Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

>> 02/02/14

PERNYATAAN SIKAP
Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét) Ciputat
Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh

Buku setebal 734 halaman plus xxxiv, dicetak oleh PT Gramedia Jakarta, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta (2014), dan diterbitkan untuk Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Buku ini ditulis oleh Jamal D. Rahman dkk. Mereka menyebutnya Tim 8, antara lain: Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah. Penyelia aksara, A. Zakky Zulhazmi. Lukisan sampul, Karya Hanafi. Perancang sampul dan isi, Asia Salsabillla.

Ada beberapa alasan mengapa kami, Komunitas Literasi Alfabét Ciputat, menolak keras atas terbitnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”, yang jelas-jelas akan membodohi pembaca biografi sastra(wan) Indonesia.
  1. Kata sambutan yang ditulis oleh Kepala Pelaksana PDS H.B. Jassin, Dra. Ariany Isnamurti, dengan judul: Diorama Sejarah Kesusastraan Indonesia, yang menggelitik adalah: “Buku ini merupakan salah satu diorama dalam sejarah kesusastraan Indonesia, yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Tim 8, yang terdiri dari para pakar sastra Indonesia.” Pertanyaannya, apakah benar orang-orang yang ada di Tim 8 adalah para pakar sastra? Ahmad Gaus pakar sastra? Kami pikir, tidak. Dalam literatur sastra mana pun, kami belum menemukan ada nama Ahmad Gaus tertulis sebagai pakar sastra atau para pegiat sastra mengakuinya sebagai pakar sastra.
  2. Di bagian akhir kata pengantar Tim 8, terdapat pernyataan yang kami pikir buku ini adalah buku yang dipaksakan terbit: “Kami menyadari, bukan tak mungkin akan muncul sejumlah kritik, keberatan, dan bahkan penolakan terhadap pilihan kami atas 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh ini. Kegiatan sejenis ini memang cenderung polemis dan memancing kontroversi. Apalagi bila pandangan seseorang atau sekelompok orang didasarkan atas sudut pandang, perspektif, pertimbangan, dan kriteria yang berbeda. Suara apa pun sebagai tanggapan terhadap pendapat Tim 8 ini kiranya akan menyuburkan diskusi dan polemik yang akan menyehatkan tradisi intelektual kita.” Sampai sekarang, sejak buku ini diterbitkan pada awal tahun ini, mereka menghindar jika ada tawaran untuk mengadakan diskusi publik. Ini jelas sebuah sikap inkonsisten, apakah mereka ingin “Menjilat ludah sendiri?” Apakah ini yang disebut menyuburkan diskusi dan menyehatkan tradisi intelektual kita?
  3. Dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh yang dipilih Tim 8, antara lain: 1. Kwee Tek Hoay (1886-1952); 2. Marah Rusli (1889-1968); 3. Muhammad Yamin (1903-1962); 4. HAMKA (1908-1981); 5. Armijn Pane (1908-1970); 6. Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994); 7. Achdiat Karta Mihardja (1911-2010); 8. Amir Hamzah (1911-1946); 9. Trisno Sumardjo (1916-1969); 10. H.B. Jassin (1917-2000); 11. Idrus (1921-1979); 12. Mochtar Lubis (1922-2004); 13. Chairil Anwar (1922-1949); 14. Pramoedya Ananta Toer (1925-2006); 15. Iwan Simatupang (1928-1970); 16. Ajip Rosidi (1935); 17. Taufiq Ismail (1935); 18. Rendra (1935-2009); 19. Nh. Dini (1936); 20. Sapardi Djoko Damono (1940); 21. Arief Budiman (1941); 22. Arifin C. Noer (1941-1995); 23. Sutardji Calzoum Bachri (1941); 24. Goenawan Mohamad (1941); 25. Putu Wijaya (1944); 26. Remy Sylado (1945); 27. Abdul Hadi W.M. (1946); 28. Emha Ainun Nadjib (1953); 29. Afrizal Malna (1957); 30. Denny JA (1963); 31. Wowok Hesti Prabowo (1963); 32. Ayu Utami (1969); dan Helvy Tiana Rosa (1970), mengapa nama-nama seperti: Utuy Tatang Sontani, Sitor Situmorang, A.A. Navis, Asrul Sani, Ramadhan K.H., Y.B. Mangunwijaya, Toto Sudarto Bachtiar, Umar Kayam, Wing Kardjo, Budi Darma, Saini K.M., Danarto, Rida K. Liamsi, Kuntowijoyo, Fredie Arsi, A. Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, R. Riantiarno, Ratna Sarumpaet, Hamid Jabbar, Seno Gumira Ajidarma, dan Wiji Thukul tidak dimasukkan dalam kategori tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Kalau pun memang Tim 8 menyatakan bahwa nama-nama yang tidak masuk ke dalam 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh, pengaruhnya relatif terbatas secara sosial dan budaya, mengapa nama Denny JA, yang baru punya buku satu, Atas Nama Cinta, dijadikan tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh? Semua yang mencintai sastra pasti akan lantang mengatakan bahwa Denny JA bukan tokoh sastra, apalagi berpengaruh. Bukankah ia hanya pengusaha dan konsultan politik?

    Kami, Komunitas Literasi Alfabét Ciputat, tidak pernah mendapatkan pengaruh dari karya Denny JA, “Atas Nama Cinta, Sebuah Puisi Esai, Isu Diskriminasi dalam Untaian Kisah Cinta yang Menggetarkan Hati.” Puisi-puisinya biasa saja.
Dari beberapa alasan di atas, kami menyatakan sikap dengan penuh kesadaran:
  1. Menuntut Tim 8 untuk meminta maaf secara terbuka atas terbitnya buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.
  2. Mendesak Tim 8 untuk mengevaluasi dan memverifikasi isi buku tersebut.
  3. Mendesak KPG sebagai penerbit untuk menarik dan menghentikan peredaran buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”.
Demikianlah pernyataan sikap ini kami buat sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan kami terhadap (perkembangan) sastra Indonesia.

Ciputat, 1 Februari 2014


Komunitas Literasi Alfabét (Kolibét) Ciputat
Menolak Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
  1. Faliq Ayken, S.Fils. (Pendiri dan Pengelola)
  2. Oky Primadeka (Pengelola)
  3. Yuni Budiawati (Pengelola)
  4. Herry Oktav (Pengelola)
  5. Mala Himatul Aulia (Pengelola)

0 komentar:

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In