Pengertian, Hakikat, dan Perkembangan Puisi di Indonesia

>> 07/02/14

Oky Primadeka*


PENGERTIAN PUISI

Siapa yang tidak mengenal puisi, kehadirannya dalam kehidupan memberi warna tersendiri dalam dunia sastra. Puisi merupakan salah satu jenis karya sastra. Dalam kehidupan, puisi hadir sebagai suatu hal yang mengajarkan kita untuk peka merasa. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, puisi selalu populer dengan bentuk visualisasinya yang khas pada setiap periode perkembangannya. Sebagai contoh seperti pada puisi Sapardi Djoko Damono, seorang penyair yang tergolong dalam periode 1960-1980 di bawah ini bisa saja membingungkan bagi seorang awam untuk menentukan apakah karyanya itu puisi atau bukan.
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali;  dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai warna di kepala. Sejak itu pun kau menunggu kalau-kalau ada kabar dari yang tak pernah lepas dari rindumu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,”Telah kupergunakan perahu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.
(Perahu Kertas, 1983: 46)
Pada puisi di atas, Sapardi memaksudkan karyanya sebagai puisi namun visualisasinya berbentuk prosa. Bagi orang awam tentu jika melihat puisi di atas akan mengira bahwa itu adalah prosa bukan puisi. Namun, penulisnya sendiri memaksudkan karyanya sebagai puisi. Entah pemahaman kita yang kurang tentang puisi sehingga mengatakan bentuk puisi di atas sebagai prosa atau justru sebaliknya, Sapardi mencoba bereksperimen dengan menulis puisi bergaya baru. Inilah realitas yang ada. Puisi kini hadir dalam berbagai versinya. Untuk itu, perlu kiranya kita mengetahui pengertian puisi itu sendiri. Hal pertama yang saya ingin klarifikasi kepada pembaca adalah bahwa pandangan atau pengertian tentang puisi itu sangat beragam. Begitu banyak pandangan dalam menafsirkan arti apa itu puisi. Tapi marilah kita tilik satu dua pengertian dari beberapa ahli mengenai puisi. Secara etimologi kata puisi berasal  dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat, ‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris, puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make  atau  to create, sehingga pernah lama sekali, di Inggris, puisi disebut maker. Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena memang pada dasarnya dengan mencipta seuntai puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Tjahyono, 1988: 50).

Kemudian apabila kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia maka didapat pengertian puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan lirik dan bait (Depdikbud, 1988: 706). Selain itu, menurut Herman J. Waluyo, puisi adalah karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seorang penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan batin. Pada puisi dibentuklah metafora, pemilihan diksi yang serasi, kemudin rima yang seirama, dan beberapa aspek lainnya yang mencirikan puisi. Pengertian ini diperkuat oleh Hasanuddin W.S. yang memberikan pengertian senada. Dalam bukunya, “Membaca dan Menilai Sajak”, ia menuliskan bahwa puisi merupakan pernyataan perasaan imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan (Hasanuddin, 2012: 4). Maksudnya mungkin perasaan yang direkakan. Gagasan (notion) abstrak yang hadir di benak seorang penyair kemudian dikonkretkan menjadi sebuah puisi melalui media teks yang bahasanya dipadatkan. Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah sebuah karya sastra yang tercipta dari pikiran atau perasaan seseorang yang kemudian dikonkretkan kedalam bentuk teks dengan bahasa yang telah dipadatkan.


HAKIKAT PUISI

Jika di atas kita telah membicarakan tentang pengertian puisi,  maka sekarang kita akan membicarakan tentang hakikat puisi. Dalam KBBI digital Vol 1.2, kata “Hakikat” bermakna intisari atau dasar dan kenyataan yang sebenarnya (kesungguhan). Dalam konteks pembahasan puisi, tentu makna pertama (intisari atau dasar) yang sesuai untuk kita sandingkan dengan kata puisi. Sekarang pertanyaannya adalah apakah hakikat puisi itu?  William Wordsworth, Penyair Romantik Inggris, menghayati puisi sebagai suatu luapan spontan dari perasaan-perasaan yang kuat-a spontaneous overflow of powerful feelings. Maksudnya, puisi hadir dalam diri seseorang sebagai akibat adanya suatu perasaan kuat spontan tertentu sebagai hasil dari merasakan peristiwa tertentu sehingga secara spontan ide/gagasan (notion) muncul yang kemudian divisualisasikan ke dalam bentuk teks dengan bahasa yang dipadatkan. Lalu apakah intisari atau dasar yang membentuk puisi itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jawaban atas pertanyaan sebelumnya yaitu apa itu hakikat puisi? Hakikat puisi adalah curahan hati seorang penyair. Atau bisa juga disebut isi puisi itu sendiri. Hakikat puisi adalah apa-apa saja yang seorang penyair letakkan dalam satu keutuhan sebuah puisi. Hakikat sebuah puisi terdiri dari empat hal di antaranya: tema, rasa, nada, dan amanat. Tema adalah gagasan atau ide utama seorang penyair yang ingin disampaikan dalam puisinya. Rasa adalah suasana yang dibawakan penyair dalam puisinya yang dapat dirasakan oleh pembaca. Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca. Dan amanat atau pesan adalah kesan yang ditangkap pembaca setelah membaca tuntas sebuah puisi. Berdasarkan keempat hal pembangun hakikat puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat puisi adalah unsur-unsur inti yang bersifat batiniah pada puisi itu sendiri. Satu kesatuan keempat hal itulah yang disebut hakikat puisi.


PERKEMBANGAN PUISI DI INDONESIA

Dalam buku berjudul Apresiasi Puisi, Herman J. Waluyo menyebutkan bahwa ada tujuh periode perpuisian di Indonesia. Di antaranya: Puisi Lama, Puisi Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan 45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi Periode 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahya.

Puisi Lama (Angkatan Balai Pustaka)

Ketika membicarakan tentang Puisi Lama-Angkatan 20-an-Balai Pustaka, maka menurut Sawardi (1999: 25) nama Balai Pustaka merujuk pada dua pengertian yaitu nama sebuah penerbit dan nama suatu angkatan sastra Indonesia. Nama Balai Pustaka pada awalnya adalah Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur atau Komisi Bacaan Rakyat yang merujuk pada nama penerbit yang didirikan pada masa kolonial Pemerintahan Belanda pada 1908 dengan tujuan untuk menyediakan bacaan bagi penduduk pribumi yang tamat bersekolah dengan sistem pendidikan barat. Kemudian nama Balai Pustaka dapat pula merujuk pada nama angkatan sastra Indonesia, karena pada masa itu kebanyakan buku-buku sastra diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sehingga angkatan pada masa itu disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka. Tokoh-tokoh utama angkatan ini adalah Muhammad Yamin (1903-1962), Rustam Effendi (1903-1979), dan Sanoesi Pane (1905-1968).

Ciri-ciri puisi angkatan ini, di antaranya:
  1. Puisi masih mengadopsi bentuk mantra, syair, dan pantun
  2. Puisi masih terikat
  3. Puisi tidak memiliki sampiran
Sebagai suatu bahan telaahan, di bawah ini puisi karya Sanoesi Pane dengan judul "Sajak" mengandung ciri yang telah saya sebutkan di atas:
Di mana harga karangan sajak,
Bukan dalam maksud isinya;
Dalam bentuk, kata nan rancak,
Dicari timbang dengan pilihannya.

Tanya pertama keluar di hati,
Setelah sajak di baca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengikat diri di dalam hikmat.

Rasa pujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyunduyun
Dari dalam, bukan nan dicari.

Harus kembali dalam pembaca,
Sebagai bayang di muka kaca,
Harus bergoncang hati nurani.
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali penggunaannya, menggunakan corak yang sama seperti pantun, memiliki sajak a-b-a-b. Sanoesi Pane selaku penyairnya menggunakan sajak k-a-k-a.


Puisi Angkatan Pujangga Baru (1930-1942)

Angkatan ini biasa disebut juga Angkatan 30-an atau Angkatan 33. Beberapa penyair angkatan ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1986) dengan karyanya Kumpulan Puisi Tebaran Mega; Amir Hamzah (1911-1946) dengan karyanya Kumpulan Puisi Nyanyian Sunyi dan Buah Rindu; dan Armijn Pane  (1908-1970) dengan karyanya Kumpulan Puisi Jiwa Berjiwa. Angkatan ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah ini kemudian menjadi penyambung lidah para penyair pada masa itu.  Hal yang perlu diingat adalah kehadiran Angkatan Pujangga Baru ini tidak lepas dari pengaruh para pujangga Belanda Angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini bisa kita ketahui karena memang pada masa angkatan ini banyak pemuda yang berpendidikan barat. Mereka tidak hanya mengenal, mempelajari, namun bahkan mendalami ilmu kesusastraan Belanda.

Ciri-ciri puisi Angkatan Pujangga Baru, di antaranya:
  1. Pola menyimpang dari bentuk puisi lama
  2. Adanya pemakaian sanjak tak sempurna (oleh Sanoesi Pane)
  3. Pemakaian aliterasi (oleh Rustam Effendi)
  4. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia modern
  5. Tema yang disuguhkan bersifat kompleks
  6. Aliran yang dianut adalah romantik idealisme
  7. Menggunakan jenis puisi bebas yang mementingkan keindahanan bahasa
Sebagai contoh, mari kita tilik puisi karya Sutan Takdir Alisjahbana di bawah ini:
AKU DAN TUHANKU

Tuhan, Kau lahirkan aku tak pernah kuminta
Dan aku tahu, sebelum aku Kau ciptakan
Berjuta tahun, tak berhingga lamanya
Engkau terus menerus mencipta berbagai ragam
Tuhan, pantaskah Engkau memberikan hidup sesingkat ini
Dari berjuta-juta tahun kemahakayaan-Mu
Setetes air dalam samudra tak bertepi
Alangkah kikirnya Engkau, dengan kemahakayaan-Mu
Dan Tuhanku, dalam hatikulah Engkau perkasa bersemayam
Bersyukur sepenuhnya akan kekayaan kemungkinan
Terus menerus limpah ruah Engkau curahkan
Meski kuinsyaf, kekecilan dekat dan kedaifanku
Di bawah kemahakuasaan-Mu, dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Dengan tenaga imajinasi Engkau limpahkan
Aku dapat mengikuti dan meniru permainan-Mu
Girang berkhayal dan mencipta berbagai ragam
Terpesona sendiri menikmati keindahan ciptaanku
Aahh, Tuhan
Dalam kepenuhan terliput kecerahan sinar cahaya-Mu
Menyerah kepada kebesaran dan kemuliaan kasih-mu
Aku, akan memakai kesanggupan dan kemungkinan
Sebanyak dan seluas itu Kau limpahkan kepadaku
Jauh mengatasi mahluk lain Kau ciptakan
Sebagai khalifah yang penuh menerima sinar cahaya-Mu
Dalam kemahaluasan kerajaan-Mu
Tak adalah pilihan, dari bersyukur dan bahagia, bekerja dan mencipta
Dengan kecerahan kesadaran dan kepenuhan jiwa
Tidak tanggung tidak alang kepalang
Ya Allah Ya Rabbi
Sekelumit hidup yang Engkau hadiahkan
dalam kebesaran dan kedalaman kasih-Mu, tiada berwatas
akan kukembangkan, semarak, semekar-mekarnya
sampai saat terakhir nafasku Kau relakan
Ketika Engkau memanggilku kembali kehadirat-Mu
Ke dalam kegaiban rahasia keabadian-Mu
Dimana aku menyerah tulus sepenuh hati
Kepada keagungan kekudusan-Mu,
Cahaya segala cahaya
Pada puisi di atas, dapat kita lihat bahwa Sutan Takdir Alisjahbana sudah tidak menggunakan pola pantun atau syair. Ia menyuguhkan tema yang cukup kompleks tentang ke-Tuhan-an.


Angkatan 45 (1942-1953)

Singkatnya, Angkatan 45 ini muncul sebagai akibat perubahan politik yang mendadak yaitu dari pendudukan Belanda berpindah ke pendudukan Jepang. Pada saat itu, para sastrawan tidak sekadar berjuang secara fisik untuk menuntut revolusi kemerdekaan, namun juga berpikir untuk menentukan orientasi bangunan budaya bangsa ke depannya. Hal lain yang turut mendorong lahirnya angkatan ini adalah adanya perasaan tidak suka pada Angkatan Pujangga Baru yang karya-karya sastranya sangat condong ke Barat. Mereka dianggap telah mengkhianati identitas bangsa sendiri. Nama Angkatan 45 untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Rosihan Anwar pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Mungkin karena Chairil dan teman-temannya menandatangani surat Kepercayaan Gelanggang. Nama ini pun disepakati kalangan sastrawan sebagai nama angkatan pada masa itu.  Beberapa pujangga Angkatan 45 adalah Chairil Anwar (1922-1949) dengan karya fenomenalnya “Aku”. Menurut Prof. Sapardi Djoko Damono, Chairil dianggap menjadi pelopor masa Angkatan 45, oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal oleh siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah (Chairil Anwar, 2003: 99). Kemudian tokoh-tokoh lainnya: Asrul Sani dengan karya puisinya yang terkenal, “Surat dari Ibu”, Sitor Situmorang dengan salah satu karya puisinya, “Surat Kertas Hijau”, dan Waluyati dengan salah satu karya puisinya, “Berpisah”.

Ciri-ciri puisi Angkatan 45 adalah:
  1. Menggunakan bahasa Indonesia baru, bahasa Indonesia yang tidak terpengaruh bahasa Belanda maupun Melayu
  2. Mementingkan isi daripada bentuk
  3. Lebih bebas dari permainan rima atau pun bunyi yang melekat pada puisi angkatan sebelumnya
  4. Menggunakan bahasa yang ekspresif, meledak-ledak, dan penuh vitalitas
  5. Menggunakan ungkapan-ungkapan yang pendek
Sebagai contoh, dapat kita baca puisi Chairil Anwar, tokoh sentral Angkatan 45, di bawah ini:
AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri   
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pada puisi di atas, dapat kita ketahui pada larik 7 dan 8 bait pertama bahwa Chairil menunjukkan semangat revolusi kemerdekaan. Pun juga, Chairil menonjolkan sisi individualismenya dengan penggunaan kata aku yang menjadi identitas sudut pandang orang pertama.


Puisi-puisi Periode 1950-an

Periode ini disebut sebagai periode romantik atau kembali ke alam. Adalah W.S. Rendra dan Ramadhan K.H. tokoh utama periode angkatan ini. Mereka banyak menciptakan puisi-puisi yang bersifat romantik. Oleh sebab itu, Prof. Dr. A. Teeuw (1978) menyebut periode ini kembali kepada sifat romantik dan alam. Puisi-puisi romantik telah ditulis pada Periode Angkatan Pujangga Baru (Waluyo, 2002: 79-80). Periode ini sangat dipengaruhi oleh penyair Spanyol Frederico Garcia Lorca yang dibawa oleh Ramadhan K.H. Bahkan sangat terlihat sekali pengaruhnya pada kumpulan puisi Ramadhan K.H. yang berjudul Priangan Si Jelita, sebuah puisi yang mendendangkan alam Priangan. Rendra sangat mengagumi Lorca. Bahkan ia mengidentikan penulisan namanya dengan sama seperti F.G. Lorca. Rendra yang berenama asli Willibrordus Surendra menyingkat namanya menjadi W.S. Rendra. Dalam kepenyairannya, Rendra menorehkan penanya untuk salah satu kumpulan puisinya berjudul Blues Untuk Bonnie (1971). Selain Ramadhan K.H. dan W.S. Rendra, penyair-penyair lainnya yang turut mewarnai puisi Periode Angkatan 1950-an ini antara lain: Ajip Rosidi dengan kumpulan puisinya, Sajak-sajak Anak Matahari (1979), Subagyo Sastrowardoyo dengan salah satu karya kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan (1970), Toeti Heraty Noerhadi dengan salah satu kumpulan puisinya, Sajak-Sajak 33 (1973), Wing Karjo dengan kumpulan puisinya, Selembar Daun (1974), Toto Soedarto Bachtiar dengan kumpulan puisinya, Suara (1956), Racmat Djoko Pradopo dengan kumpulan puisinya, Matahari Pagi Tanah Air (1965), dan Soeparwoto Wiraatmadja dengan kumpulan puisinya, Kidung Keramahan (1963).

Ciri-ciri karya puisi Periode Angkatan 1950-an adalah:
  1. Bersifat romantik
  2. Banyak yang bergaya naratif (yang terkenal adalah balada)
  3. Mengambil tema kemiskinan dan protes sosial
  4. Menampaknya corak kedaerahan
Untuk dapat melihat lebih jelas ciri-ciri puisi Periode Angkatan 1950-an, mari kita perhatikan puisi karya W.S. Rendra di bawah ini:
SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API


Bagaimana mungkin kita bernegara
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
Bagaimana mungkin kita berbangsa
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
bersama?
Itulah sebabnya
Kami tidak ikhlas
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
sehingga menjadi lautan api
Kini batinku kembali mengenang
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
bau asap, bau keringat
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
langit berwarna kesumba
Kami berlaga
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
yang bisa dialami dengan nyata
Mana mungkin itu bisa terjadi
di dalam penindasan dan penjajahan
Manusia mana
Akan membiarkan keturunannya hidup
tanpa jaminan kepastian?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah
Hidup yang diperkembangkan
dan hidup yang dipertahankan
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua
Aku terjaga dari tidurku
di tengah malam di pegunungan
Bau apakah yang tercium olehku?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu
yang dibawa oleh mimpi kepadaku?
Ataukah ini bau limbah pencemaran?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini?
Apakah ini deru perjuangan masa silam
di tanah periangan?
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
karena dikhianati dewa keadilan.
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
dibangunkan oleh mimpi?
Apakah aku tersentak
Oleh satu isyarat kehidupan?
Di dalam kesunyian malam
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku!
Apakah yang terjadi?
Darah teman-temanku
Telah tumpah di Sukakarsa
Di Dayeuh Kolot
Di Kiara Condong
Di setiap jejak medan laga. Kini
Kami tersentak,
Terbangun bersama.
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,
Apakah kita masih sama-sama setia
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
Apakah yang terjadi?
Apakah yang telah kamu lakukan?
Apakah yang sedang kamu lakukan?
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
Dari jawaban yang kita berikan.
Pada puisi di atas, salah satu ciri yang paling menonjol adalah banyaknya repetisi kata seperti bagaimana, kami, di-, hidup, dan lain-lain. Tema puisi yang dibawakannya adalah tema sosial.


Puisi Periode 1960-1980

Tahun 1960-an adalah masa yang sangat produktif bagi perpuisian Indonesia. Bahkan pernah berjaya pada tahun 1963-1965 penyair-penyair anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah lembaga yang didirikan Partai Komunis Indonesia/PKI. Puisi periode angkatan ini lazim disebut sebagai puisi Angkatan 66 (Waluyo, 2002: 107). Menurut H.B. Jassin, para pelopor angkatan ini adalah para penyair demonstran seperti Taufiq Ismail dengan salah satu kumpulan puisinya Tirani (19166), Goenawan Mohamad dengan salah satu kumpulan puisinya Parikesit (1972). Selain itu, penyair lain yang tergolong angkatan ini adalah Sapardi Djoko Damono dengan salah satu kumpulan puisinya Ayat-ayat Api (2000), Hartoyo Andangjaya dengan salah satu kumpulan puisinya Simponi Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1954), Sutardji Calzoum Bachri dengan salah satu kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak (1981), Abdul Hadi W.M. dengan salah satu kumpulan puisinya Riwayat (1967), Yudistira Adinugraha Massardi dengan salah satu kumpulan puisinya Omong Kosong (1978), Apip Mustopa dengan salah satu kumpulan puisinya dimuat di antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru (1977), Piek Ardiyanto Supriyadi dengan salah satu kumpulan puisinya Biarkan Angin Itu (1996), Linus Suryadi Ag dengan salah satu kumpulan puisinya Langit Kelabu (1976), dan D. Zawawi Imron dengan salah satu kumpulan puisinya Nenek Moyangku Air Mata (1990).

Ciri-ciri puisi Angkatan 66 adalah:
  1. Puisi-puisi bersifat filosofis
  2. Adanya rintisan baru pada puisi, yaitu puisi mantra dan konkret yang dipopulerkan oleh Sutardji Calzoum Bachri
  3. Bersifat naturalis, realis, dan eksistensialis.
Sebagai cerminan karakteristik puisi Periode Angkatan 66, mari kita baca puisi Benteng karya Taufiq Ismail di bawah ini:
BENTENG

Sesudah siang panas yang meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus ini berlindung
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung

Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak dikenal
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan
Lewatlah di samping Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya tak bicara
Tapi kita tidak akan terpatahkan
Oleh seribu senjata dan seribu tiran

Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil seharian
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam.

1966
Pada puisi di atas, terlihat jelas sekali bagaimana Taufiq Ismail mendeskripsikan realitas yang ia rasakan pada saat ia membuat puisinya.


Puisi Periode 1980-2000

Pada periode ini, penyair besar seperti Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Linus Suryadi Ag masih produktif mencipta puisi. Namun, bukan lagi mereka yang kita akan bicarakan di sini. Adalah para penyair yang muncul dan mulai produktif sejak tahun 1980-an yang akan kita bicarakan di sini. Pada periode ini, para penyairnya tidak ada yang menjadi besar. Kebanyakan dari mereka mengiblatkan gaya puisi mereka pada penyair-penyair besar angkatan sebelumnya (Waluyo, 2002: 140). Beberapa penyair pada angkatan ini diantaranya Hamid Jabbar dengan salah satu kumpulan puisinya Dua Warna (bersama Upita Agustine, 1975), Emha Ainun Nadjib dengan salah satu kumpulan puisinya 99 Untuk Tuhanku (1983), Agnes Sri Hartini Arswendo dengan salah satu karya puisinya Sajak di Sembarang Kampung, F. Rahardi dengan salah satu kumpulan puisinya Soempah WTS (1983), Rita Oetoro dengan salah satu kumpulan puisinya Dari Sebuah Album (1986), Dorothea Rosa Herliany dengan salah satu kumpulan puisinya Nyanyian Gaduh (1987), Eka Budianata dengan salah satu kumpulan puisinya Ada (1976), Acep Zamzam Noor dengan salah satu kumpulan puisinya Tamparlah Mukaku (1982), dan K.H. A. Mustofa Bisri dengan salah satu kumpulan puisinya Pahlawan dan Tikus (1995).

Ciri-ciri puisi Periode 1980-2000 adalah:
  1. Puisinya banyak ditulis dengan gaya mantra dan konkret
  2. Mengungkapkan kritik sosial dengan keras
  3. Tema keagamaan mulai dimasukkan pada periode ini
  4. Bermunculan eksperimen-eksperimen baru seperti yang dilakukan Dorothe dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang tajam dan cerdas. Sementara itu, Rita Oetoro membawa puisi lembut dengan gaya konvensional.
Agar lebih mengenal karakteristik puisi Periode 1980-2000, mari kita perhatikan puisi karya K.H. A. Mustofa Bisri di bawah ini:
NEGERIKU

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya di dunia

dan burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku

mana ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku memliki buruh mancanegara
brankas-brankas bank ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
dan handai taulannya
terkaya di dunia

mana ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiunan setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi

tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi

(Pahlawan dan Tikus, 1995)
Jika kita cermati, jelas sekali terlihat kritik sosial yang K.H. A. Mustofa Bisri bawakan pada puisi di atas. Sebuah kritik ironisme antara pahlawan dan koruptor.


Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya

Adalah Korrie Layun Rampan melalui bukunya mengumumkan adanya Angkatan 2000. Di dalam bukunya ia membahas para pengarang prosa, penyair, dan beberapa kritikus dan penelaah sastra yang relatif masih muda. Diantaranya adalah Afrizal Malna dengan salah satu kumpulan puisinya Abad yang Berlari (1984), Sitok Srengenge dengan salah satu kumpulan puisinya Nonsens, Joko Pinurbo dengan salah satu kumpulan puisinya Sembilu (1991), Omi Intan Naomi dengan salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin (1987), dan Wiji Thukul dengan salah satu kumpulan puisinya Aku Ingin Jadi Peluru (2000). Menurut penulis makalah sendiri, agak sulit untuk menentukan siapa yang menjadi tokoh sentral puisi periode ini tidak hanya satu dua penyair yang menjadi sangat populer seperti Afrizal Malna dan Joko Pinurbo.

Ciri-ciri puisi Periode 2000 dan Sesudahnya adalah:
  1. Menggunakan bahasa sehari-hari
  2. Wajah puisi bebas aturan
  3. Penggunaan antropomorfisme
  4. Menampilkan puisi-puisi profetik (puisi-puisi keagamaan atau religius)
  5. Penggunaan citra alam, benda, dan lain-lain.
Mari kita perhatikan puisi karya Afrizal Malna di bawah ini guna melihat karakteristik puisi Periode 2000 dan Sesudahnya.
ABAD YANG BERLARI

palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau
berhenti. seribu jam
menunjuk waktu yang bedaberbeda, semua berjalan
sendiri-sendiri. palu.
tak satu yang mau berhenti. semua berjalan sendiri-sendiri.
orang-orang nonton televisi, palu. nonton kematian
yang dibuka di jalan-
jalan, telah bernyanyi di bangku-bangku sekolah,
telah bernyanyi di pasar-
pasar, o anak kematian yang mau mengubah sorga,
manusia sunyi
yang disimpan waktu.
palu. peta lariberlarian dari kota datang dari
kota pergi, mengejar waktu.
palu. dari tanah kerja dari laut kerja dari
mesin kerja. kematian yang bekerja
di jalan-jalan, palu. kematian yang bekerja di
jalan-jalan.
o, dada yang bekerja di dalam waktu.
dunia berlari, dunia berlari
seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

(Abad yang Berlari, 1984)
Pada puisi di atas, jelas sekali terlihat bagaimana Afrizal Malna menyampaikan pesannya lewat citraan palu. Dapat kita lihat juga bahwa wajah puisinya tidak terikat aturan.

Demikian sedikit catatan tentang sejarah perkembangan puisi Indonesia menurut periodesisasinya yang terdiri dari Puisi Lama, Puisi Angkatan Pujangga Baru, Puisi Angkatan ’45, Puisi Periode Tahun 1950-an, Puisi Periode Tahun 1960-1980, Puisi Periode 1980-2000, dan terakhir adalah Puisi Periode Tahun 2000 dan Sesudahnya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa penamaan angkatan pujangga didominasi oleh peran waktu yang menunjukan kapan pujangga seperti yang telah disebutkan di atas mencipta puisi-puisinya.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. Aku ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera, 2006.

Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, tt.

Jassin, H.B. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas, 2011.
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak: Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.


* Oky Primadeka, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pegiat FLAT, Foreign Languages Association.

0 komentar:

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In