Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Media Pengungkapan: Konvensional (Bahasa) dan Konkret (Rupa)

>> 25/03/14

Faliq Ayken*


Ada empat makalah kajian puisi yang kaitannya sangat erat satu dengan yang lain. Pertama, makalah yang disampaikan oleh Oky Primadeka pada 26 Januari 2014 dengan judul, “Pengertian, Hakikat, dan Perkembangan Puisi di Indonesia”. Kedua, makalah yang disampaikan oleh Yuni Budiawati pada 9 Februari 2014 dengan judul, “Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Periode: Puisi Lama, Puisi Modern, dan Puisi Mutakhir”. Ketiga, makalah yang disampaikan oleh Herry Oktav pada 9 Maret 2014 dengan judul, “Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Struktur: Puisi Terikat, Puisi Bebas, dan Puisi Inkonvensional”. Kaitannya adalah pada isi pembahasan masing-masing. Meskipun berbeda, tapi ada titik persamaan yakni perkembangan puisi di Indonesia.

Pada pembahasan kajian puisi kali ini, ada kaitan yang erat dari pembahasan sebelumnya yaitu tentang struktur fisik dan struktur nonfisik (batin) dalam puisi. Kaitannya masuk ke pembahasan media pengungkapan konvensi bahasa puisi. Puisi konkret, pada pembahasan sebelumnya ada dalam struktur puisi inkonvensional, masuk ke pembahasan setelahnya, yakni konkret (rupa) puisi.

MEDIA PENGUNGKAPAN

Jika melihat kamus besar bahasa Indonesia terbaru yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, maka akan ditemukan arti yang paling selaras dengan konteks ini, yakni alat (Depdiknas, 2008: 892). Sedangkan kata pengungkapan dalam kamus yang sama, diartikan sebagai proses, cara, dan perbuatan mengungkapkan (2008: 1529). Artinya, jika digabungkan, media pengungkapan adalah alat untuk mengungkapkan. Media pengungkapan dalam konvensi bahasa dan konkret (rupa) puisi, berarti alat untuk mengungkapkan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam bahasa puisi dan puisi konkret.

Media diartikan sebagai alat, berarti benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Pertanyaannya, apakah benda yang dipakai untuk mengungkapkan konvensi bahasa puisi dan rupa (konkret) puisi? Apakah konvensi bahasa puisi itu? Dan bagaimana bentuk puisi konkret yang dikatakan penulis sebagai rupa puisi? Ketiga pertanyaan itu adalah rumusan masalah pada pembahasan ini.

KONVENSI BAHASA PUISI

Arti kata konvensional yang digunakan pada judul di atas adalah sebagai konvensi (kesepakatan) umum. Sedangkan konotasi leksikal (makna menurut kamus) kata konvensi adalah permufakatan atau kesepakatan (Depdiknas, 2008: 730). Yang pertama menjadi kata sifat dan yang kedua menjadi kata benda. Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer (manasuka), yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Depdiknas, 2008: 116). Arti puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Depdiknas, 2008: 1112).

Hasanuddin W.S. (2012: 65) menyatakan bahwa bahasa puisi (sajak) adalah bahasa yang dihasilkan dari kristalisasi pengalaman, perasaan, dan pikiran yang menyatu erat dengan obsesi. Kemudian dikonkretkan oleh penyair dengan menggunakan bahasanya. Bahasa puisi tidak sama, bahasa puisi mempunyai kekhasan tersendiri, dan pengucapan di dalam puisi tergantung pada penyair yang membacakannya. Maka dari itu, antara satu puisi dengan puisi yang lain ditemukan pola pengucapan yang berbeda. Pola perbedaan pengucapan inilah yang dinamakan dengan bahasa khas puisi.

Hal-hal yang menyangkut bahasa puisi yang telah –dengan sendirinya– disepakati oleh para penyair, meskipun tak semuanya, sebagai  berikut (WS, 2012: 67).
  1. Kosakata. Menurut Muljana (seperti dikutip Pradopo, 2012: 51), baik tidaknya bahasa tergantung pada kecakapan sastrawan (penyair) dalam mempergunakan kata-kata. Dan segala kemungkin di luar kata tak dapat dipergunakan, misalnya mimik, gerak, dan sebagainya. Kehalusan perasaan penyair dalam mempergunakan kata-kata sangat diperlukan. W.S. Rendra dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa ia menganjurkan para penyair untuk selalu melihat arti kata dalam kamus, seperti yang ia lakukan dengan tekun untuk mendapatkan arti yang setepat-tepatnya. Hal itu tidak berarti bahwa bahasa serta kata-katanya tidak sama dengan bahasa masyarakat pada umumnya. Seorang penyair dapat juga mempergunakan kata-kata yang sudah mati, namun harus dapat menghidupkannya kembali. Misalnya dalam sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah, mempergunakan kata-kata marak dan leka yang tidak pernah kedengaran lagi dalam kata-kata sehari-hari:
    Benang raja mencelup ujung
    Naik marak menyerak corak
    Elang leka sayap tergulung
    Dimabuk warna berarak-arak
    Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek realistis, sedangkan penggunaan bahasa yang indah dapat memberi efek romantis (Pradopo, 2012: 51-53).
  2. Pemilihan Kata. Pradopo (2012: 54) menyebutkan bahwa pemilihan kata dalam puisi (sajak) disebut diksi. Ia menambahkan, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik. Menurut Altenbernd (seperti dikutip Pradopo), untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya. Penciptaan puisi adalah hal yang paling menitikberatkan pada diksi. Begitu sakralnya puisi, terkadang penyair akan terus menyempurnakan sebuah puisi dalam beberapa waktu lamanya. Seperti pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar, pada awalnya ia menggunakan diksi /dari kumpulan yang terbuang/ kemudian dirubah menjadi /dari kumpulannya terbuang/ (Damayanti, 2013: 23).
  3. Pengimajian. Adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Pengimajian dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji rasa (taktil). Pengimajian menjadikan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair (Damayanti, 2013: 19). Membaca puisi-puisi imajis dibutuhkan pengalaman yang cukup luas atau paling tidak bisa mengimajinasikan kata-kata yang tertulis dalam puisi. Mari lihat puisi “Asmaradana” karya Subagio Sastrowardoyo yang bercerita tentang Sita yang ada pada cerita Ramayana. Berikut adalah contoh puisinya:
    ASMARADANA

    Sita di tengah nyala api
    tidak menyangkal
    betapa indahnya cinta berahi

    Raksasa yang melahirkannya ke hutan
    begitu lebat bulu jantannya
    dan sita menyerahkan diri

    Dewa tak melindunginya dari neraka
    tapi Sita tak merasa berlaku dosa
    sekedar menurutkan naluri

    Pada geliat sekarat terlompat doa
    jangan juga hangus dalam api
    sisa mimpi dari senggama
    (Subagio Sastrowardoyo, Keroncong Motinggo: 89)
  4. Rima dan Irama. Rima atau persamaan bunyi adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama, keduanya menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. Ada beberapa jenis rima, yaitu: rima sempurna (persamaan bunyi pada suku kata terakhir); rima tak sempurna (persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir); rima mutlak (persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak atau suku kata sebunyi); rima terbuka (persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata akhir terbuka atau dengan vokal sama); rima tertutup (persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata konsonan); rima aliterasi (persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan); rima asonansi (persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata); dan rima disonansi (persamaan bunyi yang terdapat pada huruf-huruf mati atau huruf konsonan (Damayanti, 2013, 36-37). Puisi “Doa” karya Chairil Anwar berikut ini adalah salah satu contoh bentuk rima akhir (Waluyo, 2002: 7).
    Tuhanku
    Dalam termangu
    Aku masih menyebut namaMu

    Biar susah sungguh
    Mengingat Kau penuh seluruh
    …………….....
    Tuhanku
    aku hilang bentuk
    remuk
    ………..
    Sedangkan irama dalam kaitannya dengan bahasa puisi adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama adalah ritme, artinya gerakan yang teratur, terus-menerus tidak putus-putus (Pradopo, 2012: 40). Atau dengan bahasa yang lain, irama adalah intonasi. Cara yang tepat untuk melatih irama dalam pembacaan puisi, dengan mendaklamasikannya. Irama puisi bisa dinikmati, jika pembaca puisi bisa menikmati kata-kata yang ada dalam puisi yang dibacakannya.
  5. Gaya Bahasa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 1985: 113).  Menurut Tarigan (2009: 5), ragam gaya bahasa terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: perbandingan (perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme/tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, dan koreksio atau epanortosis); kedua, pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, sarkasme); ketiga, pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, polisindeton); dan keempat, perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, anadiplosis). Keempat ragam gaya bahasa tersebut hanya saya tulis, tidak berdasarkan artinya, untuk lebih mudah memahami bagian mana yang termasuk dalam konvensi bahasa puisi. Sedangkan gaya bahasa (majas) yang sering digunakan yang digunakan oleh banyak penyair, menurut Hasanuddin W.S. (2012: 107) adalah perbandingan, personifikasi, metafora, dan hiperbola. Selain itu, para penyair sering menggunakan cerita-cerita bermajas, antara lain: alegori, parabel, dan fabel. Berikut ini adalah salah satu contoh gaya bahasa pertentangan, satire. Uraian yang (harus) ditafsirkan lain dari makna asalnya disebut satire. Contoh puisi “Peluru Pertama” karya Subagio Sastrowardoyo (Tarigan, 2009: 72).
    PELURU PERTAMA

    Waktu peluru pertama meledak
    Tidak ada lagi hari minggu atau malam istirahat.
    Tangan penuh kerja dan mata berjaga
    mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat.
    Mulut dan bumi berdiam diri. Satunya suara hanya teriak nyawa.
    yang lepas dari tubuh luka,
    atau jerit hati mendendam mau membalas kematian.
    Harap terjaga. Kita memasuki daerah perang
    Kalau peluru pertama sudah meledak
    Kita harus paling dulu menyerang
    dan mati atau menang.
    Mintalah pamit kepada anak dan keluarga dan bilang: Tidak ada lagi
    waktu untuk cinta dan bersenang. Kita simpan kesenian dan budaya di
    hari tua. Kita mengangkat senjata selagi muda
    dan mati atau menang.
    (Jassin, 1986: 375)
  6. Tata Bahasa. Adalah kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa (Depdiknas, 2008: 1410). Ada tipe penyair yang tidak patuh pada gramatikal bahasa puisi, bukan karena ia tak mampu, melainkan karena kebutuhan puisi yang ia tulis agar puisi itu menjadi estetis. Menurut Hasanuddin W.S. (2012: 115) penyalahgunaan ketatabahasaan justru disengaja oleh para penyair untuk menimbulkan kesan kepuitisan. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai licentia poetica. Yang dimaksud dengan licentia poetica ialah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki (Sudjiman, 1993:18). Ada hubungan antara bahasa puisi dan licentia poetica. Licentia poetica dapat diartikan sebagai adanya dispensasi bagi sastrawan (penyair) untuk memilih cara penyampaian pengalaman batinnya. Penyair dapat memilih cara penyampaian dengan tiga cara, yaitu: pertama, mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional; kedua, penyair memanfaatkan potensi bahasa secara kreatif namun masih dalam batas konvensi bahasa; dan ketiga, penyair menyimpang dari konvensi bahasa yang berlaku. Apapun cara penyampaian yang dilakukan pada dasarnya bertujuan memunculkan efek tertentu yang tidak diperoleh dengan cara lainnya. Dapat saja penyair menggunakan salah satu cara dari ketiga cara tersebut atau dua dari ketiga cara itu atau bahkan ketiga-tiganya digunakan dalam sebuah puisi.  (Nurhayati, http://nurhayatibizzy.blogspot.com/2012/01/bahasa-puisi-dan-kaitannya-dengan.html, akses 15 Maret 2014). Bagaimana dengan puisi konkret atau rupa puisi? Uraian tentang licentia poetica poin ketiga adalah isi pembahasannya.
PUISI KONKRET ATAU RUPA PUISI

Jika melihat kajian puisi sebelumnya, puisi konkret masuk ke dalam pembahasan puisi inkonvensional. Puisi inkonvensional tentu tidak sama dengan puisi konvensional. Kalau pola puisi konvensional dalam bahasa puisi mengikuti aturan, maka puisi inkonvensional kebalikannya, tidak mengikuti aturan. Konvensi bahasa puisi yang telah diuraikan di atas adalah bentuk aturan dari puisi konvensional.

Puisi konkret, menurut Elin (seperti dikutip Oktav, Makalah, 2014), adalah puisi yang menitikberatkan pada bentuk grafis yang disusun mirip dengan gambar. Mantra, Mbeling, dan Puisi Konkret adalah tiga hal yang masuk dalam kategori puisi inkonvensional. Penyair dalam kategori ini –yang paling populer– adalah Sutardji Calzoum Bachri. Kata-kata terakhir dalam kredo puisinya, ia menyatakan: “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera” (Purba, 2010: 17). Jika melihat definisi yang dikemukakan oleh Elin tersebut di atas, puisi konkret berarti penyempurna dari puisi mantra dan puisi mbeling. Puisi mantra dicetus dan digerakkan oleh Sutardji Calzoum Bachri, sedangkan puisi mbeling oleh Remy Sylado.

Berikut ini adalah lampiran puisi konkret karya Sutardji Calzoum Bachri dan Remy Sylado, puisi-puisi yang tak patuh pada aturan-aturan konvensi bahasa, yaitu:
RI SATU

kepala                                       kepala
           kepala   kepala   kepala
kepala        kepala   kepala        kepala
         kepala     kepala      kepala
                 kepala      kepala
kepala  kepala   kepala  kepala  kepala
          kepalakepalakepalakepala
                    kepalakepala
                     BANYAK

                         tapi
                        cuma
                         satu
                       kepala
                   paling kepala
                    1978
                    (Sylado, 2004: 120)

TRAGEDI WINKA & SIHKHA

kawin
    kawin
        kawin
            kawin
                kawin
                          ka
                         win
                       ka
                  win
                ka
           win
         ka
   win
 ka
winka
     winka
         winka
             sihka
                 sihka
                     sihka
                            sih
                           ka
                       sih
                    ka
                sih
             ka
          sih
       ka
   sih
ka
   sih
       sih
           sih
                sih
                     sih
                          ka
                              Ku
                              (Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak: 38)

KESIMPULAN

Alat untuk mengungkapkan bahasa puisi tentu harus melihat konvensi bahasa puisi. Konvensi bahasa dalam perpuisian di Indonesia, tentu menggunakan bahasa Indonesia. Karena itu adalah kesepakatan yang sudah terbangun dari bahasa itu lahir. Tidak mungkin kita berbicara puisi Indonesia lantas dengan menggunakan bukan bahasa Indonesia. Benar apa yang dikatakan Edmund Husserl bahwa bahasa adalah kesepakatan-kesepakatan. Menunjuk meja belajar, sebagai contoh, tentu akan menunjuk pada sesuatu berkaki empat, berbahan kayu, dan bisa untuk membaca dan menulis.

Kesepakatan-kesepakatan bahasa bisa dilanggar karena ada kesepakatan-kesepakatan baru yang timbul. Kesepakatan-kesepakatan bahasa itu akan dilanggar lagi dan menciptakan kesepakatan-kesepakatan baru lagi. Dan seterusnya. Tapi yang jelas, untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan bahasa, membutuhkan penafsir atau pembaca untuk menyepakati apa yang telah diciptakannya. Dan itu akan terjadi setelah memakan waktu yang lama.


DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia Puisi, Sajak, Syair, Pantun dan Majas. Yogyakarta: Araska, 2013.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Nurhayati. "Bahasa Puisi dan Kaitannya dengan Licentia Poetica." http://nurhayatibizzy.blogspot.com/2012/01/bahasa-puisi-dan-kaitannya-dengan.html (akses 15 Maret 2014).

Oktav, Herry. "Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Struktur: Puisi Terikat, Puisi Bebas dan Puisi Inkonvensional." Makalah disampaikan  dalam Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét, Ciputat, 2014.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Sylado, Remy. Puisi Mbeling. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 2009.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.


* Faliq Ayken, nama pena dari Moh. Faliqul Ishbah, alumnus Al-Inaaroh Buntet Pesantren Cirebon dan anggota istimewa FLAT, Foreign Languages Association, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

0 komentar:

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In