirik tetap
    Meneropong rupa ragamu
    Lewat jendela yang katanya bisa menelanjangimu

    Tiupanku ingin merayunya
    Debu coba merasukinya
    Ia bagai beringin yang katanya kuat diterpa angin
    Kokoh dan yakin

    Katanya, ia selalu memujimu
    Katanya, kaukebanggaannya
    Katanya, kau itu bla bla bla bla
    Kau itu ..., katanya
    ... dst
                              (Herry Oktav, Puisi Jendela: 2014)
    Dalam puisi di atas pada larik terakhir di bait ketiga "Kau itu..., katanya" dalam larik tersebut menunjukkan retorika retisense yang berarti si penyair memiliki perasaan yang tak terungkapkan dalam larik tersebut sehingga menggunakan titik-titik.
  5. Paralelisme
    Mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului.

    Paralelisme adalah pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa yang sejajar. Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat pada puisi. Bila kata yang diulang pada awal kalimat dinamakan anaphora, dan bila terdapat pada akhir kalimat dinamakan epiphora.

    Contoh:
    Hujan

    ...
    Kadang kaubawa musibah
    Kadang kaubawa berkah
    Kadang kaukirim suka
    Atau kautinggalkan duka
    ... dst.
                 (Herry Oktav, Puisi Hujan: 2014)
    Dalam larik pertama dan kedua ada dua kalimat yang sama, namun kata di larik kedua terdapat kata yang berbeda untuk menegaskan larik pertama.
  6. Paradoks
    Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya tidak bila sungguh-sungguh dipikir atau dirasakan.

    Contoh I:
    Betapa banyak orang yang dalam kesendiriannya merasa kesepian di kota sehiruk-pikuk Jakarta.

    Contoh II:
    Ah... Jaman Sekarang

    Di sudut kota anak muda bergerombol dan kongko-kongko
    Dandan menor ala tante hebring padahal bocah
    Tato sana tindik sini
    Keren katanya, padahal sekujur tubuh sakit minta ampun 
    Jagoan katanya, padahal sekali jotos langsung keleper
    Ah... jaman sekarang
    ... dst.
                                   (Yuni Budiawati, Puisi Penjajahan: 2014)
    Dalam kalimat dan juga puisi di atas terdapat beberapa keadaan yang mengandung pertentangan dengan kalimat sebelumnya, seperti pada contoh pertama banyak orang merasa kesepian di tengah hiruk pikuk Jakarta, kemudian di contoh kedua pada larik kedua, keempat dan kelima menggambarkan orang yang berdandan seperti orang dewasa padahal dirinya anak kecil, dan juga menggambarkan orang yang memakai tato dan tindik di tubuhnya menandakan dia orang yang keren padahal sekujur tubuhnya sakit atau yang merasa dirinya jagoan padahal saat ada yang memukulnya dia langsung pingsan.
  7. Hiperbola
    Hiperbola adalah sarana retorika yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan atau gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya.

    Contoh:
    Sajak Kopi

    Kita sudah sepakat berdua
    untuk menyeduh kopi dalam gelas yang sama
    gelas putih polos tak bermotif
    yang kita pilih saat berbelanja di pasar sana

    Saat itu penjualnya berkata, "Tuan, gelas ini bukan sembarang gelas.
    Gelas ini dibuat dengan sejuta rasa."
    Kita berdua mengangguk tunduk
    Diam dalam keyakinan yang dalam, percaya
    ... dst.
                                              (Oky Primadeka, Puisi Kopi: 2014)
    Dalam puisi tersebut pada larik kedua di bait kedua, ada kalimat Gelas ini dibuat dengan sejuta rasa. Larik tersebut mengandung majas hiperbola dengan menggunakan kata sejuta rasa yang menunjukan hal yang berlebihan.
  8. Pertanyaan Retorik
    Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut. Gaya bahasa penegasan ini menggunakan kalimat tanya-tak-bertanya. Sering menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek.

    Contoh:
    Cermin Mimi Aya

    Apa kabarmu, sayang, masihkah kauingat nasihatku
    waktu kutitipkan cermin kesayanganku padamu?
    Bagaimana rasanya becermin?
    Apakah kau telah mengetahui dirimu sendiri,
    saat cermin itu tiba-tiba retak saat kautatap?
    ... dst.
                                (Faliq Ayken, Puisi Cermin: 2014)
    Dalam bait puisi tersebut ada beberapa pertanyaan yang dikemukakan, namun pertanyaan tersebut tidaklah membutuhkan jawaban hanya membuat pembaca berpikir atau merenungi makna di balik pertanyaan itu.
  9. Klimaks
    Klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung penekanan pada kalimat-kalimat selanjutnya, sehingga maksud yang dituju dapat disimpulkan pada kalimat terakhir. Contoh (http://tribute-to-wiji-thukul.blogspot.com/2012/03/sukmaku-merdeka-puisi-puisi-wiji-thukul.html, akses 7 April 2014):
    Sukmaku Merdeka
    Wiji Thukul

    Tidak tergantung kepada Departemen Tenaga Kerja
    Semakin hari semakin nyata nasib di tanganku
    Tidak diubah oleh siapapun
    Tidak juga akan dirubah oleh Tuhan Pemilik Surga
    Apakah ini menyakitkan? entahlah!
    Aku tak menyumpahi rahim ibuku lagi
    Sebab pasti malam tidak akan berubah menjadi pagi
    Hanya dengan memaki-maki

    Waktu yang diisi keluh akan berisi keluh
    Waktu yang berkeringat karena kerja akan melahirkan
    Serdadu-serdadu kebijaksanaan
    Biar perang meletus kapan saja
    Itu bukan apa-apa
    Masalah nomer satu adalah hari ini
    Jangan mati sebelum dimampus takdir

    Sebelum malam mengucap selamat malam
    Sebelum kubur mengucapkan selamat datang
    Aku mengucap kepada hidup yang jelata
    M E R D E K A ! !
    Dalam puisi tersebut, mengandung klimaks di akhir larik pada bait terakhir dengan kata merdeka yang ditulis kapital seluruhnya dan dengan tanda seru dua kali.
  10. Antiklimaks
    Antiklimaks merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas intensitas. Gaya bahasa ini dimulai dari puncak makin lama makin ke bawah. Dengan demikian, antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berurutan semakin lama semakin menurun. Contoh (http://macapat.wordpress.com/2006/06/05/hujan-bulan-juni-sapardi-djoko-damono/, akses 7 April 2014):
    Hujan Bulan Juni
    Sapardi Djoko Damono

    tak ada yang lebih tabah
    dari hujan bulan Juni
    dirahasiakannya rintik rindunya
    kepada pohon berbunga itu

    tak ada yang lebih bijak
    dari hujan bulan Juni
    dihapusnya jejak-jejak kakinya
    yang ragu-ragu di jalan itu

    tak ada yang lebih arif
    dari hujan bulan Juni
    dibiarkannya yang tak terucapkan
    diserap akar pohon bunga itu
    Inti dari puisi Damono adalah menggambarkan hujan di bulan Juni, sedangkan larik-larik selanjutnya adalah tambahan keterangan untuk penggambaran hujan bulan Juni.
  11. Kiasmus
    Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisi perulangan dan sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Majas kiasmus merupakan bentuk majas perulangan yang isinya mengulang atau repetisi sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat (Ducrot dan Todorov, 1981: 277).

    Contoh:
    Yang kaya merasa dirinya miskin, sedang yang miskin mengaku dirinya kaya. Sudah biasa dalam kehidupan sehari-hari, orang pandai ingin disebut bodoh, namun banyak orang bodoh mengaku pandai. Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.

    Dalam kalimat yang diberi garis bawah di atas merupakan contoh gaya bahasa kiasmus, yaitu kata miskin-kaya dan kata bodoh-pandai.
UNSUR LARIK

Larik atau baris adalah kalimat yang terdapat dalam puisi (Sugianto, http://sugikmaut.blog.com/?p=12, akses 2 April 2014). Sedangkan larik memiliki pengertian yang berbeda dengan kalimat dalam prosa, larik bisa hanya berupa satu kata saja, bisa frasa, bisa pula seperti sebuah kalimat. Dalam puisi lama jumlah larik dalam tiap baitnya empat buah, namun di dalam puisi baru atau kontemporer jumlah larik dalam setiap bait tidak ditentukan (Intama, http://riniintama.wordpress.com/unsur-unsur-puisi/, akses 2 April 2014). Dalam puisi lama tiap larik terdapat 8-12 suku kata.

Terkadang banyak yang menyamakan antara larik dan kalimat, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa tidak semua larik berupa kalimat tapi ada beberapa perbedaan di antara keduanya, yaitu seperti kutipan di bawah ini (Andik, http://andikws.blogspot.com/2011/08/puisi.html#more, akses 2 April 2014):
  • Kalimat selalu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!), dan di dalamnya juga disertakan tanda baca yang lain seperti tanda koma (,), titik dua (:), tanda pisah (-) dan spasi (Hasan dkk, 2003: 311). Sedangkan larik tidak harus selalu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik.
  • Kalimat harus mengandung unsur subjek, predikat, keterangan, objek atau kata pelengkap, kalau tidak memiliki unsur subjek dan unsur predikat maka pernyataan itu bukanlah kalimat (Zaenal dan Amran, 2009: 66). Larik tidak harus menggunakan unsur subjek predikat dan sebagainya, terkadang hanya mencakup keterangan atau predikat saja.
  • Dalam satu kalimat biasanya memiliki satu maksud, sedangkan dalam satu larik terkadang memiliki makna yang lebih dari satu.
Contoh larik dalam puisi lama (http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi, akses 5 Februari 2014), seperti pantun di bawah ini:
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati
Contoh larik dalam puisi baru (http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi, akses 5 Februari 2014):
Aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi
di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan,
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
(WS Rendra)
Larik atau baris pada puisi juga merupakan wadah untuk menyatukan makna dan ide penyair dalam puisinya. Sehingga antara larik yang satu dengan yang lain saling berkaitan dan memiliki makna yang saling melengkapi.

UNSUR BAIT

Bait merupakan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna antara larik-larik (http://riniintama.wordpress.com/unsur-unsur-puisi/,  akses 2 April 2014).

Seperti halnya larik, banyak yang salah mengartikan pula bahwa bait sama dengan paragraf, padahal banyak perbedaan di antara keduanya. Paragraf adalah kumpulan dari beberapa kalimat yang isinya bisa langsung dipahami tanpa perlu adanya penafsiran lagi, sedangkan kumpulan beberapa larik dalam satu bait tidak dapat dipahami begitu saja maknanya perlu ada penafsiran lebih lanjut untuk mendapatkan makna dalam satu bait tersebut (Andik, http://andikws.blogspot.com/2011/08/puisi.html#more, akses 2 April 2014). Dan setiap orang yang membaca bait tersebut mungkin saja memiliki pemahaman yang berbeda dengan orang lain. Dalam satu bait pun tidak selalu terdiri dari beberapa larik, ada beberapa puisi yang dalam satu bait hanya ada satu larik puisi, seperti puisi Subagio Sastrowardoyo yang berjudul Kampung, dalam puisi tersebut ada 7 bait di mana pada bait ke-6 hanya terdapat satu larik saja. Contoh dapat dilihat di bawah ini (http://mainsastra.blogspot.com/2012/03/kumpulan-puisi-subagio-sastrowardoyo.html, akses 7 April 2014):
Kampung
Subagio Sastrowardoyo

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.

Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.

Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.

Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.

Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
UNSUR TIPOGRAFI

Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada makalah Oktav (2014: 5) Tipografi atau tata wajah juga termasuk sarana dalam struktur fisik puisi. Di mana menurut Waluyo (seperti dikutip Oktav, 2014: 5), tipografi digunakan sebagai proses dalam peletakan atau pengelompokan huruf pada sajak, seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Banyak penyair yang mementingkan tata wajah, bahkan berusaha menciptakan puisi seperti gambar yang mewakili maksud tertentu. Seperti yang dikemukaan oleh Suharianto (1981: 37) (dikutip Subekti, http://odazzander.blogspot.com/2011/09/unsur-unsur-puisi.html, akses 4 April 2014), bahwa tipografi adalah ukiran bentuk yaitu susunan baris-baris atau bait-bait suatu puisi. Secara harfiah tipografi berarti seni mencetak dengan desain khusus, susunan atau rupa (penampilan) barang cetak. Menurut Winkler (dalam Badrun 1989: 87) tipografi lebih kepada bentuk yaitu susunan atau rupa. Dalam hal ini tipografi diartikan sebagai ukiran bentuk.

Jabrohim dkk (2003: 54) mengemukakan bahwa tipografi merupakan pembeda antara puisi dengan prosa fiksi dan drama. Baris-baris puisi tidak diawali dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan. Tapi sebelah kiri maupun kanan sebuah baris puisi tidak harus dipenuhi oleh tulisan, tidak seperti halnya jika kita menulis prosa (Subekti, http://odazzander.blogspot.com/2011/09/unsur-unsur-puisi.html, akses 4 April 2014).

Contoh puisi yang menggunakan unsur tipografi dengan pengaturan barisnya (seperti dikutip Ayken, Makalah: 2014):
RI Satu

kepala                                        kepala
             kepala    kepala   kepala
kepala           kepala kepala        kepala
            kepala      kepala     kepala
                   kepala     kepala
kepala  kepala   kepala   kepala  kepala
           kepalakepalakepalakepala
                     kepalakepala
                       BANYAK

                           tapi
                          cuma
                           satu
                         kepala
                     paling kepala
                                             1978
                                             (Sylado, 2004: 120)
Contoh tipografi dengan pengaturan tepi kiri dan kanan serta tidak diawali dengan huruf kapital (Waluyo, 2002: 15):
Doktorandus Tikus I

selusin toga
                me
                          nga
                                      nga
seratus tikus berkampus
                                di atasnya
                dosen dijerat
profesor diracun
                kucing
                        kawin
                               dan bunting
dengan predikat
        sangat memuaskan
                                         (Soempah WTS, 1984)
KESIMPULAN

Dalam puisi ada beberapa unsur yang terkandung di dalamnya seperti sarana retorika yang digunakan oleh para penyair dalam menentukan kata ataupun bahasa yang mengandung makna konotasi yang bertujuan untuk membuat kata-katanya lebih puitis. Kemudian ada juga larik dan bait yang merupakan bagian dari puisi. Kemudian ada juga pewajahan dalam puisi atau biasa disebut dengan tipografi. Di mana tipografi biasanya digunakan oleh para penyair kontemporer untuk menggambarkan makna puisi dengan susunan baris dan juga bait puisinya yang terkadang membentuk makna dari puisi tersebut.

Unsur-unsur puisi sangat berpengaruh terhadap isi dari puisi tersebut dan juga dapat membedakan ciri puisi apakah itu puisi lama, puisi baru ataupun puisi modern. Dan juga unsur bentuk puisi ini dapat digunakan oleh para penyair dalam menyampaikan makna dari puisinya dan juga dapat menggambarkan ciri khas atau identitas puisi dari setiap penyair.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, et.al.. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Aminuddin. "Cara Menulis Puisi: Baris, Larik, dan Bait." http://www.aminudin.com/2013/01/tips-menulis-puisi-3.html (akses 5 April 2014).

Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia; untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo, 2009.

Intama Rini. "Unsur-unsur Puisi." http://riniintama.wordpress.com/unsur-unsur-puisi/  (akses, 2 April 2014).

Oktav, Herry. "Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Strukturnya; Puisi Terikat, Puisi Bebas, dan Puisi Inkonvensional." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét, Tangerang Selatan, 2014.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Primadeka, Oky. "Unsur-unsur Bentuk Puisi: Bunyi, Kata, Bahasa Kiasan/Majas dan Citraan." Makalah disampaikan pada Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét, Tangerang Selatan, 2014.

"Puisi." http://id.wikipedia.org/wiki/Puisi (akses 5 Februari 2014).

Subekti, Mukodas Arif. "Unsur-unsur Puisi." http://odazzander.blogspot.com/2011/09/unsur-unsur-puisi.html (akses 4 April 2014).

Sugianto. "Puisi." http://sugikmaut.blog.com/ ( akses 2 April 2014).

Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Nusantara: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

WS, Andik. "Puisi." http://andikws.blogspot.com/2011/08/puisi.html#more (akses 2 April 2014).

WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.


* Yuni Budiawati, mahasiswi Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat FLAT, Foreign Languages Association.

Read more...

Seorang Lelaki Penuh Ambisi

>> 27/04/14

Faliq Ayken


Seorang lelaki penuh ambisi
Meninggalkan kampung halaman
Hijrah ke kampung orang, kampung ulama
Mengambil ilmu sebanyak mungkin darinya

Seorang lelaki penuh ambisi
Setiap hari berkutat pada kata-kata
Mengejar waktu agar tak tertinggal
Kala tertinggal, ia akan ditanggalkan
Meninggal dalam kesendirian

Seorang lelaki penuh ambisi
Setiap malam datang menemui Kekasihnya
Dalam ruang penuh cahaya, ia menyendiri di pojok jendela
Mulutnya komat-kamit mengantarkan mantra tolak bala

Seorang lelaki penuh ambisi
Mulutnya masih komat-kamit
Kali ini bukan untuk tolak bala,
tapi untuk setoran nazam-nazam alfiya

Seorang lelaki penuh ambisi
Pulang kampung setelah sekian tahun
Memboyong ilmu-ilmu yang didapat dari kampung orang
Menaruhnya di kamar tidur, rak buku, dan meja makan

Seorang lelaki penuh ambisi
Mengabdikan dirinya untuk masyarakat kampung halamannya
"Ilmuku lebih dalam dari tokoh ulama di sini. Maka dari itulah
aku boleh mengkritik apapun untuk kemajuan masyarakat kita."

Seorang lelaki penuh ambisi
Bingung dan ketakutan, ia tak punya ladang untuk menanam
Ia berakal, menanam pohon-pohon di ladang orang,
tanpa permisi ia terus mencari solusi
"Bagaimanapun aku harus berkembang,
waktuku akan habis dan tubuhku akan layu,
kalau aku mengalah pada guruku sendiri,"
ujar seorang lelaki penuh ambisi dalam hati

"Tenang saja, aku punya banyak dalil-dalil."


Pondok Petir,
Minggu, 20 April 2014

Read more...

Demi Waktu

>> 26/04/14

Yuni Budiawati


Demi waktu

Sesal seorang bocah yang bangun kesiangan saat hari Minggu
Hingga dia ketinggalan nonton kartun favoritnya
           Sesal seorang murid karena dia bermain game semalaman
           Dan esoknya sang guru memberikan ulangan dadakan
Sesal seorang gadis remaja yang kebablasan saat pacaran
Sekarang dia menanggung malu karena perutnya membuncit
           Sesal seorang pecandu yang tak bisa menahan nafsu
           Kini dia mengerang melawan kematian

Demi waktu

Sesal seorang ayah yang sibuk dengan pekerjaan
Saat istrinya selingkuh dan anaknya jadi preman
            Sesal seorang ibu yang berkata, “Ibu tak suka punya anak nakal!”
            Saat anaknya tidak nakal lagi karena sudah benar-benar pergi
Sesal seorang anak pada orang tuanya
Saat orang tuanya mulai renta dan meninggalkan dirinya

Demi waktu

Sesal seorang masinis mengapa dia tidak mengerem 10 menit yang lalu
Sebelum kecelakaan itu menghancurkan semuanya
            Sesal seorang pelari kenapa dia tak bisa lebih cepat
            Setelah dia tahu hanya berbeda selisih 4 detik dengan pesaingnya

Demi waktu

Mereka berteriak, “Tuhan putar kembali waktu! Aku berjanji akan lebih baik!”
Tapi sayang, waktu tak bisa bergerak mundur
Sudahlah... simpan saja sesalmu dan berubahlah
Semoga esok lebih baik


Ciputat,
Sabtu, 19 April 2014

Read more...

Hilang Diculik Waktu

>> 25/04/14

Herry Oktav


Aku teringat satu kata, KAWAN
Lama menghilang bersama ingatan yang membawa teriakan
saat barikade keamanan halangi semangat kawan-kawannya
Memimpin barisan dengan setonggak gelora,
berkobar dan membara

Berdalih perjuangkan nasib rakyat
Perjuangan melawan penindasan
Belum jelas siapa tertindas, siapa menindas
Satu kata yang jelas
KAWAN

Tak boyak, otaknya diisi ribuan kata
Mampu tuangkan banyak frasa dan klausa
Sanggup ia lontarkan ragam retorika dalam lembar-lembar propaganda

KAWAN
Waktu itu adalah harimu menolak
Tolak kebijakan pemerintah yang tak kaupihak

"Ingat saudara! Kebijakan pemerintah ini sungguh mencekik, menyengsarakan rakyat.
Lawan kapitalisme, imperialisme model baru, dan antek-antek feodalisme,"
teriakmu dalam ingatan

KAWAN
Terakhir kuingat hanya lembar koran yang memasang gambarmu bertuliskan,
"Hilang diculik waktu."


Ciputat,
Minggu, 20 April 2014

Read more...

Demam Rindu

>> 24/04/14

Oky Primadeka


                    Buat Rinrin Sri Annisa

Biarkan waktu yang 'kan menjawab
Semua teka-teki keraguan kita
Sebab yakin bukan soal memaksa.
Adakah cinta yang ingin terlantar?
Adakah cinta yang ingin sendiri
Ketika sepi menegaskan diri?

Aku mendemamkanmu dalam rindu
Di tiap guguran malam yang memaksa pagi menimang fajar
Isak tangis hangatnya membuat tanah, air, dan udara pasrah.
Kautahu, aku menanam namamu di kebun pikiranku setahun lalu
Saat aku belum tahu betul cara menghafal sebuah nama dengan baik.
Kini, ia telah menjelma perdu rambati tubuhku seluruh.
Dan kautahu, sama sekali aku tak ingin lepas dari jeratnya, selamanya.


Ciputat,
Kamis, 17 April 2014

Read more...

Bingkai Senja*

>> 23/04/14

Yuni Budiawati


Jingga merebak indah selimuti langit
Langit yang sama, seperti saat itu
Hanya saja keadaan yang berbeda

Senja itu
Aku menatap jendelamu dari jendelaku
Kini jendela kamarmu selalu tertutup
Aku tak bisa menatapmu
Aku juga tak bisa lagi melempari jendelamu dengan kerikil
Kerikil yang sudah kupersiapkan di meja belajarku

Hampir setiap malam
Kudengar deru motormu melewati rumahku
Mungkin untuk mengantarkan gadis itu pulang
Aku tak tahu sejak kapan kalian punya jadwal bersama
Ah... mungkin sejak 'Malam itu'**
Saat kaumemberikannya amplop biru
Lalu kaubersiul sepanjang jalan setelah menemuinya

Maaf, aku tak penuhi ajakan traktiranmu
Bukan, bukan lupa, aku hanya tak ingin jumpa denganmu
Aku menyesal, tapi sudahlah... mungkin kau juga lupa dengan janjimu

Jingga mulai redup
Aku rindu lukisan senja yang menampakkan dirimu indah dalam bingkai

Kau itu Mahakarya Sang Pencipta
Kau itu seni
Lukisan dalam bingkai senjaku

Aku rindu melempari jendela kamarmu
Sekarang, kerikil itu masih menumpuk di meja belajarku

Aku sangat merindukanmu
Meski, aku hanya sebatas tetangga baru bagimu

Senja telah usai, langit berubah gelap
Kututup jendela kamarku sambil terus berharap jendela kamarmu akan terbuka
"Kapan kaumau mentraktirku?" kataku lewat pesan singkat
Apakah janjimu masih kausimpan?
Aku tak tahu


Ciputat,
Sabtu, 19 April 2014

* Lanjutan puisi 'Lewat Jendela', sudut pandang yang sama. Minggu, 9 Februari 2014.
** Lihat puisi 'Malam Itu'. Minggu, 6 April 2014.

Read more...

Unsur-unsur Bentuk Puisi: Bunyi, Kata, Bahasa Kiasan/Majas, dan Citraan

>> 21/04/14

Oky Primadeka*


ABSTRAK

Puisi adalah sebuah dunia (WS, 2012: 27-28). Oleh karena itu, puisi mengandung beberapa unsur yang membentuknya menjadi bagian-bagian tubuh puisi itu sendiri. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang dirasa cukup kepada para penyuka puisi, agar dapat mengapresiasi puisi seutuhnya, memiliki dasar-dasar objek penilaian (berdasarkan unsur-unsur bentuk puisi). Selain itu, penting juga bagi para penyair dengan memahami unsur-unsur puisi agar dapat mencipta puisi yang berkarakter. Akan dijelaskan unsur-unsur pembentuk puisi yang di antaranya: unsur bunyi, unsur kata, unsur bahasa kiasan/majas, dan unsur citraan. Unsur bunyi, terdiri dari irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, dan anafora epifora. Unsur kata terdiri dari diksi dan interpretasinya. Unsur bahasa kiasan/majas terdiri dari majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas penegasan/perulangan. Dan terakhir, unsur citraan terdiri dari citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan penciuman (smell imagery), citraan rasaan (tactile imagery), dan citraan gerak (kinaesthetic imagery).

UNSUR BUNYI

Bunyi adalah sesuatu yang terdengar (Depdiknas, 2007: 179). Maka, jika suatu puisi dibacakan, apa yang didengar itulah yang disebut bunyi. Di dalam tubuh puisi, bunyi paling sedikit mempunyai dua peranan. Pertama yaitu untuk memberikan makna. Maksudnya, karena hakikat bahasa puisi adalah bunyi (WS, 2012: 37). Bunyi yang mengikuti konvensi/kesepakatan bahasa memiliki makna. Kedua adalah bunyi berfungsi memberikan nilai estetis pada puisi. Dengan susunan bunyi tertentu, penikmat puisi bisa terbawa kepada suasana tertentu.
Contoh:
HANYA ‘NAK TAHU BAHWA TAK TAHU

Selangkah maju ke padang ilmu
Seribu kali bertambah dungu
Habislah rambut mencari ilmu
Hanya ‘nak tahu bahwa tak tahu
                                   (Samadi, Pujangga Baru: 293)

Pada puisi di atas, karya Samadi, seorang penyair kelahiran Sumatera Barat yang termasuk ke dalam Angkatan Pujangga Baru, dapat kita lihat keindahan persamaan bunyi pada akhir suku kata terakhir tiap lariknya yang konstan berbunyi –u. Selain itu, bunyi –u pada puisi ini membawa penikmatnya ke dalam suasana haru. Hal ini karena sang penulis sendiri yang dengan rendah hati mengakui ketidaktahuannya saat ia justru sedang terus giat menuntut ilmu. Nah, lewat kedua peranan inilah bunyi menjadi unsur penting pada tubuh puisi. Bunyi dalam puisi beragam jenisnya. Di antaranya: irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, anafora dan epifora.
  1. Irama
    Merujuk KBBI Edisi Ketiga (Depdiknas, 2007: 442), irama adalah alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan, dan tinggi rendahnya nada (dalam puisi). Masih selaras dengan pengertian sebelumnya, menurut Hasanuddin WS (2012: 45), bicara soal irama erat kaitannya dengan musik. Irama merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Menurut berbagai pendapat, irama terbagi dua yaitu ritme dan metrum. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menggema dendang penyair, sedangkan metrum adalah irama tetap yang terpola menurut pola tertentu (Semi, 1984: 109). Untuk mengetahui metrum, lihatlah kutipan pantun di bawah ini.
    (I)    PANTUN

    Kupaskan terung dengan mumbung
    letak rebung dalam kuali
    Lepaskan burung hendak terbang
    kala untung baik kembali
    Pada pantun di atas, metrum terlihat pada setiap kata kedua tiap lariknya. Sedangkan, ritme bisa kita lihat pada kutipan puisi di bawah ini.
    BERI DAKU SUMBA

                                        Di Uzbekistan ada padang terbuka dan berdebu
                                        Aneh, aku jadi ingat pada Umbu

    Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang
    Di mana matahari membusur api di atas sana
    Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
    Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga...

                                                    (Taufiq Ismail, Laut Biru Langit Biru: 404)
    Pada puisi di atas, dapat kita lihat ada pengulangan kata rindu. Selain itu ada juga pengulangan kata padang. Penggunaan-penggunaan ini digunakan untuk menciptakan ritme.
  2. Kakafoni dan Efoni
    Mengutip Zulinarti (http://eci-muachpinky.blogspot.com/2012/04/bunyi-dalam-puisi-karya-sutardji.html, akses 12 April 2014), kakafoni dan efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkaikan di dalam puisi dapat menimbulkan kesan cerah atau sebaliknya, kesan buram. Pradopo (Seperti dikutip Zulinarti, 2007: 27) menyatakan bahwa kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu biasanya disebut Efoni. Sedangkan kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh bunyi k, p, t, s, ini disebut Kakafoni. Kakafoni ini cocok dan dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serta tak teratur bahkan memuakkan.
    surat wasiat singkat

    di surat wasiat,
    kalimat singkat yang kau catat
    telah tiba padaku sebagai kalimat cacat
    sebagaimana semua kalimatmu yang aku ingat

    meminta obat,
    meminta dirawat

    aku tetap mencintaimu,
    kau tepat mencintaiku?

    aku tahu kau ragu sangat
    meletakkan tanda tanya di akhir kalimat.

                                (mam, 2012: 119)
    Pada puisi di atas, kesan lengkap yang didapat adalah kesan buram. Hal ini sangat terlihat jelas pada penggunaan pernyataan ketidakpuasan pada akhir larik bait terakhir. Juga penggunaan bunyi konsonan t secara dominan di akhir kalimat.

    Kemudian mari kita juga nikmati satu puisi di bawah ini.
    DUEL
    Ayo, buku, baca mataku!
                                    (Joko Pinurbo, 2007)
    Meski puisi di atas hanya terdiri dari satu larik, kita justru lebih mudah menangkap kesan lengkapnya yaitu kesan cerah. Pada puisi tersebut, Joko Pinurbo (Jokpin) berada dalam suasana penuh gairah, menantang.
  3. Onomatope
    Onomatope adalah kata tiruan bunyi (Depdiknas, 2007: 799). Contoh  onomatope di antaranya: desis untuk ular, ringkik untuk kuda, lolong untuk anjing, dentam untuk meriam, desau untuk daun, gemercik untuk air, dan lain-lain. Tiruan bunyi ini bisa berasal dari hewan, benda mati, tumbuhan, orang, dan lain-lain yang memungkinkan untuk dibuat tiruan bunyinya. Fungsi onomatope ini adalah untuk mengkonkretkan suasana menjadi lebih lugas (WS, 2012: 58). Contoh:
    LANGKAHMU AYAH

    Tap tap
    Langkah itu buatku berlari ke depan pintu
    Bukan untuk sebungkus permen atau sekotak kue
    Bukan untuk rengekan tambahan jajan
    Tapi sebuah pelukan hangat dan kebahagiaan
    Dari lengkung senyumnya yang letih menawan
        ...dst.
                                          (Yuni Budiawati, 2014)
    Pada puisi di atas, kata tap-tap adalah onomatope dari suara pijakan sepatu. Bisa kita rasakan, bahwa dengan menggunakan tap-tap, suasana pijakan sepatu lugas terasa daripada hanya disebutkan terdengar suara sepatu.
  4. Aliterasi
    Aliterasi adalah sajak awal untuk mendapatkan kesedapan bunyi (Depdiknas, 2007: 31). Barangkali yang dimaksud sajak di sini adalah bunyi awal yang digunakan secara berulang-ulang. Adapun bunyi yang diulang-ulang adalah bunyi konsonan. Contoh:
    SEPISAUPI

    Sepisau luka sepisau duri
    Sepikul dosa sepukau sepi
    Sepisau duka serisau diri
    Sepisau sepi sepisau nyanyi

    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisapanya sepikau sepi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepikul diri keranjang duri

    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sampai pisau-Nya kedalam nyanyi

         (Sutardji Calzoum Bachri)
    Pada puisi di atas, Sutardji menggunakan pengulangan bunyi /s/ secara dominan pada awal kata tiap lariknya. Akibatnya, muncul suasana dominan yang menjadi jalan pembaca dan puisinya untuk menyatu.
  5. Asonansi
    Asonansi tidak jauh berbeda dengan aliterasi, yaitu pemanfaatan bunyi dengan cara mengulang-ulang. Perbedaanya yaitu bahwa bunyi ulangan yang digunakan pada asonansi adalah bunyi vokal yang bertujuan untuk menciptakan kemerduaan bunyi. Contoh:
    CINTAKU JAUH DI PULAU

    Cintaku jauh di pulau
    Gadis manis sekarang iseng sendiri.

    Perahu lancar, bulan memancar,
    Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
    ...dst.

                               (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 59)
    Pada puisi di atas, terlihat bahwa Chairil menggunakan pengulangan bunyi asonansi /a/ dan /u/ pada larik pertama bait pertama. Kemudian bunyi /a/ pada larik pertama bait kedua. Hal yang perlu diingat, tidak semua pengulangan bunyi vokal bisa disebut asonansi apabila penggunaanya belum terkategorikan dominan.
  6. Anafora dan Epifora
    Anafora dan epifora adalah cara memanfaatkan pengulangan bunyi kata pada awal larik sajak untuk anafora, dan akhir sajak untuk epifora. Contoh:
    SURAT KAU

    Kau tak ada di kakiku
    ketika aku membutuhkan langkahmu
    untuk merambah rantauku.

    Kau tak ada di tanganku
    ketika aku membutuhkan jarimu
    untuk menggubah gundahku.

    Kau tak ada di sarungku
    ketika aku membutuhkan jingkrungmu
    untuk meringkus dinginku.
    ...dst.                           
                                         (Joko Pinurbo, 2013)
    Demikianlah uraian singkat mengenai unsur bunyi pada puisi. Sekali lagi, bunyi ada pada tubuh puisi untuk menjalankan perannya, yaitu memberi makna dan memberi nilai estetik pada puisi. Untuk meramu bunyi pada puisi, seorang penyair harus jeli dan tekun. Jeli karena salah bunyi bisa menghilangkan keestetikaan puisi, sedangkan tekun karena prosesnya cukup memakan waktu.
UNSUR KATA

Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan (Depdiknas, 2007: 513). Dalam puisi, kata bisa diucapkan juga dituliskan. Kata menjadi sangat penting sekali sebab melalui katalah kita mengungkapkan puisi. Ada dua hal yang menjadi sorotan kaitannya dengan diksi dan interpretasinya pada sebuah puisi. Pertama, mengenai pemilihan diksi. Kedua, mengenai cara pemaknaan diksi itu sendiri. Menurut Sudjiman (1984: 19) diksi yang baik adalah yang tepat dan selaras dengan peristiwa yang dibicarakan pada suatu puisi. Pemilihan kata pada sebuah puisi didasarkan pada pertimbangan apakah suatu kata mampu atau tidaknya menyampaikan pesan yang ingin disampaikan secara utuh. Hal ini menjadi penting agar maksud si penyair dapat tersampaikan. Kadang seorang penyair harus merevisi diksi puisinya saat dirasa belum sepenuhnya mampu menyampaikan apa yang dimaksudkan. Artinya, sang penyair merasa ada yang kurang. Hal ini pernah terjadi pada Chairil Anwar, puisinya yang berjudul Hampa. Pada versi pertamanya, Deru Campur Deru (DCD), kata-kata sebelum larik awalnya hanyalah Kepada Sri. Sedangkan, pada versi kedua, Kerikil Tajam diubah menjadi Kepada Sri yang selalu sangsi. Alasan Chairil menambahkan kata yang selalu sangsi mungkin untuk menimbulkan efek suasana yang lebih mengena daripada pilihan diksi sebelumnya, yaitu hanya Kepada Sri saja. Untuk membandingkannya, dapat kita lihat contohnya di bawah ini.
Versi DCD:
HAMPA
Kepada Sri

Sepi di luar Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
...dst.
           (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 24)

Versi Kerikil Tajam:
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
...dst.
          
           (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 24)
Kemudian, menurut Hasanuddin WS (2012: 68-69) penyair boleh menggunakan bahasa sehari-hari, komunikasi, atau memilih bahasa apa saja. Penyair juga boleh menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah. Hal ini semata-semata demi kepentingan kepadatan makna, demi kepentingan tersampaikannya makna secara utuh dan memiliki nilai estetik. Diksi yang dianggap berlebihan adalah saat seorang penyair menggunakan kata yang begitu jarang digunakan, padahal masih ada kata lain yang lebih umum namun masih memiliki nilai estetis.  Hal yang kedua menjadi sorotan kaitannya dengan unsur kata adalah mengenai secara apa kita memaknai sebuah puisi (interpretasi). Secara denotatif ataukah konotatif? Denotatif berarti mengacu pada makna yang tertera di kamus, sedangkan konotatif sebaliknya memerlukan tambahan makna lain berdasarkan konteks yang dihadirkan. Contoh:
AKULAH SI TELAGA

Akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
Bunga-bunga padma;
...dst.
                                          (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 16)
Pada kutipan puisi di atas, jelas terlihat bahwa yang dimaksudkan dengan kata telaga bukanlah telaga sesuai dengan makna kamus, melainkan butuh tambahan makna lain, yaitu makna konotatif. Kata telaga di atas bisa diartikan sebagai pengorbanan (WS, 2012: 82-83). Hal lain yang muncul pada bagaimana memahami diksi sebuah puisi, lebih kompleks, terdapat pada puisi Sutardji Calzoum Bahri di bawah ini.
TRAGEDI WINKA & SIHKA

      kawin
                 kawin
                            kawin
                                       kawin
                                                 kawin
                                                          ka
                                                    win
                                                ka

                                         win
                                   ka
                            win
                      ka
              win
          ka
winka
        winka
                  winka
                           sihka
                                   sihka
                                           sihka
                                                    sih
                                                ka
                                           sih
                                      ka
                                sih
                           ka
                      sih
                 ka
           sih
      ka
           sih
                sih
                       sih
                            sih
                                sih
                                    sih
                                        ka
                                            Ku
         
          (Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK, 1981)
Lihatlah tipografinya yang berbentuk zigzag, dan kata-katanya terbalik. Kata kawin dibalik winka, dan kata kasih dibalik sihka. Untuk memahami maksud puisi ini, kita dituntut untuk memahaminya secara denotatif, kemudian konotatif, dan terakhir pemaknaan secara simbolik. Menurut Hasanuddin WS (2012: 87-88), puisi ini berisikan ungkapan bahwa fenomena perkawinan saat ini seperti mainan, bukan menjadi hal yang sakral. Pesan ini dapat ditangkap melalui upaya pembolak-balikan kata kawin dan kasih menjadi winka dan sihka. Kemudian, puisi ini juga menggambarkan fenomena perkawinan yang sudah carut-marut. Artinya, cara yang ditempuh tidak berdasarkan norma masyarakat yang berlaku,  banyak pasangan yang melakukan penyimpangan atau perselingkuhan. Pesan ini terlihat dari tipografi yang digunakan, yaitu bentuk zigzag, tidak lurus. Begitulah paling tidak cara memaknai puisi berbentuk seperti ini.

UNSUR BAHASA KIASAN/MAJAS (FIGURATIVE LANGUAGE)

Bahasa puisi tidak lepas dari penggunaan majas/bahasa kiasan. Majas adalah bahasa kias, bahasa yang dipergunakan untuk menciptakan efek tertentu (admin, http://carapedia.com/pengertian_majas_info741.html, akses 12 April 2014). Pradopo (2012: 62), menyatakan bahwa penggunaan majas menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Contoh dalam hal menimbulkan kejelasan gambaran angan, seorang penyair yang ingin mengungkapkan perasaan rindu bisa saja mengumpamakannya seperti tanah kering yang menanti hujan. Ada begitu banyak jenis majas. Pada makalah ini hanya akan dijelaskan beberapa saja. Secara umum, gaya bahasa terbagi ke dalam beberapa kelompok di antaranya: majas perbandingan, majas pertentangan, majas pertautan, dan majas perulangan.
  1. Majas Perbandingan
    Majas ini digunakan untuk membandingkan satu hal dengan lainnya. Yang tergolong ke dalam majas perbandingan di antaranya: asosiasi/perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, simbolik, dan simile (Mulyadi, http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 12 Januari 2014).

    a. Asosiasi/Perumpamaan
    Majas ini digunakan untuk membandingkan dua hal yang hakikatnya berbeda namun sengaja dianggap sama. Biasanya ditandai dengan kata bagai, seperti, umpama, laksana, dan lain-lain. Contoh:
    sungai susu

    di pangkal tidurnya mereka dengar bisikan.
    halus bagai biji-biji hujan yang berkecambah.
    siap tumbuh memanjat udara ke awan-awan
    setelah diguyur matahari tidak terbelah
    ...dst.
                                         (mam, 2012: 39)
    b. Metafora
    Menurut Becker (Seperti dikutip Pradopo, 1978: 317), metafora itu melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain. Majas ini digunakan untuk mengungkapkan perbandingan analogis tanpa menggunakan kata-kata yang digunakan pada majas asosiasi. Contoh:
    ...
    Bumi ini perempuan jalang.

                                   (Subagyo, “Dewa Telah Mati”, 1975: 9)
    c. Personifikasi
    Majas ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo, 2012: 75). Contoh:
    chronicler #63

    mimpi segelap apa pun selalu memiliki sebatang pulpen
    yang mampu mencatat nama-nama atau kehidupan
    bahkan kehidupan yang sudah mati.

    tetapi dalam mimpimu tinta pulpen itu hanya jatuh cinta
    kepada satu nama. nama yang melukaimu: aku
    ...dst.
                                           (mam, 2012: 19)
    d. Depersonifikasi
    Depersonifikasi adalah jenis majas yang mengumpamakan manusia seolah-olah menjadi binatang, tumbuhan, dan benda-benda mati lainnya. Majas ini kebalikan dari majas personifikasi (admin, http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/majas-depersonifikasi-pengertian-contoh-perbandingan.html, akses 12 April 2014). Contoh:
    Aku melihatnya diam mematung.
    e. Alegori
    Majas ini berupa cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan ini mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Majas ini dapat pula dikatakan sebagai lanjutan dari metafora. Dan majas ini banyak ditemui di puisi-puisi Angkatan Pujangga Baru. Juga banyak ditemui pada puisi-puisi modern (Pradopo, 2012: 71). Contoh:
    KAPAL NUH

    Sekali akan turun lagi
    kapal Nuh di pelabuhan malam
    tanpa kapten
    hanya Suara yang berseru ke setiap hati:
    “Mari!”
    Kita berangkat berkelamin, laki-isteri,
    untuk berbiak di tanah baru yang berseri,
    juga makhluk yang merangkak
    di darat di langit terbang
    masuk sejodoh-sejodoh. Masing-masing
    mendapat ruang
    di haluan, di buritan, di timbaruang.
    bahkan bunga, emas dan perak
    itu batu mulia
    yang memancarkan api rahmat
    turun termuat.
    kalau bahtera mulai bertolak
    dekat kita dengar bumi retak
    Bumi, yang telah tua
    oleh usia dan derita.
                                                       (Simphoni, 1975: h. 23)  
    f. Simbolik
    Mengutip Mulyadi (http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 12 April 2014), simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan benda, binatang, atau tumbuhan sebagai simbol atau lambang. Contoh:
    AKU

    Kalau sampai waktuku
    ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
    Tidak juga kau

    Tak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang
    Dari kumpulannya terbuang
    ...dst.

                                   (Chairil Anwar, Aku ini binatang Jalang, 1943: 13)
                                   *Versi DCD
    g. Simile
    Mengutip Mulyadi (http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html, akses 12 April 2014), simile adalah bahasa kiasan yang menggunakan kata depan dan kata penghubung: seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, bak, bagai, dan lain-lain. Contoh:
    Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.
  2. Majas Pertentangan
    Majas pertentangan adalah kata-kata kiasan yang menyatakan pertentangan dengan yang dimaksud sebenarnya. Majas ini digunakan untuk memberikan kesan hebat dan memberikan pengaruh yang lebih kepada pembaca (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Yang termasuk ke dalam majas ini di antaranya:

    a. Hiperbola
    Hiperbola adalah jenis majas yang melukiskan suatu peristiwa atau hal yang sebenarnya dilebih-lebihkan (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Contoh:
    GALAWISASI HATI

    Cinta..
    Aku tak mengenal apa itu cinta, siapa cinta, dimana cinta, kapan cinta datang, kenapa ada cinta, dan bagaimana cinta?
    Namun relung sukma ini berteriak meronta-ronta
    Seolah olah ada yang mengkudeta
    Memaksanya untuk merasa balutan indah pesona cinta

    Hari demi hari silih berganti
    Jutaan memori telah terlewati
    Aku semakin menyadari bahwa dia sungguh berarti
    Dan aku yakin pasti, inilah yang disebut cinta sejati

    Meski ku tak tahu apakah dia merasakan yang sama?
    Namun haruslah ia bertanggung jawab,
    Karena hati ini telah dicuri olehnya.

    (Utami, http://adinut.blogspot.com/2013/10/contoh-puisi-bermajas-hiperbola.html, akses 12 April 2014)   
    b. Litotes
    Mengutip Matulessi (http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014), litotes adalah kiasan yang menggunakan ungkapan merendahkan diri yang bertolak belakang dari keadaan sebenarnya. Contoh:
    Mampirlah di gubuk kami yang sederhana ini.   
    c. Ironi
    Ironi adalah majas yang menggunakan ungkapan untuk memberikan sindiran halus yang padahal bertolak belakang dari keadaan sebenarnya (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Contoh:
    Ah, benar-benar tepat waktu engkau! Aku sampai bosan menunggumu di sini.   
    d. Paradoks
    Paradoks adalah majas yang menggunakan ungkapan yang melukiskan hal atau keadaan yang berlawanan dari fakta (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Contoh:
    Dia masih saja kesepian di tempat yang seramai ini.
  3. Majas Pertautan
    Majas pertautan adalah kata-kata berkias yang bertautan (berasosiasi) dengan gagasan, ingatan atau kegiatan panca indra pembicara atau penulisnya (Matulessi, http://matulessi.wordpress.com/2010/01/18/majas-pertentangan/, akses 12 April 2014). Beberapa majas yang termasuk ke dalam jenis majas ini di antaranya:

    a. Metonimia
    Metonimia adalah jenis majas yang penggunaannya paling jarang dibandingkan dengan majas-majas perbandingan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, metonimia disebut sebagai pengganti nama (Pradopo, 2012: 77). Kemudian, menurut Altendberg (1970: 21), bahasa metonimia berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang hubungannya dekat untuk menggantikan objek tersebut. Contoh:
    There is no armour againts fate;
    Death lays his icy hand on kings:
            Sceptre and crown
            Must tumble down,
    And in the dust be equal made
    With the poor crooked scythe the and spade

    (Tak ada perisai terhadap nasib;
    Kematian meletakkan tangannya yang dingin pada raja-raja:
            Tongkat kerajaan dan mahkota
            Harus runtuh
    Dan di debu disamaratakan
    Dengan sabit dan sekop miskin bengkok)
    Penggunaan kata tongkat dan mahkota pada puisi di atas adalah untuk menggantikan pemerintah (raja-raja). Juga, penggunaan sabit dan sekop adalah sebagai pengganti orang kebanyakan (masyarakat umum).

    b. Sinekdoki (synecdoche)
    Menurut Altendberg (1970: 22), sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan hal/bagian penting dari suatu hal. Ada dua jenis sinekdoki, di antaranya:

    Pars pro toto: jenis yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan.
    Contoh: Hingga detik ini ia belum kelihatan hidungnya.

    Totum pro parte: jenis yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian.
    Contoh: Indonesia akan memilih idolanya malam ini.

    c. Pararelisme
    Paralelisme adalah majas yang mengulang kata di setiap baris yang sama dalam satu bait di dalam penggunaan puisi (admin, http://id.wikipedia.org/wiki/Paralelisme, akses 12 April 2014). Contoh:
    Kau berkertas putih
    Kau bertinta hitam
    Kau beratus halaman
    Kau bersampul rapi
          (admin, http://id.wikipedia.org/wiki/Paralelisme, akses 12 April 2014).
    d. Eufemisme
    Mengutip Yadi (http://www.yadi82.com/2012/01/majas-eufimisme-dan-contoh-contohnya.html, akses 12 April 2014), eufemisme adalah majas yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang dianggap lebih sopan dari ungkapan sebenarnya. Contoh:

    Anak ibu sedikit tertinggal (maksudnya kurang pintar).
    Maaf, saya mau ke belakang dulu (mau ke toilet).

    e. Elipsis
    Elipsis adalah penggunaan gaya bahasa dengan menghilangkan kata atau bagian kalimat (Sunawan, http://majas1024.blogspot.com/2013/02/majas_20.html, akses 12 April 2014). Contoh:

    Lari! (Kamu lari!)
    Ayah dan adik ke Brebes. (Kata pergi dihilangkan setelah kata adik)
  4. Majas Penegasan/Perulangan
    Majas penegasan/perulangan adalah jenis majas yang menggunakan pengulangan-pengulangan ungkapan demi mempertegas makna. Berikut di bawah ini dijelaskan beberapa majas yang termasuk ke dalam majas penegasan.

    a. Aliterasi
    Aliterasi adalah gaya bahasa yang menggunakan pengulangan bunyi konsonan pada awal kata secara berurutan (http://id.wikipedia.org/wiki/Majas, akses 12 April 2014). Contoh:
    SEPISAUPI

    Sepisau luka sepisau duri
    Sepikul dosa sepukau sepi
    Sepisau duka serisau diri
    Sepisau sepi sepisau nyanyi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisapanya sepikau sepi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepikul diri keranjang duri
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sepisaupa sepisaupi
    Sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi

           (Sutardji Calzoum Bachri, 1973)
    b. Asonansi
    Asonansi adalah majas repetisi, pengulangan bunyi vokal yang sama (http://koffieenco.blogspot.com/2013/01/macam-macam-majas-dan-contohnya.html, akses 12 April 2014). Contoh:
    CINTAKU JAUH DI PULAU

    Cintaku jauh di pulau
    Gadis manis sekarang iseng sendiri.

    Perahu lancar, bulan memancar,
    Di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar...

                             (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang, 2003: 59)
    c. Anafora
    Anafora adalah majas yang menggunakan perulangan kata pada setiap awal larik atau kalimat (admin, http://id.wikibooks.org/wiki/Subjek:Bahasa_Indonesia/Materi:Majas, akses 12 April 2014). Contoh:
    SURAT KAU

    Kau tak ada di kakiku
    ketika aku membutuhkan langkahmu
    untuk merambah rantauku.

    Kau tak ada di tanganku
    ketika aku membutuhkan jarimu
    untuk menggubah gundahku.

    Kau tak ada di sarungku
    ketika aku membutuhkan jingkrungmu
    untuk meringkus dinginku.

    Kau tak ada di bibirku
    ketika aku membutuhkan aminmu
    untuk meringkas inginku.

    Kau tak ada di mataku
    ketika aku membutuhkan pejammu
    untuk merengkuh tidurku.

    Mungkin kau sudah menjadi aku
    sehingga tak perlu lagi aku menanyakanmu.

         (Jokpin, http://jokopinurbo.blogspot.com/, akses 13 April 2014)
    d. Kiasmus
    Mengutip (admin, http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/, akses 2014), kiasmus adalah penggunaan pengulangan dua buah kata sekaligus pembalikannya. Contoh:

    Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.

    e. Antanaklasis
    Antanaklasis adalah majas yang menggunakan satu kata untuk dua kalimat dengan makna yang berbeda (Feny, http://fenymey.wordpress.com/2012/10/06/macam-macam-majas-dan-contohnya/, akses 12 April 2014). Contoh:

    Ibu membawa buah tangan, yaitu buah apel merah.
UNSUR CITRAAN

Menurut Pradopo (1979: 42), gambaran angan dalam sajak disebut citra atau imaji (image), sedangkan setiap gambaran-gambaran pikiran dan bahasa yang menggambarkan itu disebut citraan (imagery). Pada puisi, citraan berfungsi untuk menciptakan kepuitisan. Puisi-puisi yang kaya akan imaji disebut puisi imajis. Jenis-jenis citraan di antaranya: citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan penciuman (smell imagery), citraan rasaan (taste imagery), citraan rabaan (tactile imagery), dan citraan gerak (kinaesthetic imagery). Berikut satu persatu jenis-jenis citraan dijelaskan berikut ini.
  1. Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
    Citraan penglihatan adalah citraan yang timbul karena daya saran penglihatan (WS, 2012: 94). Citraan jenis ini kerap digunakan para penyair visual untuk menitikberatkan kepuitisan puisinya lewat imajinasi penglihatan. Selain penyair visual, juga banyak penyair-penyair lainnya yang memanfaatkan citraan jenis ini. Puisi yang memanfaatkan citraan jenis ini, mengupayakan sesuatu yang tidak terlihat pada puisinya seolah-olah terlihat. Sebagai contoh, lihatlah puisi di bawah ini.
    STANZA

    Ada burung dua, jantan dan betina
    hinggap di dahan.

    Ada daun dua, tidak jantan tidak betina gugur di dahan.
    Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua
    pergi ke selatan.
    Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
    mengendap dalam nyanyiku.

               (Rendra, Empat Kumpulan Sajak: 62)
    Pada puisi di atas, seolah-olah kita melihat ada dua burung, helaian daun, kapuk, dan debu. Kita diajak untuk masuk ke dalam suasana puisi di atas lewat imajinasi visual kita.
  2. Citraan Pendengaran (Auditory Imagery)
    Segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha memancing bayangan pendengaran guna membangkitkan suasana tertentu di dalam puisi dapat digolongkan kepada citraan pendengaran (WS, 2012: 96). Suara lolong anjing, auman harimau, cuitan burung, dentuman mortir, dan lain-lainnya ditampilkan pada puisi untuk menghidupi puisi itu sendiri lewat citraan indera pendengaran. Sesuatu yang abstrak, kemudian seolah-olah terdengar ada. Lihatlah di bawah ini contoh puisi yang menggunakan citraan pendengaran.
    CERMIN, 2

    cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah
    meraung, tersedan, atau terisak,
    meski apa pun terjadi di dalamnya;
    barangkali ia hanya bisa bertanya: mengapa kau seperti kehabisan suara?

                                             (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 36)
    Kata-kata yang digarisbawahi pada puisi di atas, adalah citraan pendengaran sehingga seolah-olah terdengar ide-ide itu.
  3. Citraan Penciuman (Smell Imagery)
    Citraan penciuman adalah citraan yang membuat ide-ide abstrak bisa ditangkap oleh indra penciuman. Kita seolah-olah bisa mencium bau sesuatu. Contoh gamblangnya ada pada puisi di bawah ini.
    SAJAK PUTIH

                     buat tunanganku Mirat

    bersandar pada tari warna pelangi
    kau depanku bertudung sutra senja
    di hitam matamu kembang mawar dan melati
    harum rambutmu mengalun bergelut senda...

                      (Chairil Anwar, Aku Ini Binatang Jalang: 43)
    Kata harum pada puisi di atas, merupakan citraan penciuman yang membuat kita seolah-olah mencium bau harum rambut yang penulis maksud pada puisinya.
  4. Citraan Rasaan (Taste Imagery)
    Citraan rasaan adalah pemanfaatan kata-kata untuk memungkinkan pembaca agar seolah-olah dapat merasa atau mengecap sesuatu dengan indra pengecapnya. Contoh:
    ANGGUR DARAH

                   untuk Fransiskus Sudibyanto
     ...
    Diteguk setuwuk anggur
    di lidah terasa darah
    Wahai! Amis, ya amis
    Dicicip bibir janda musuh
    tergigit menetes darah
    Wahai! Asin, ya, asin
    ...dst.

      (Rendra, Empat Kumpulan Sajak: 143-144)
    Saat kita membaca kata amis dan asin pada puisi di atas, maka asosiasi yang muncul dalam indra pengecap kita adalah konsep rasa amis dan asin itu.
  5. Citraan Rabaan (Tactile Imagery)
    Citraan rabaan maksudnya citraan berupa lukisan yang mampu menciptakan suatu daya saran bahwa seolah-olah pembaca dapat tersentuh; bersentuhan; atau apapun yang melibatkan efektivitas indra kulitnya (Hasanuddin WS, 2012: 102). Pembaca seolah-olah dapat menyentuh merasakan sesuatu. Apabila pembaca mendengar kata-kata lengannya tersayat pisau, maka seolah-olah ikut tersayat. Contoh:

    PESAN

    Tolong sampaikan kepada abangku, Raden Sumatri, bahwa memang kebetulan jantungku
    tertembus anak panahnya.
    Kami saling mencintai, dan antara sengaja dan tidak disengaja sama sekali tidak ada
    pembatasnya.
    Kalau kau bertemu dengannya, tolong sampaikan bahwa aku tidak menaruh dendam padanya,
    dan nanti apabila perang itu tiba, aku hanya akan .....
    ...dst.
                                    (Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas: 45)

    Pada larik kedua, pembaca terbawa ke suasana jantungnya tertembus panah.
  6. Citraan Gerak (Kinaesthetic Imagery)
    Citraan gerak diciptakan untuk membawa pembaca pada suasana seolah-olah ide yang ada pada puisi hidup. Ide-ide yang ada pada puisi seolah-olah bergerak. Lihatlah kutipan puisi di bawah ini.
    MIKRAJ

    Di ujung musim yang mengasing
    bagai dengus gurun pasir
            cahaya melompat
            dalam laut salju
            diseretnya langkah
            malam itu
            dalam putih waktu
            ...dst.

    (Abdul Hadi WM, Anak Laut Angin: 56-57)
    Pada kutipan puisi di atas, di larik ketiga, pembaca diajak masuk ke suasana bahwa cahaya seolah-olah bisa melompat.
KESIMPULAN

Telah dijelaskan bahwa unsur-unsur bentuk puisi, di antranya: unsur bunyi, unsur kata, unsur bahasa kiasan/majas, dan unsur citraan. Semua unsur tersebut memiliki fungsinya masing-masing dalam perannya menjadi bagian tubuh puisi. Unsur bunyi untuk memberikan kesan estetik, lugas, dan menghidupkan suatu puisi. Unsur kata berfungsi untuk mengantarkan maksud penulis agar dapat tersampaikan, dan juga memiliki keindahan. Unsur bahasa kiasan/majas berfungsi untuk memberikan nilai puitik, estetik pada puisi. Juga, untuk mengonkretkan hal-hal yang dirasa masih terlalu abstrak maknanya. Serta, unsur citraan berfungsi untuk membawa pembaca puisi ke dalam suasana tertentu. Menurut hemat penulis, secara umum dapat dikatakan bahwa unsur-unsur bentuk puisi yang telah dijelaskan pada intinya berfungsi untuk membuat puisi itu utuh. Puisi yang indah dalam segi diksi maupun bunyi, memiliki imaji yang lugas, dan penuh makna. Namun, perlu diingat bahwa untuk membuat suatu puisi yang bagus kita tidak perlu memaksakan untuk menggunakan unsur-unsur di atas. Kita bisa memilih beberapa saja yang sekiranya akan menghasilkan komposisi puisi yang pas, indah.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Jassin, H.B. Pujangga Baru. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Mansyur, M. Aan. Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini? Jakarta: Motion Publishing, 2012.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

WS, Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak, Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.

***

"Apa Itu Majas Perbandingan?" http://infogreget.blogspot.com/2013/03/apa-itu-majas-perbandingan.html (akses 12 April 2014).

"Contoh Puisi Bermajas Hiperbola." http://adinut.blogspot.com/2013/10/contoh-puisi-bermajas-hiperbola.html (akses 12 April 2014).

Feny. "Macam-Macam Majas dan Contohnya." http://fenymey.wordpress.com/2012/10/06/macam-macam-majas-dan-contohnya/ (akses 12 April 2014).

"Macam-macam Majas dan Contohnya." http://koffieenco.blogspot.com/2013/01/macam-macam-majas-dan-contohnya.html (akses 12 April 2014).

"Majas." http://endonesa.wordpress.com/lentera-sastra/majas/ (akses 12 April 2014).

"Majas atau Gaya Bahasa?" http://galangkurniaardi.wordpress.com/2010/10/26/majas-gaya-bahasa/ (akses 12 April 2014).

"Majas Depersonifikasi: Pengertian, Contoh, Macam-macam/Jenis, Perbandingan." http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/majas-depersonifikasi-pengertian-contoh-perbandingan.html (akses 12 April 2014).

"Mengenal Ragam Macam Majas dalam Bahasa Indonesia." http://kaskushootthreads.blogspot.com/2013/10/mengenal-ragam-macam-majas-dalam-bahasa.html (akses 12 April 2014).

Mulyadi, Agus. "Macam-Macam Majas Perbandingan." http://mbahkarno.blogspot.com/2012/08/macam-macam-majas-perbandingan-beserta.html (akses 24 April 2014).

"Paralelisme." http://id.wikipedia.org/wiki/Paralelisme (akses 12 April 2014).

"Pengertian dan Contoh Majas." http://carapedia.com/pengertian_majas_info741.html (akses 12 April 2014).

Rini. "Pengertian Bunyi, Rima, dan Irama Pada Puisi." http://riniintama.wordpress.com/pengertian-bunyi-rima-dan-irama-pada-puisi/ (akses 12 April 2014).

"Subjek: Bahasa Indonesia, Materi: Majas." http://id.wikibooks.org/wiki/Subjek:Bahasa_Indonesia/Materi:Majas (akses 12 April 2014).

Yadi. "Majas dan Contoh-Contohnya." http://www.yadi82.com/2012/01/majas-eufimisme-dan-contoh-contohnya.html (akses 12 April 2014).

Zulinarti, Desi. "Bunyi dalam Puisi Karya Sutardji Calzoum Bahri." http://eci-muachpinky.blogspot.com/2012/04/bunyi-dalam-puisi-karya-sutardji.html (akses 12 April 2014).


* Oky Primadeka, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pegiat FLAT (Foreign Languages Association), dan pegiat LPQ (Lembaga Pendidikan al-Quran) Masjid Fathullah.

Read more...

Saat Kuketuk Pintumu

>> 20/04/14

Oky Primadeka


Saat kuketuk pintumu
rupanya kau sedang berpakaian
dalam benam matahari yang berkelindan senja

Saat kuketuk pintumu
rupanya kau sedang berdandan
dengan butir-butir bedak yang membiaskan keindahanmu

Saat kuketuk pintumu
rupanya kau?
sedang apa?
dengan apa lagi?


Ciputat,
Minggu, 13 April 2014

Read more...

Delapan Rindu Bersatu

>> 17/04/14

Faliq Ayken


1.
Ditemani senyum, secangkir teh hangat
dan sepiring kue-kue kecil kausajikan di meja makan,
teman obrolan masa depan.

2.
Matamu adalah gerimis yang membasahi rindu,
kenangan masa lalu yang kering akan cinta-Mu.

3.
Di tepian kolam, sesekali kaumenyuarakan tanda kerinduan,
matamu sembab; menangis sepanjang penantian.

4.
Pada senja, aku bercanda dengan diam di bawah pepohonan
kering. Berharap kaudatang membawa air kehidupan.

5.
Selamat senja, sayang, bolehkah aku menulis sajak-sajak matahari
yang akan terbenam di dalam hatimu? Mungkin di sana ada cahaya
untuk kata-kata yang lupa kueja.

6.
Cobalah menulis sajak cinta, sayang,
agar bahagiamu bisa dibagi
dan luka-lukamu bisa terobati.

7.
Cinta adalah kita; aku dan kamu yang telah berjalan
dan berlari menuju singgasana-Nya.

8.
Dalam keadaan apa pun,
cinta akan menjawab semuanya,
dalam suka dan duka.


Pondok Petir,
Minggu, 13 April 2014

Read more...

Senja di Pelupuk Mata

>> 15/04/14

Herry Oktav


Di senja itu, kamu tawarkan sudut indah bibirmu
Menusuk, menancap, membekas dalam ingatan
Ingin terus kupandang, kuingat,
hingga malam menuntun senja ke peraduan

Angin memang tak sekencang siang tadi
Namun pasminamu terhempas ke kanan kiri,
kala aku memataimu di senja itu

Deretan serimu selalu sodorkan seri
Garisan di matamu, entah aisedow atau ailainer
aku tak tahu namanya, tampak nyata
Sesekali kamu miringkan lehermu,
dengan lambaian tangan waktu disapa temanmu
Saat itu, lentik jemarimu terlihat menarik penuh warna-warni
Seperti senja sehabis hujan dihiasi pelangi

Di senja itu pun, aku berlagak membuat sajak tentangmu
"Kala senja datang, kauada
saat itu kuhadang parasmu dengan mata."


Ciputat,
Minggu, 13 April 2014

Read more...

Ritual Tengah Malam

>> 11/04/14

Faliq Ayken


Setiap malam, kulihat kaukeluar kamar
menyalakan lampu untuk memastikan masihkah ada cahaya
dalam gelap yang beberapa jam lalu, sebelum kautidur,
lampu-lampu itu tidur tak mendengkur.

Langkahmu menuju ruang belakang: kamar mandi, dapur, dan meja makan
Disebut yang pertama kauada di dalamnya,
mengambil air wudu yang kaugunakan untuk basah-basahan,
membasuh dan mengusap anggota tubuh yang perlu disetubuhi air.

Tengah malam, kaumulai berzikir dan berucap Bismillahirrahmanirrahim
Aku melihat dan mendengarnya dengan mata dan telinga yang terjaga
Kauambil secarik kertas, pulpen, dan pikiranmu yang kauletakkan di atas meja
Kaumerapal kata-kata, "Ritual tengah malam ini adalah nutrisi untukku
dan juga untuk orang-orang yang ingin berteman dengan kata-kata
seperti para pujangga."
"Ritual tengah malam ini adalah tangga awal untuk dipijak
agar kuat melangkah pada pijakan-pijakan tangga selanjutnya."

Pada pertengahan ritual, matamu jatuh di atas meja tanpa kausadari,
ia berkedip sebagai tanda lelah. Kaumengacuhkannya
Kauambil matamu itu dan kauletakkan ke tempat semula
Kaulanjutkan tarian-tarian jemarimu dengan sukacita
Matamu nanar, melihat jemarimu tanpa beban bergoyang ke kiri ke kanan
Sampai azan subuh berkumandang, kauberhenti.

Melanjutkan perjalanan!


Pondok Petir,
Minggu, 6 April 2014

Read more...

Malam Pencoblosan

>> 10/04/14

Herry Oktav


Malam ini ruangan penuh tumpukan kertas
Lembar-lembar berisi orang-orang berjas
Tampil dengan varian tatarias

Malam ini atasan lantang arahkan bawahan
Bawahan sibuk tuntaskan urusan
Tim ahli perluas wawasan
Tim lapangan perlebar kawasan

Malam ini bagi anak kecil adalah pesta kembang api
Malam ini bagi orang kecil adalah malam terakhir
bolak-balik kartu diiringi musik dangdut plus suguhan perut
Malam ini adalah malam pencoblosan,
atau malam penjeblosan?

Malam ini tim ahli menganalisis, mengatur taktis, menyusun teknis
Malam ini tim lapangan mengawasi, meneliti, menghabisi
Malam ini adalah malam pencoblosan,
atau malam penjeblosan?

Malam ini calon legislator khawatir, mondar-mandir,
Suara, uang habis ditelan orasi
Malam ini calon eksekutor bisik sana-sini, colek kanan-kiri, tekan atas-bawah
Malam ini adalah malam pencoblosan,
atau malam penjeblosan ke rumah sakit jiwa dan ke gedung KPK?


Ciputat,
Minggu, 6 April 2014

Read more...

Diam dalam Malam

>> 09/04/14

Khairini Lulut


Ketika kata dan rasa hilang bersama sepi
Malam hening dan sunyi
Menemani kesendirian yang memang sendiri
Aku tak berharap malam 'kan segera bercumbu dengan fajar

Aku hanya ingin...
Berkata dalam diam
Berpikir dalam senyap
Merenung dalam kelam
Dan segera melepaskannya dalam isak

Malam, malam ini...
Aku hanya ingin ada malam ini
Malam di mana aku bisa seperti ini

Seribu ungkapan yang tak dapat diucapkan
Seribu alasan yang tak dapat diutarakan
Semua hanya terurai di dalam benak
Dalam diam seribu bahasaku malam ini

Maaf untuk malam diam yang tercipta
Untuk makna yang tak terutara
Untuk air mata yang tak terkira
Biarkanlah aku menikmati malam ini dalam diam


Pamulang,
Rabu, 2 April 2014

Read more...

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In